BincangMuslimah.Com – Perempuan itu menangis. Tapi ia tidak tahu apa sebabnya. Beberapa kali ia tekan segala gemetar dan takut untuk menegakkan kepala dan bersikap tidak mengapa saat memasuki kelas. Beberapa kali jilbab bewarn cokelat susu yang jatuh menyeluruh, menutupinya hingga selutut, diperbaiki berkali-kali. Sesekali ujung jilbab malang itu harus jadi lap ingus yang keluar tanpa kompromi.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari sebuah instansi pendidikan menengah atas tempat ia melakukan PKL saat itu. Semua sempurna seperti yang diharapkan mahasiswa PKL lainnya. Sampai ada seorang guru tetap yang menghampirinya barang dua kali dalam sehari. Sudah seperti minum obat, rutin sekali. Orang saja juga jarang mencekoki obat serajin itu.
Semua orang memanggil guru ini bapak, karena memang sudah semestinya seperti itu. Panggilan Bapak yang disematkan padanya bukan lagi karena formalitas panggilan antar guru. Dia, 30-an ini sudah punya istri dan dua anak balita di rumahnya.
Awalnya tidak begitu menganggu. Ya, anggaplah jika itu salah satu trik untuk mengakrabkan diri agar mahasiswa PKL bisa berbaur. Seperti itu dan beberbagai pembenaran lainnya. Hanya lonjakan ‘hello’ selamat datang itu tiap hari memberikan kadar yang tidak lagi wajar. Bapak ini melebihi dosis yang semestinya dan berusaha mencabut pagar-pagar yang bercokol di depan batas sopan satun yang wajar.
Tawaran makan berdua, hingga menawarkan sejumlah uang setiap kali bertemu? Baik, itu wajar jika dilakukan dengan mahasiswa atau guru lain. Jika memaksa untuk berdua saja? Sebagai mahasiswi yang budiman, tentu semua tawaran itu ia tolak dengan halus. Meski rasa terganggun, takut dan lainnya mulai bermunculan seperti kutu diberi ketombe.
Puncak dari kesialan adalah ketika ruangan guru sepi karena sedang ada jam kelas dan ia tidak punya jam untuk mengajar, si bapak ini mulai beraksi kembali. Kali ini si bapak lebih kuat dan menekan sehingga mahasiswi merasa terintimidasi. Tak segan ia mengajak makan dan menyodorkan uang lima puluh ribuan. Sikap itu mulai tidak menyenangkan dan mahasiswi lebih membetengi diri dengan memberikan penolakan lebih tegas dari biasanya.
Si bapak tidak belajar banyak rupanya saat berada di bangku sekolah, jadi tidak begitu mengerti saat kata ‘tidak perlu’ dimuntahkan berkali-kali ke depan wajahnya. Ia menaruh uang ke dalam laci mahasiswi dan kembali memaksa untuk makan siang berdua saja. Kalau saja seorang guru masuk mengambil absen yang ketinggalan, mungkin Bapak ini akan lebih menjadi. Ia dapat peluang untuk melarikan diri ke luar.
Dan jadilah saat ini ia sesegukan di lorong kelas yang sepi. Kenapa dia menangis? Dia tidak tahu. Karena rasanya ada sesuatu yang terenggut darinya, tanpa izin dan hilang begitu saja. Belum rasa takut, khawatir dan sedih yang meledak begitu saja. Tambah membuncahlah air matanya
Mungkin sebagian perempuan di setiap sisi dunia punya pengalaman yang hampir sama. Sayangnya, tidak semua tahu jika kasus yang terjadi di atas adalah bentuk dari pelecehan seksual. Sepanjang yang perempuan tahu, pelecehan seksual hanya terjadi ketika ada tindakan verbal, sentuhan, dan ajakan langsung berhubungan seksual.
Nyatanya, defenisi pelecehan seksual lebih jauh dan complex lagi.
Dari Internasional Labour Organization, pelecehan seksual merupakan bentuk diskriminasi seksual yang menjatuhkan wibawa perempuan atau pun laki-laki.
Komisi Perempuan pun punya defenisi lain dan detail jenis-jenis pelecehan seksual itu sendiri. Pelecehan seksual terjadi baik secara fisik maupun non fisik (lisan, ucapan). Dengan tujuan menyasar pada tubuh hingga hubungan seksual.
Mungkin sulit untuk mengidentifikasi bagaimana pelecehan seksual itu telah terjadi. Tapi ada cara lain untuk mengenali jika tindakan orang lain merupakan bentuk pelecehan seksual. Yaitu tindakan tersebut mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan masalahnya hingga mengancam keselamatan.
Sedangkan Komnas Perempuan sendiri menentukan ada 15 jenis pelecehan seksual berdasarkan dari pemantauan dan analisis sepanjang tahun 1998 – 2013 di antaranya perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual dan seterusnya.
Kelima belas jenis pelecehan seksual ini pun belum final karena setiap tahunnya, masih banyak pelecehan seksual dengan bentuk dan kadar yang berbeda.
Kasus mahasiswi di atas merupakan pelecehan seksual dengan kategori perilaku menggoda. Perilaku yang memaksa, menyinggung sesuatu yang tidak pantas. Memaksa berhubungan seksual, paksaan ajakan makan malam, minum, kencan, atau panggialn telepon yang tiada pernah berhenti.
Jika sudah terjadi hal yang demikian, seharusnya korban tidak perlu sungkan atau melaporkan kepada pihak atau instansi yang punya tanggunjawab penuh di lingkungan itu. Tapi beberapa korban terutama perempuan masih merasa pelecehan seksual adalah hal yang memalukan. Adalah aib jika orang lain mengetahui apa yang mereka alami.
Apa lagi muncul beberapa komentar yang pasti pernah ditemui di sekitar lingkungan kita bahkan di dalam keluarga seperti ini:
Kamu sih, jilbabnya dinaikin. Jadinya menarik perhatian laki-laki buat ganggu.
Bajunya ketat, ya wajarlah diperkosa
Lihat tuh, keluar malam terus. Pasti bukan perempuan baik-baik!
Korban semakin kalut dan kelu untuk mengadukannya. Kalau pun sudah ada keberanian untuk pergi ke instansi atau pihak yang punya wewenang, masih ada saja ciloteh tolol yang mengejewantahkan korban untuk mendapatkan keadilan.
Yakin kamu korbannya? Jangan-jangan kamu memang suka
Pas ‘diituin’ kamu ikut basah juga kan?
Dan masih banyak statment lainnya yang berseliweran dimana-mana. Jelas, semua komentar dan stigma di atas harus diberangus. Ketertutupan korban adalah malapetaka dan pelaku makin semena-mena dan punya otoritas untuk bertindak lebih lanjut. Lebih gila.
Sejatinya pakaian tidak punya pengaruh yang signifikan terhadap pelecehan seksual. Dilansir dari Tirto.id Ada 16% korban memakai baju lengan panjang, 14% pakai seragam sekolah, 17% mengenakan hijab, dan 14% memakai baju longgar.
Angka yang fantastik bukan?
Mau bilang apa kalau korbannya adalah balita? Apakah karena ia berpakaian seksi dan seronok pelaku langsung terpancing untuk melakukan tindak pelecehan? Bagaimana pula menjelaskan kasus mahasiswi di atas? Kurang tertutup apa kalau bicara soal penampilan terbuka? Lantas apa pula dosa seorang anak Sekolah Dasar yang diculik, dilecehkan lalu dihilangkan nyawanya sepulang sekolah.
Apakah karena dia pandai menggoda atau berlaku binal? Pelecehan seksual terjadi saat pelaku memandang posisi salah satu gender atau orang lebih rendah dan hanya menjadikan mereka sebagai objek seksual.