Ikuti Kami

Khazanah

Nyi Mas Siti Soepiah: Pelopor Ilmu Kebidanan Modern di Jawa Barat

Nyi Mas Siti Soepiah
Nyi Mas Siti Soepiah

Ia bernama lengkap Nyi Mas Siti Soepiah binti RM Martowiredjo, lahir pada tahun 1926 di Sukabumi dan menjadi anak sulung di antara tujuh bersaudara, putra-putri Raden Mas Martowiredjo dan Ratu Tatit Soehati. Ia merupakan seorang bidan yang sering berpindah tugas ke berbagai daerah di sekitar Purwakarta dan Karawang, Jawa Barat. Perannya sebagai bidan di masa itu bak menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menolong hamba-hambaNya. Kisah hidup Nyi Mas Siti Soepiah, biasa dipanggil dengan sebutan Emak oleh putra-putrinya dan Mbah Upi oleh cucu dan cicitnya, hingga kini terus dikenang di kalangan keluarganya untuk diteladani.

Kala itu, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh warga kelas menengah atas atau bangsawan. Mbah Upi beruntung menjadi salah satunya. Bapaknya, Raden Mas Martowiredjo atau biasa dipanggil Mbah Marto, adalah salah seorang perintis dan administratur perkebunan teh Goalpara di Sukabumi. Bahkan sempat menjadi anggota Dewan Kabupaten Sukabumi pada sekitar tahun 1925. Hingga kini perusahaan Goalpara masih berdiri. Mbah Upi menempuh pendidikan formal setingkat SD dan SMP di salah satu sekolah pada masa kolonial Belanda.

Namun RM Martowiredjo meninggal saat Mbah Upi masih menempuh pendidikan usia SMP. Mbah Upi beserta ibu dan adik-adiknya pulang ke Purwakarta, kampung halaman ibundanya. Sejak itu, biaya pendidikannya ditanggung oleh kakek dari pihak ibunya, Tubagus Asman. Mbah Upi lalu sekolah di bidang keperawatan dan kebidanan di RS Bayu Asih yang merupakan rumah sakit pertama di Purwakarta dan sekitarnya.

Setelah lulus, Mbah Upi langsung mendapat tugas praktik di rumah sakit tersebut. Di situlah ia bertemu suaminya, Pak Abbas. Pada masa itu, Pak Abbas sedang mengalami kondisi finansial dan pekerjaan yang tidak menentu. Mbah Upi memintanya untuk bekerja saja di RS Bayu Asih. Karena melihat peluang yang ada, Pak Abbas diminta untuk mengikuti sekolah mantri atau kelas kesehatan di situ, sehingga keduanya sama-sama berprofesi sebagai petugas kesehatan. Mereka berdua lalu menikah. Mbah Upi saat itu menikah di usia 18 tahun, usia yang saat itu tidak lagi disebut muda sebab angka usia pernikahan dini masih tinggi.

Baca Juga:  Mengapa Menyebarkan Kesadaran Tentang Penyandang Disabilitas itu Penting?

Mereka berdua akhirnya memulai petualangan sebagai petugas kesehatan di berbagai daerah. Utamanya Mbah Upi yang sering dipindahtugaskan ke beberapa daerah di utara Jawa Barat. Daerah pertama setelah Purwakarta adalah Sukamandi, Subang. Di sana ia menjadi bidan pertama. Sebelum ada bidan sebagai tenaga kesehatan yang membantu perempuan melahirkan, paraji menjadi penolong bagi mereka. Bedanya, paraji tak menempuh pendidikan formal dan tak memiliki peralatan yang memadai dan higinis. Hal itu menyebabkan angka kematian bayi tinggi setelah dilahirkan sebab mengalami tetanus. Angka kematian ibu melahirkan pun juga tinggi sebab mengalami infeksi.

Pemberdayaan Paraji

Kedatangan Nyi Mas Siti Soepiah atau Mbah Upi sama sekali tidak untuk menyingkirkan paraji-paraji itu. Kemuliaan hatinya dan kearifannya mengantarkan Mbah Upi pada inisiatif untuk mengedukasi paraji-paraji akan pentingnya kebersihan peralatan melahirkan. Sejak itulah paraji-paraji mengerti tentang ilmu kesehatan modern dan mempraktikkannya saat membantu melahirkan. Bahkan beberapa paraji diajak untuk turut serta membantu Mbah Upi dalam persalinan perempuan di Sukamandi.

Hampir setiap bulan, pasca mengantarkan laporan di dinas kesehatan yang terletak di kota atau kabupaten, Mbah Upi membawakan peralatan kesehatan ke desa Sukamandi untuk dibagikan kepada paraji-paraji itu. Sebuah inisiatif yang berangkat dari kepekaannnya dan karakternya yang visioner. Beliau tak sekadar menjadikan profesi sebagai keuntungan materi semata, tetapi juga menjadikan itu sebagai pengabdian penuh untuk masyarakat dan turut memberdayakan perempuan-perempuan di sana. Beliau adalah pelopor ilmu kesehatan modern di Sukamandi. Belakangan, kegiatan merangkul dan memberdayakan para paraji ini juga dilakukan di semua tempat di mana Mbah Upi ditugaskan.

Dari Sukamandi, beliau berpindah dinas ke Karawang, tepatnya di kecamatan Rengasdengklok. Setelah dari Sukamandi, beliau sempat menempuh kursus kebidanan lanjutan di Bandung, dan kemudian terus berdinas di Karawang, yaitu di Pedes, Tempuran, Cibuaya, Batujaya, hingga terakhir di Cikampek. Beberapa daerah yang beliau singgahi menjadi tempat beliau menebarkan ilmu, dan memberdayakan para perempuan di sana sembari menjalankan profesinya sebagai bidan.

Baca Juga:  Agung Hajjah Andi Depu, Nasionalis Perempuan dari Mandar

Cerita yang menarik adalah saat Mbah Upi berinisiatif mengasuh beberapa bayi hingga usia 2-3 tahun karena melihat angka kematian tinggi. Beliau dan suaminya sering mengasuh bayi yang nampaknya berasal dari kedua orang tua yang tak memiliki fasilitas dan rumah yang layak dihuni oleh seorang bayi pada masa itu. Bahkan Mbah Upi merawat bayi-bayi keturunan Tionghoa. Beliau sama sekali tak memandang latar belakang agama dan suku. Kesibukannya sebagai seorang bidan dan ibu dari 10 anak ternyata tidak menghalanginya untuk menolong orang lain tanpa pamrih.

Selain itu Mbah Upi juga sering menyiapkan makanan khusus untuk anak-anak yang memiliki orang tua dari kalangan guru honorer. Kala itu memang guru dianggap sebagai sosok terpandang karena profesinya, akan tetapi gaji yang didapatkannya seringkali masih tak sepadan atau bahkan melewati tempo pembayarannya. Mbah Upi yang berjiwa sosial tinggi mau membantu mereka dengan sebagian hartanya.

Sosok Pantang Menyerah dan Berintegritas

Tentu, profesi bidan yang dimilikinya saat itu mengalami banyak tantangan. Selain tak mengenal waktu, akses transportasi yang sulit menjadi kendala yang sering dihadapi. Pada masa itu jalanan masih berupa tanah, sehingga saat musim hujan menjadi begitu licin, becek berlumpur dan terkadang banjir. Transportasi utamanya adalah sepeda onthel yang merupakan kendaraan dinasnya. Lalu Sado (sejenis delman beroda dua) menjadi alternatif saat musim penghujan. Tak jarang pula Mbah Upi harus menembus perkebunan, hutan dan persawahan sampai rumah pasien, sembari melewati wilayah yang dianggap mistis oleh masyarakat setempat.

Beliau sosok yang berintegritas tinggi. Selain menjadi sosok yang berkarakter kuat, beliau juga memiliki jiwa spiritual yang kuat. Laku ibadah sehari-harinya tak jauh dari shalat tahajjud dan puasa-puasa sunnah. Pengalaman hidupnya dan laku spiritualnya mengantarkan beliau pada sifat qonaah, tekun, prihatin, sabar, lembut dan penuh cinta. Sifat-sifat itulah yang terus dikenang oleh keluarga untuk diteladani oleh mereka.

Baca Juga:  Mengenal Peristiwa Penting Di Bulan Rajab

Mbah Upi meninggal di usia ke-67 pada tahun 1993 di Cikampek. Jasanya hingga kini terus dikenang tidak hanya oleh keluarganya, tetapi juga oleh orang-orang yang pernah ditemuinya dan menginspirasi mereka. Bahkan beberapa dari mereka meneruskan pendidikannya dan profesinya sebagai bidan. Ternyata ada banyak perempuan-perempuan yang sangat berjasa dan turut serta memberdayakan orang-orang di sekitarnya, termasuk Nyi Mas Siti Soepiah sehingga kebaikan tidak berhenti pada dirinya. Semoga beliau mendapat balasan surga di sisi Allah. Aamiin. Alfaatihah.

 

Sumber: hasil wawancara dengan salah satu putranya, Agus B. Yanuar.

Rekomendasi

hadis larangan istri keluar hadis larangan istri keluar

Affirmative Action: Membela atau Mengkritik Kebijakan Pro-Perempuan?

Istri Menafkahi Suami, Dapatkah Pahala?

pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar   pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar  

Perempuan dalam Perspektif Filsafat Islam

Pray the Devil Back Pray the Devil Back

Pray the Devil Back to Hell, Cerita Powerfull Perempuan Mengusung Perdamaian

Ditulis oleh

Sarjana Studi Islam dan Redaktur Bincang Muslimah

Komentari

Komentari

Terbaru

Hal-Hal yang Merusak Amal Baik Hal-Hal yang Merusak Amal Baik

Hal-Hal yang Merusak Amal Baik

Kajian

peran tionghoa dalam menyebarkan islam peran tionghoa dalam menyebarkan islam

Imlek: Refleksi Peran Tionghoa dalam Menyebarkan Islam di Banten

Kajian

Bolehkah Mengalakosikan Zakat sebagai Dana Makan Bergizi Gratis? Bolehkah Mengalakosikan Zakat sebagai Dana Makan Bergizi Gratis?

Bolehkah Mengalakosikan Zakat sebagai Dana Makan Bergizi Gratis?

Kajian

Hukum Menyanyikan Ayat al-Quran Hukum Menyanyikan Ayat al-Quran

Hukum Menyanyikan Ayat al-Quran

Kajian

pendidikan perempuan pendidikan perempuan

Cara Islam Menghargai Pendidikan untuk Perempuan

Kajian

Pelajaran Penting dari Kisah Durrah binti Abi Lahab Pelajaran Penting dari Kisah Durrah binti Abi Lahab

Pelajaran Penting dari Kisah Durrah binti Abi Lahab

Khazanah

Mengenang Toeti Heraty: Penyair Kontemporer Terkemuka Indonesia

Khazanah

Hukum Mengonsumsi Kopi Luwak Hukum Mengonsumsi Kopi Luwak

Hukum Mengonsumsi Kopi Luwak

Kajian

Trending

Berapa Kali Sehari Rasulullah Mengucapkan Istighfar?

Ibadah

Citra Perempuan dalam alquran Citra Perempuan dalam alquran

Lima Keutamaan Asiyah Istri Firaun yang Disebut Dalam Hadis dan al-Qur’an

Kajian

Penyakit hati Penyakit hati

Hati-Hati, Ini Ciri Kalau Kamu Punya Penyakit Hati

Kajian

https://www.idntimes.com/ https://www.idntimes.com/

Ratu Kalinyamat: Ratu Jepara yang Memiliki Pasukan Armada Laut Terbesar di Nusantara

Muslimah Talk

Tata Cara Mengurus Bayi yang Meninggal

Kajian

Zikir Ketika Angin Kencang

Ibadah

Mengenal Hamnah Binti Jahsy, Perawat Perempuan di Masa Rasul

Muslimah Talk

ummu salamah penyebutan perempuan ummu salamah penyebutan perempuan

Menelaah Tafsir Ummu Salamah: Menyambung Sanad Partisipasi Perempuan dalam Sejarah Tafsir al-Qur’an

Kajian

Connect