BincangMuslimah.Com – Kekerasan seksual pada perempuan sering kali menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Kekerasan tak hanya terbatas pada perkosaan, tetapi ada beberapa ragam kekerasan seksual pada perempuan yang wajib diketahui,
Posisi perempuan sering kali berada dalam posisi yang merugikan, sudah menjadi korban, ditambah mendapat label dan stigma negatif dari masyarakat. Hal ini seringkali membuat perempuan sebagai korban kekerasan seksual bungkam dan memilih tidak mengungkap kekerasan seksual yang dialaminya.
Karena posisinya berada di pinggiran, menyebabkan pengungkapan dan penyelidikan kasus kekerasan seksual lebih sulit diungkap dan ditangani dibanding kekerasan lainnya. Musababnya adalah kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan kerap kali dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat, perempuan dianggap sebagai simbol kehormatan dan kesucian. Hal itu tak lain karena mengungkap kekerasan perempuan dianggap sebagai tabu dan aib.
Komnas Perempuan merangkum lima belas bentuk kekerasan seksual berdasarkan data pemantauan yang sudah dilakukan sejak tahun 2001. Di antaranya yaitu:
1. Perkosaan, yaitu berupa serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus, atau mulut korban, dengan menggunakan jari tangan atau benda lainnya. Selain itu, serangan dilakukan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, yaitu tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai media seperti aplikasi chatting atau media sosial.
3. Pelecehan seksual, yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Termasuk pelecehan seksual juga di antarany adalah siulan, main mata, dan ucapan bernuansa seksual menunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan memungkinkan juga sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
4. Eksploitasi seksual, yaitu tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan yang timpang untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik, dan lainnya. Praktik eksploitasi biasanya menyasar kepada perempuan miskin sehingga ia masuk dalam lingkaran prostitusi atau pornografi.
Praktik lainnya yaitu dengan cara mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan tetapi kemudian ditelantarkan. Kondisi seperti ini disebut juga dengan kasus “ingkar janji”. Karenanya perempuan menjadi merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku eksploitasi seksual agar ia dinikahi.
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, yaitu tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, atau menggunakan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang, atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya untuk tujuan prostitusi atau eksploitasi seksual lainnya.
6. Prostitusi paksa, yaitu kondisi perempuan yang mengalami tipu daya, ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Kondisi seperti ini membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, mislanya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki kemiripan namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual, atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
7. Perbudakan seksual, yaitu kondisi ketika pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual atau perkosaan atau bentuk lainnya.
Perbudakan seksual judga dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan pernikahan pada perempuan dewasa atau anak-anak untuk menjadi pelayan rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya. Selain itu, pemaksaan hubungan seksual dengan penyekapan juga termasuk pada perbudakan seksual.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, yaitu kondisi ketika perempuan tidak memiliki pilihan selain mengikuti kehendak orang tua atau walinya untuk menikah dengan orang yang tidak dikehendaki olehnya atau bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Kondisi yang lain adalah ketika korban perkoban perkosaan dinikahi pelaku karena pernikahan tersebut dianggap menngurangi aib aibat perkosaan.
Selanjutnya cerai gantung adalah kondisi ketika seorang perempuan dipaksa untuk tetap ada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai, namun gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan.
Contoh lain adalah praktik “cinta buta” yaitu di mana perempuan dipaksa untuk menikah dengan orang lain dengan durasi satu malam atau durasi tertentu, hal ini dilakukan agar dapat rujuk kembali dengan suami sebelumnya (setelah talak tiga dalam hukum Islam).
9. Pemaksaan kehamilan, kondisi ketika perempuan dipaksa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan untuk kehamilan yang tidak dikehendaki. Seperti dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain selain melanjutkan kehamilannya. Atau dalam ikatan perkawinan ketika perempuan tidak diberikan pilihan untuk menggunakan alat kontrasepsi atau mengatur jarak kehamilannya.
10. Pemaksaan aborsi, kondisi ketika perempuan dipaksa untuk menggugurkan kandungannya disertai dengan tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, yaitu kondisi ketika ada pemaksaan untuk menggunakan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan dari perempuan karena tidak mendapatkan informasi yang lengkap atau dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.
Pemaksaan ini mulai terjadi pada masa orde baru untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Selanjutnya pemaksaan ini juga dialami oleh perempuan penderita HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV AIDS atau pemaksaan ini dialami juga oleh perempuan penyandang disabilitas, terutama penyandang tuna grahita yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri.
12. Penyiksaan seksual, yaitu penyerangan organ dan seksualitas perempuan yang dilakukan dengan sengaja sehinga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik fisik, psikis, atau seksual. Penyiksaan seksual ini kerap kali dilakukan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan darinya, atau dilakukan untuk menghukum karena sesuatu perbuatan yang telah dilakukan olehnya atau orang ketiga.
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, yaitu cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa. Hukuman-hukuman ini biasanya berbentuk hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia kerena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, praktik ini adalah praktik yang biasa dilakukan oleh masyarakat dan dianggap sebagai bagian dari tradisi atau dalih agama. Tetapi praktik ini bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Selain itu, kebiasaan ini dapat dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Salah satu contoh dari praktik ini adalah sunat perempuan.
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, dalam ragam terakhir ini sering kali perempuan dianggap sebagai pemicu kekerasan seksual, karenanya kontrol seksual (dan seksualitas) pada perempuan kerap kali dipaksakan dan dianggap pantas bagi perempuan.
Misalnya, pemaksaan busana adalah bentuk kontrol seksual yang paling sering ditemui. Kontrol seksual yang lain juga dilakukan dalam bentuk aturan yang memuat kewajiban berbusana yang pantas bagi perempuan, jam malam bagi perempuan, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, dan larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan.
Aturan semacam ini terdapat pada peraturan muali dari tingkat daerah hingga nasional dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman lainnya.
Demikian lima belas ragam bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang kerap kali terjadi di sekeliling kita. Kelima belas betuk kekerasan seksual ini amat jarang dipahami secara menyeluruh, karenanya hal ini menjadi tugas bersama agar bentuk kekerasan seksual dapat diahami dengan baik untuk kemudian dilakukan pencegahan.