BincangMuslimah.Com – Isu poligami sampai saat ini masih menjadi pro dan kontra dari pelbagai masyarakat. Di luar sana, banyak ditemukan keragaman pandangan terkait poligami.
Pada dasarnya, Islam memang membolehkan seorang laki-laki melangsungkan poligami. Hanya saja, perlu pertimbangan yang dalam dan perenungan matang ketika akan memutuskan poligami.
Salah satu ayat yang memperbolehkan poligami dilakukan adalah pada Q.S al-Nisa (4):3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S al-Nisa’[4]: 3).
Namun, ayat ini memiliki sebuah pemaknaan selain membolehkan poligami. Dilansir dari Islami.co, pembenaran poligami bukan tanpa alasan. Ayat ini turun dikarenakan situasi peperangan yang tidak terhindarkan sehingga banyak para syuhada yang berguguran.
Situasi ini berimbas pada anak-anak yang kehilangan ayah dan menjadi yatim. Sedangkan janda yang ditinggalkan pun beragam kondisinya. Ada yang memang dengan kondisi ekonomi yang kuat. Namun tidak sedikit jauh dari kata mapan.
Di sisi lain pada masa itu itu, sosok ayah atau laki-laki amatlah penting. Laki-laki menjadi satu-satunya tumpuan agar ekonomi dapat berputar.
Begitupun dalam aspek lain seperti sosial dan psikologi. Laki-laki berperan besar dalam segi keamanan, pemeliharaan dan perlindungan. Mengingat posisi perempuan di awal kemunculan Islam belum sepenuhnya stabil.
Ayat di atas, menjadi upaya dari pemeliharaan anak yatim tadi. Dapat disimpulkan jika praktik poligami, hanya dilakukan dengan ketentuan berdasarkan pada ayat di atas. Di mana poligami hanya dilakukan dalam kondisi darurat dan berat.
Sayangnya masyarakat saat ini terkesan mengglorifikasi poligami sebagai ibadah sunnah namun dalam praktiknya tidak berdasarkan pada ayat di atas. Sebagian orang melakukan praktik poligami lebih kepada urusan biologis.
Berbagai alasan pun dikerahkan. Dimulai karena ingin menjauhi perselingkuhan dan perzinaan, karenanya melakukan poligami. Atau ada pula untuk menyenangkan suami agar ada yang mengurus dan masih banyak lagi.
Padahal tidak sedikit dampak yang dimunculkan dari poligami. Memang ada keluarga yang menampilkan keharmonisan meski telah dimadu. Tapi poligami bisa berpengaruh pada keutuhan rumah tangga.
Tidak hanya itu, jika dalam pernikahan sebelumnya telah menghadirkan seorang anak, langkah melakukan poligami perlu jadi pertimbangan yang matang. Jika tidak, dapat berimbas pada kondisi psikis anak. Begitu pula kondisi psikis dari perempuan atau sang istri.
Ketika tindakan poligami telah menyakiti keluarga, tentu saja hal ini telah menyalahi tujuan pernikahan. Dimana ingin menghadirkan keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.
Saat adalah salah seorang pihak yang tersakiti, dalam hal ini adalah istri, maka kedamaian tersebut serta merta dapat tercerabut. Padahal di dalam Islam, ada pembelaan untuk perempuan terkait poligami.
Hal itu tercantum di dalam sebuah hadis.
عن المسور بن مخرمة حدثه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم على المنبر يقول إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم من علي بن أبي طالب فلا آذن ثم لا آذن ثم لا آذن إلا أن يريد ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم فإنما ابنتي بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها (أخرجه البخاري ومسلم)
“Dari Miswar bin Makhramah menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda saat berada di atas minbar “sesungguhnya Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin Abi Thalib maka tidak aku izin, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan kecuali Ali mau menceraikan anakku (Fatimah) lalu menikahi anak mereka (Hisyam bin Abi Mughirah. Karena sesungguhnya anakku merupakan bagian dari diriku. Apa yang menggangguku adalah apa yang mengganggunya, apa yang menyakitiku adalah apa yang menyakitinya (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no 5285)
Pada hadis ini menggambarkan bahwa nabi Muhammad Saw tidak rela putrinya dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib Ra.
Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis Shahih menjelaskan jika ada dua sisi dalam hadis ini. Pertama adalah sisi kegalauan seorang perempuan yang dipoligami. Dalam hal ini adalah putri dari Rasulullah Saw.
Berdasarkan hadis di atas, nabi Muhammad Saw memberikan larangan. Sedangkan sisi kedua adalah pelarangan tadi. Pertama hadis taqriri (penetapan atas tindakan sahabat).
Kedua adalah hadits qauli (perkataan). Faqihuddin di dalam buku yang sama berkata jika Imam Bukhari memaknai hal ini sebagai bentuk pembelaan dari orang tua. Menurut Faqihuddin, perempuan yang tidak rela dan menolak poligami berada pada sisi Fatimah.
Sehingga termasuk di dalam sunnah taqriri karena ditetapkan oleh nabi Muhammad Saw. Sedangkan laki-laki yang melakukan pembelaan untuk saudara atau teman perempuan agar tidak melakukan poligami.
Oleh karena itu dapat disimpulkan jika monogami adalah bentuk sunnah. Selama ini masyarakat muslim sering mendengarkan jika poligami adalah bentuk sunnah. Hadis di atas menceritakan sisi lain dari kehidupan nabi Muhammad saw. mana beliau tidak rela Fatimah dipoligami dan membela putrinya. Beliau melakukan pembelaan kepada perempuan agar tidak menjadi korban poligami. Maka mengikuti jejak nabi Muhammad yang membela Fatimah. Tindakan ini terhitung sebagai sunnah.
3 Comments