BincangMuslimah.Com – Kekerasan merupakan sebuah fenomena ketidakadilan gender. Penyebab kekerasan terhadap perempuan merupakan akibat dari marjinalisasi, stereotype, subordinasi bahkan beban ganda terhadapnya. Ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan, orang dengan mudah mengatakan karena perempuan lemah, pantas menerimanya atau sebutan-sebutan lain yang justru tidak memberikan penguatan dan membuat mental dan psikis perempuan korban kekerasan merasa terlindungi.
Nasaruddin Umar dalam buku Qur’an Untuk Perempuan, berpendapat selama ini penafsiran al-Qur’an yang maskulin masih sering dijadikan dasar untuk menolak kesetaraan gender sehingga menyebabkan ketimpangan.mKitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama, dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). Beberapa rujukan tersebut mengandung tidak sedikit salah tafsir ayat yang cenderung bias gender. Anggapan ini mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan membentuk etos kerja yang timpang.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Husein Muhammad dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan adanya penafsiran yang terkesan agak timpang dan cenderung bias gender terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan laki-laki dan perempuan sehingga menimbulkan perspektif diskriminatif atau subordinatif terhadap perempuan. Di antaranya :
Pertama, karena kekeliruan dalam menginterpretasikan bunyi teks secara harfiah.
Kedua, cara atau metode penafsiran yang parsial atau tidak utuh, sepotong-sepotong, sebagian, atau separo dari keseluruhan teks.
Ketiga, penafsiran terhadap teks-teks Alquran sering kali didasari dan dikuatkan oleh hadis-hadis lemah (daif), hadis palsu (mawdu‘) atau hadis-hadis israiliyyat.
Tiga kemungkinan itu pada akhirnya terakumulasi dalam interpretasi dan sering kali kurang memperhatikan sosio-kultur; di mana dan kapan firman itu diturunkan, atau disebut dengan asbab al-nuzul dan asbab al-wurud.
Selain adanya manipulasi hadis-hadis nabi untuk suatu kepentingan. Salah satu dari sejumlah faktor yang membuat fenomena kekerasan terhadap perempuan menjadi kuat dan efektif adalah adanya dukungan atau kultur patriarki yang hegemoni.
Selanjutnya, beberapa contoh teks kekerasan terhadap perempuan dalam Alquran itu mendapat legitimasi dari pandangan atau pemahaman penafsiran tertentu. Konsep-konsep dalam ajaran Islam yang biasa dipakai untuk membenarkan kekerasan atau menyudutkan wanita misalnya, larangan untuk meninggalkan rumah, kecuali ada keperluan mendesak. Hal ini seperti termaktub dalam QS. al-Ahzab [33]:33, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dulu”. Oleh sebagian orang, ayat ini dipahami sebagai ketentuan Tuhan yang mewajibkan kaum perempuan untuk tinggal di dalam rumah (Ahmad b. Hanbal. Al-Musnad li al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Vol. 1, h. 461).
Pemahaman di atas juga didukung oleh hadis, yang antara lain diriwayatkan oleh sahabat ‘Usman bin ‘Affan bahwa Rasulullah bersabda; “Seorang istri yang keluar tanpa izin dari rumah suaminya akan dilaknat oleh segala yang ada di permukaan bumi hingga ikan-ikan di laut”.
Memahami ayat-ayat Alquran sebagaimana di atas merupakan pemahaman yang tidak utuh. Ayat-ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi dan untuk konteks tertentu dan tidak ditujukan kepada semua kaum perempuan muslimah yang lain. Dalam beberapa teks keagamaan, kekerasan terhadap perempuan juga muncul dalam bentuknya yang cukup krusial. Contohnya adalah segala amal kebaikan perempuan dianggap gugur di hadapan Tuhan, hanya karena dia terlambat melayani kebutuhan seksual suaminya.
Diriwayatkan dalam suatu hadis bahwa Rasulullah bersabda; “Seorang perempuan yang rajin salat malam, sering berpuasa, tetapi ketika oleh suaminya diajak ke ranjang, ia terlambat, maka pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai bersama-sama setan ke neraka paling dasar”. Dalam teks lain diungkapkan betapa kebaikan seorang perempuan menjadi tidak berharga sama sekali, hanya karena ia berbicara kurang sopan di hadapan suami. “Andaikata ada seorang perempuan memiliki seluruh isi dunia ini, dan menafkahkan semua itu kepada suaminya, kemudian ia menyebut-nyebut jasanya itu di hadapannya, Allah akan menghapuskan pahala amalnya itu dan ia akan dikumpulkan bersama-sama Qarun”.
Teks-teks yang memiliki salah tafsir ayat dan cenderung bias gender tersebut oleh sementara orang dijadikan dasar untuk menjustifikasi keharusan perempuan taat terhadap laki-laki (suami) secara absolut. Padahal kedua teks di atas tidak valid, atau dalam ilmu hadis digolongkan sebagai hadis mawdu‘. Ini dijadikan sebuah cara untuk memanipulasi agama untuk kepentingan laki-laki (Muhammad b. Hibban. Sahih Ibn Hibban, Vol. 3, h.258).
Wallahu’alam.