BincangMuslimah.Com – Dalam Islam, pernikahan yang mengikat secara hukum alias sah dan berdasarkan nilai-nilai Islam atau syariat disebut rumah tangga. Pernikahan disyariatkan oleh agama untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memberikan ketenangan antara satu dengan yang lain.
Rumah Tangga yang Islami
Islam sendiri merupakan agama yang memiliki visi rahmatan lil ‘alamin. Al-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfaz al-Quran menyebutkan definisi rahmat sebagai رِقَّةٌ تقتضي الإِحْسَان إلى الْمَرْحُومِ “sifat kelembutan yang menghendaki kebaikan bagi orang yang dikasihi”. Oleh karena itu, rumah tangga yang islami adalah rumah tangga yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kemaslahatan. Bukan hanya bagi suami saja atau istri saja, melainkan bagi keduanya. Dan juga tentunya bagi anak yang merupakan anugerah sekaligus titipan yang telah Allah berikan.
Bahkan lebih jauh lagi, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, dosen Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) Jakarta yang merupakan seorang pemikir feminis Muslim Indonesia, sekali waktu pada kajian yang pernah penulis ikuti mengatakan bahwa rumah tangga yang islami tidak cukup sebatas memberikan kemaslahatan bagi keluarga inti saja, melainkan adalah rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan bagi lingkungan di mana mereka tinggal.
Ayat-ayat Prinsip Lima Pilar Rumah Tangga
Alquran sebagai pedoman umat Islam tentu telah mengatur seluruh rangkaian terkait pernikahan. Prinsip-prinsip yang menyangkut relasi suami istri telah diungkapkan di dalamnya. Setidaknya ada lima pilar rumah tangga yang dipaparkan oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah.
Pertama, mitsaqan ghalizan, yakni adanya komitmen dari pasangan suami istri terhadap ikatan janji yang kokoh sebagai amanah dari Allah swt. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surah an-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian (ikatan pernikahan) yang kuat.” (QS. an-Nisa: 21)
Esensi dari ayat di atas adalah bahwasannya ikatan yang terjadi dalam pernikahan tidak hanya antara suami dan istri saja. Melainkan ikatan tersebut merupakan perjanjian besar antara suami istri dengan Allah swt. Maka pernikahan haruslah berpegangan pada prinsip “berkumpul secara baik-baik atau berpisah secara baik-baik.”
Kedua, zawaj, yakni prinsip berpasangan dan berkesalingan. Hal ini sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat 187:
… هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ …
“… mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka… .” (QS. al-Baqarah: 187)
Ayat ini mengingatkan bahwa suami istri seyogyanya seperti pakaian, yakni saling menghangatkan, menjaga, menghiasi, melindungi, dan juga menghormati.
Dan juga Quran surah ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)
Sudah lazim diketahui bahwasannya di antara tujuan pernikahan adalah terciptanya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sakinah, artinya ketenangan atau ketentraman. Barangkali seseorang sebelum menikah seringkali merenungkan pada siapa hatinya akan berlabuh, siapa yang akan menjadi rumah yang memberikannya ketenangan. Bahkan dalam kesendiriannya ia juga harus berjuang melawan syahwat. Maka setelah menikah, di situlah ia mendapatkan ketenangan dan ketentraman.
Mawaddah adalah cinta yang datang sebab faktor fisik, kebaikan atau adanya nilai plus dari pasangan. Adapun rahmah adalah kasih sayang yang tulus layaknya rasa sayang seorang ibu kepada anaknya. Rahmah inilah yang membuat cinta bertahan walaupun usia pernikahan sudah tua. Ketiga hal ini tentu harus dua arah, berkesalingan.
Ketiga, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf, yakni saling memperlakukan dengan baik. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 19:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا.
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. an-Nisa: 19)
Suami dan istri harus sama-sama berlaku baik. Maka dalam rumah tangga tidak boleh ada perlakuan sewenang-wenang dari suami terhadap istri dalam hal apapun. Begitu juga sebaliknya, istri tidak boleh sewenang-wenang terhadap suami.
Keempat, prinsip musyawarah, yakni kebiasaan saling berunding dan berembuk bersama. Musyawarah merupakan salah satu kunci dari hubungan rumah tangga. Hal ini karena dengan senantiasa berembuk dan mempertimbangkan pendapat pasangan, suami atau istri akan merasa dipercaya dan dihargai. Selain itu dengan musyawarah, segala sesuatu dalam rumah tangga akan lebih mudah ditemukan penyelesaiannya. Allah telah memberikan contoh musyawarah dalam rumah tangga di surah al-Baqarah ayat 233, yakni pada kasus penyapihan:
… فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
“… Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 233)
Kelima, prinsip taradhin, kerelaan atau saling memberi kenyamanan. Masih dengan ayat yang sama seperti di atas, surah al-Baqarah ayat 233 juga mengandung prinsip berumah tangga yaitu taradhin. Pernikahan harus memberikan rasa saling nyaman dan kerelaan. Hal tersebut salah satunya dapat dihasilkan melalui musyawarah dalam setiap persoalan, seperti pada kasus menyapih yang disebutkan oleh ayat di atas. Begitu pula dalam urusan-urusan dasar rumah tangga lainnya.
Demikianlah lima pilar rumah tangga perspektif Alquran seperti yang telah dipaparkan oleh Kang Faqih dalam bukunya, Qiraah Mubadalah. Semoga kita semua senantiasa diberikan kesadaran untuk menerapkannya sehingga dapat mewujudkan rumah tangga yang islami. Wallahu’alam.
1 Comment