BincangMuslimah.Com – Nabi Muhammad saw. telah mengatakan bahwa satu-satunya perkara halal yang paling dibenci Allah Swt. adalah perceraian. Karena itu, pada dasarnya istri yang meminta cerai kepada suami adalah hal yang tidak diperbolehkan kecuali memang terdapat sebab-sebab atas hal tersebut dan bukan hal sepele.
Rasulullah saw. bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير ما بأس فحرام عليها رائحة الجنة.
Artinya: Rasulullah Saw bersabda, “Siapapun perempuan yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan maka haram baginya wewangian surga.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Bagi para istri yang meminta cerai dikatakan tidak akan bisa mencium bau wangi surga apalagi masuk surga itu sendiri. Hal tersebut karena sebagaimana disebutkan tadi, cerai adalah perkara yang dibenci Allah Swt. sekalipun dihalalkan. Namun jika dalam kondisi tertentu yang tidak tertahankan yang memaksa istri minta cerai maka dibolehkan.
Berikut enam keadaan istri boleh meminta cerai kepada suami;
Pertama, suami tidak mampu memenuhi hak-hak istri, seperti nafkah, pergaulan yang baik, dan tempat tinggal yang layak. Termasuk dalam kasus ini jika suami sangat pelit dan perhitungan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar istri.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan termasuk dalam hal ini jika suami tidak mau memberi nafkah istri baik karena tidak ada yang bisa dia berikan sebagai nafkah atau yang lain, sehingga seorang perempuan menjadi bimbang antara bersabar atau minta berpisah.
Kedua, suami merendahkan istri dengan memukulnya, melaknat dan mencela sang istri. Sekalipun hal tersebut bukan tindakan yang berulang-ulang. Apalagi jika suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tanpa ada sebab syar’I yang mengharuskan dia melakukan itu.
Islam melarang suami melakukan KDRT baik secara verbal atau non verbal. Karena itu Istri berhak meminta cerai jika suami melakukan kekerasan yang jelas terlihat seperti ada bekas pukulan dan sebagainya walaupun tidak ada saksi.
Ketiga, suami pergi dalam waktu yang sangat lama. sehingga istri menghadapai keadaan gawat darurat dengan sebab ditinggal suami. Lamanya kepergian tersebut hingga lebih dari enam bulan sehinga dikhawatirkan terjadi fitnah yang menimpa sang istri. Sebagaimana hal itu diterangkan dalam al-Mughni
وسئل أحمد أي ابن حنبل رحمه الله: كم للرجل أن يغيب عن أهله؟ قال: يروى ستة أشهر.
Artinnya: Ibnu Qudamah berkata, “ Imam Ahmad, yaitu Ibn Hanbal rahimahullah ditanya, ‘berapa lama bagi laki-laki menghilang dari keluarganya?” dia berkata, “diriwayatkan enam bulan”
Keempat, suami ditahan untuk waktu yang lama, ini menurut pendapat madzhab malikiyah dalam al-mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah. Madzhab malikiyah membolehkan cerai bagi orang yang ditahan jika istrinya meminta, karena dengan dipenjaranya sang suami menyebabkannya dalam keadaan darurat. Itu diperbolehkan setelah setahun penahanan. Karena ditahan sama dengan tidak ada baik ketidakadaan suami karena uzur seperti ditahan atau tanpa uzur, itu diperbolehkan minta cerai.
Kelima, jika suami divonis memiliki penyakit menular atau penyakit impoten, atau penyakit berbahaya lainnya.
Keenam, fasiknya suami sebab melakukan dosa-dosa besar, atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban fardu yang mana jika suami tidak melakukannya bisa menyebabkan kekafiran atau rusaknya akad nikah.
Sedangkan istri sudah bersabar atas kelakuannya dan menasehatinya agar berubah namun suami tetap melakukan dosa-dosa tersebut maka pada kondisi ini istri berhak meminta cerai dan jika suami menolak, ia bisa menaikkan perkaranya ke persidangan.
Meskipun dalam beberapa keadaan di atas istri dibolehkan meminta cerai kepada suami, perlu diingat sekali lagi bahwa cerai adalah perkara yang meskipun halal namun dibenci oleh Allah Swt. Jadi, sebelum benar-benar bulat keputusan untuk meminta cerai, agar dipikirkan kembali keputusan tersebut. Apalagi perceraian juga sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anak. Wallahu’alam.
*Artikel ini pernah dimuat BincangSyariah.Com