BincangMuslimah.Com – Setiap kali muncul, isu poligami senantiasa menghadirkan perdebatan yang tidak kunjung usai. Bicara soal poligami, maka akan ada dua kubu yang terbentuk. Kubu pertama, punya pendirian yang kuat pendirian yang menganggap bahwa poligami adalah bagian dari tradisi Islam karena melihat dari poligami yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sedangkan kubu seberang, keberatan dengan praktik poligami.
Penolakan ini muncul karena adanya sebagian orang yang menafsirkan praktik poligami ke arah lain, dan dirasa lebih mengedepankan hawa nafsu dan ego. Misalnya saja, dengan ego seorang suami menikah kembali tanpa berbincang, meminta izin atau mendengar istri terlebih dahulu.
Beberapa kasus bahkan ada yang mengarah pada pernikahan di bawah umur untuk istri yang mudanya. Mungkin ingatan perihal Syekh Puji atau Pujiono, laki-laki ini menikahi anak perempuan yang masih berusia 12 tahun pada 2008.
Meskipun begitu, tidak sedikit pula ada kisah-kisah poligami yang dianggap ‘sukses’ karena antar istri bisa hidup akur, rukun tanpa konflik. Beberapa media menggambarkan poligami yang ‘sukses’ ini sebagai keluarga besar yang bahagia.
Asal bisa adil, membagi kasih sayang, perhatian dan kebutuhan finansial secara rata, maka berpoligami akan baik-baik saja, menurut media-media tersebut. Lantas, benarkah poligami bagian dari tradisi Islam?
Poligami Bukan Tradisi Islam
Menariknya, penulis menemukan pendapat yang cukup berani dan menarik dari seorang Kyai, tokoh agama sekaligus penulis buku K.H Husein Muhammad. Di dalam bukunya yang berjudul ‘Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai’, beliau menyatakan jika poligami bukan tradisi Islam.
Di dalam bukunya, K.H Husein mengungkapkan jika poligami bukan pertama kali muncul setelah hadirnya Islam. Praktik ini bahkan sudah ada sebelum Islam. Tradisi poligami, menjadi satu bagian dari peradaban patriarkis.
Makna dari peradaban patriarki, seluruh elemen dalam kehidupan ini, ditentukan oleh laki-laki. Dimulai dari pemimpin, pengayom, pendidikan, pengambil keputusan, dan sebagainya. Dijelaskan jika praktik ini tidak hanya ada di tanah Arab, namun juga bangsa-bangsa lainnya.
Sebelum keberadaan Islam, sesungguhnya telah diketahui bagaimana nasib perempuan kala itu. Perempuan dianggap sebagai benda yang bisa diwariskan hingga diperjualbelikan. Perempuan tidak punya hak penuh atas dirinya. Tubuh mereka seakan sebuah properti yang bisa dilempar ke sana kemari.
Terdapat sejumlah ayat Alquran yang menggambarkan bagaimana kondisi perempuan di tanah Arab sebelum munculnya keberadaan Islam. Misalnya saja dalam Q.S Nahl (16) ayat 58-59.
“Dan apabila dikabarkan kepada seseorang dari mereka bahwa ia beroleh anak perempuan, muramlah mukanya sepanjang hari (kerana menanggung dukacita), sedang ia menahan perasaan marahnya dalam hati (58). Ia bersembunyi dari orang ramai kerana (merasa malu disebabkan) berita buruk yang disampaikan kepadanya (tentang ia beroleh anak perempuan; sambil ia berfikir): adakah ia akan memelihara anak itu dalam keadaan yang hina, atau ia akan menanamnya hidup-hidup dalam tanah? Ketahuilah! Sungguh jahat apa yang mereka hukumkan itu (59).
Dengan situasi seperti ini, praktik perbudakan perempuan dan poligami pun menjadi sesuatu yang lumrah ditemukan. Namun praktik perbudakan dan poligami ketika itu lebih banyak merugikan dan membuat perempuan menderita.
Kondisi ini pun menjadi perhatian yang sangat besar dalam Islam. Namun, perubahan yang dilakukan Islam bukanlah dengan cara radikal dan revolusioner. Terlebih kebudayaan dan peradaban patriarki ini telah mengakar dan mendarah daging selama berabad-abad lamanya.
K.H Husein pun menjelaskan bagaimana Allah lewat Alquran mengubah praktik merendahkan salah satu kelompok itu dengan yang tidak provokatif atau radikal. Melainkan persuasif dan lewat dialog-dialog secara intensif. Islam hadir untuk manusia dan demi kemanusiaan.
Menurut K.H Husein, kita kaum muslimin perlu membaca Alquran secara utuh dan tidak sepotong-sepotong. Setelahnya, akan tampak jika kitab suci terhadap eksistensi perempuan, secara umum dan isu poligami, dalam artian khusus muncul dalam rangka reformasi sosial dan hukum.
Beliau pun menekankan jika Alquran tidak secara serta merta atau gamblang mengafirmasi perihal poligami. Justru, dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik ini, setapak demi setapak hingga praktik ini tidak lagi ada.
Setidaknya kata K.H Husein di dalam bukunya, ada dua cara yang dilakukan Alquran terkait praktik poligami. Pertama mengurangi jumlah (istri yang dipoligami). Kedua, memberikan catatan penting soal kritis-transformatif dan mengarahkan pada menegakkan keadilan.
Perlu diketahui jika praktik poligami sebelum keberadaan Islam dilakukan tanpa batas. Laki-laki bisa ‘mengambil’ perempuan sebanyak mungkin untuk dijadikan sebagai istri. Tidak sampai di sana, laki-laki pun merasa ‘berhak’ memperlakukan istri sekehendak hatinya.
Pesan dalam poin pertama, ‘menekan’ jumlah ini pun terungkap dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw. Dilansir dari buku yang sama.
Qais bin Harist Ra mengatakan:
“Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan istri. Aku kemudian mendatangi nabi dan menceritakannya hal itu. Nabi Muhammad Saw kemudian mengatakan ‘pilih empat di antara mereka.’ (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dari hadis di atas, tampak bahwa Islam membatasi jumlah istri. Menurut K.H Husein, meminimalkan jumlah istri adalah petunjuk yang jelas jika Islam enggan membolehkan poligami, kecuali dengan syarat-syarat tertentu.
Terakhir, K.H Husein menjelaskan jika dalam banyak kondisi, poligami jarang berjalan mulus dan damai. Sebagian besar berakhir dengan masalah psikologis pada perempuan dan anak. Sehingga bisa berujung pada dampak negatif.
Tentu saja hal yang tidak baik bertentangan dengan misi pernikahan di dalam Alquran yang melahirkan keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Q.S Ar-Ruum (30):21.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Oleh karena itu dapat disimpulkan jika praktik poligami keberadaannya sudah ada sebelum Islam. Keberadaan Islam hadir untuk kritis-transformatif dan mengarahkan pada penegakkan keadilan, bukan berfokus pada praktiknya.