Ikuti Kami

Wawancara

Berbincang dengan Salah Satu Eks HTI di KUPI II, Bu Sulis: Ekonomi Menjadi Salah Satu Faktornya

Alif Iqra, Guru Al-Quran Eks HTI KUPI II

BincangMuslimah.Com – Aksi terorisme merupakan puncak dari pemahaman keagamaan yang ekstrim. Pada banyak kasus, para eks-teroris merupakan orang-orang yang terpapar pemahaman Islam garis keras. Ada banyak faktor yang menyebab seseorang terlibat di kelompok ekstrim, salah satunya adalah faktor ekonomi. Tapi yang jelas, ini bukan merupakan faktor yang tunggal.

Penulis mendapat kesempatan bertemu dengan salah satu eks HTI di perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II pada 25 November di Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara. Dalam sesi “Pra-Musyawarah Peran Ulama Perempuan dalam Melindungi NKRI dari Ancaman Ekstrimisme Agama” yang salah satu narasumbernya adalah Nyai Hj. Luluk Farida, penulis melakukan wawancara dengan Sulis Susilowati yang berusia kisaran 50 tahun.

Di KUPI II, Bu Sulis, demikian ia disapa, mewakili komunitas Tanoker Ledokombo. Bersama 4 orang lainnya, Bu Sulis berangkat dari Jember mewakili komunitas belajar Tanoker yang didirikan oleh Farha Ciciek dan suaminya pada tahun 2009. Berdasarkan penuturan Bus Sulis, Tanoker berarti kepompong. Pendirinya berharap, komunitas ini menjadi tempat siapapun untuk berproses layaknya kupu-kupu yang berasal dari ulat kemudian menjadi kepompong dan berakhir menjadi kupu-kupu yang indah.

“Tanoker ini diharapkan menjadi tempat berproses yang nantinya akan menjadi kupu-kupu yang indah,” demikian penjelasannya.

Bu Sulis bercerita bahwa pada mulanya di tahun 2011, ia terlibat dalam salah satu kelompok ekstrim, tepatnya adalah HTI yang kini telah dilarang aktivitasnya oleh pemerintah, adalah karena keaktifannya mengikuti kegiatan sosial di desa. Kegemarannya pada membaca buku dan melakukan aktivitas sosial mengantarkan ia pada beberapa anggota yang terlibat HTI. Berdasarkan penuturannya, suaranya didengar dan cukup berpengaruh di kalangan masyarakat. Sehingga mungkin, ia dibidik oleh salah satu temannya yang juga merupakan anggota HTI agar bisa memberi pengaruh pada yang lain. 

Baca Juga:  KemenPPPA: Wujudkan Pesantren Ramah Anak melalui Kolaborasi Banyak Pihak

“Saya masih ingat, buku pertama yang saya baca dari mereka itu berjudul “Pembela Islam”, ingat betul!” Imbuhnya.

Di kala itu pula, Bu Sulis merupakan orang tua tunggal dari ketiga anaknya yang masih berusia anak-anak. Kondisi ekonominya memburuk dan sulit untuk bertahan hidup. Penghasilan utamanya hanya bersumber dari profesinya sebagai guru PAUD honorer dan kurir bahan bangunan yang tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan ketiga anaknya. Maka alasan ekonomis lah yang menjadi faktor utama ia mau bergabung di kelompok HTI. Ia mengaku mendapat komisi berupa uang setiap bulan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

“Apa yang akan saya dapatkan (kalau saya bergabung)? saya terus terang saja bilang begitu,” tuturnya, menceritakan saat-saat beliau mendapat tawaran untuk bergabung. 

Meski ia tidak sampai pada aksi-aksi kekerasan, ia ditugasi untuk mengajak masyarakat Ledokombo untuk bergabung. Ternyata, kedudukannya di masyarakat yang cukup berpengaruh membuatnya mudah untuk mengajak beberapa temannya bergabung di HTI. Dari 10 desa di Kecamatan Ledokombo, Bu Susi mendatanginya satu per satu.

Bu Susi terlibat di HTI selama 3 tahun lebih. Selama 3 tahun itu, Bu Susi melakukan pertemuan bersama calon anggotanya, mengajaknya melakukan kajian dan doktrinisasi melalui forum kajian tersebut. Karena pengetahuan dan pengalaman masyarakat di desanya yang beragam, ia mengaku harus menyesuaikan diri untuk memberi informasi dan kajian kepada masing-masing targetnya. Artinya, cara dalam mengajak satu calon anggota berbeda dengan calon anggota lainnya. Semuanya menyesuaikan dengan kemampuan intelektual dan pengalaman mereka. 

Hingga pada suatu hari, saat ia hendak melawat ke Sidoarjo dalam rangka muktamar HTI, ia dicegat oleh Ayahnya. Mulanya, Ayahnya tidak mengetahui aktivitas Bu Sulis selama di HTI. Tapi lambat laun, Ayahnya menyadari karena semua buku yang dibaca oleh Bu Sulis juga dibaca oleh Ayahnya. Niatnya yang hendak pergi ke Sidoarjo diketahui oleh Ayahnya karena melihat tiket kereta yang sudah ia miliki. Saat itu juga, aksinya tersingkap oleh Ayahnya. Semua baju, buku, dan tiket ke Sidoarjo untuk hadir di muktamar yang ia peroleh dari kelompok HTI dibakar habis hingga tak tersisa. Di situlah titik balik hidupnya dimulai. 

Baca Juga:  Nyai Khoiriyah Hasyim dan Jejak Perjuangan Emansipasi Perempuan di Mekkah

Kemudian, Farha Ciciek, pendiri Tanoker mengetahui aktivitas Bu Sulis yang terlibat di kelompok HTI. Ia menghubungi Bu Sulis untuk menemuinya, di situlah perjalanannya melepaskan diri dari ideologi ekstrimisme dimulai. Perlahan-lahan, Bu Ciciek, melalui program “Pencegahan Radikalisme” yang ia bentuk di Tanoker dan bekerja sama dengan program desa, menuntunnya agar kembali pada ideologi Islam yang moderat. 

Meski pada mulanya, Bu Sulis merasa berat meninggalkan HTI karena di sana pula ia mendapatkan bantuan ekonomi hingga bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Tapi ia bersyukur karena belum sampai pada pembaiatan. 

Kini ia aktif sebagai penggerak NU dan aktivis di Tanoker tepatnya di program “Pencegahan Radikalisme”. Bersama aktivis lain, Bu Sulis bergerak ke desa-desa untuk menjalankan program ini. Kabar baiknya pula, ekonominya sudah membaik bahkan salah satu anaknya kini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Sebagai eks HTI yang kini aktif dalam pencegahan radikalisme dan ekstrimisme, Bu Sulis sangat  antusias dalam mengikuti kongres di KUPI II kemarin. Beliau, kini, merupakan sosok perempuan yang menjadi bagian dari pelopor perubahan peradaban yang lebih berkeadilan seperti tema KUPI II kali ini, “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan.”

Rekomendasi

Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren

Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren

Fatimah Al-Banjari: Ulama Perempuan Pengarang Kitab Parukunan

Nushrat al-Amin Nushrat al-Amin

Sayyidah Nushrat al-Amin: Mufassir Perempuan Pertama dengan Karya 30 Juz

zainab al-ghazali zainab al-ghazali

Zainab Al-Ghazali; Mufassir Perempuan Pelopor Feminisme Islam

Ditulis oleh

Sarjana Studi Islam dan Redaktur Bincang Muslimah

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Mapan Dulu, Baru Nikah! Mapan Dulu, Baru Nikah!

Mapan Dulu, Baru Nikah!

Keluarga

Melatih Kemandirian Anak Melatih Kemandirian Anak

Parenting Islami ; Bagaimana Cara Mendidik Anak Untuk Perempuan Karir?

Keluarga

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Pondok Pesantren Sunan Pandanaran

Tiga Tradisi Bersalawat yang Rutin Diadakan di Pesantren Sunan Pandanaran

Muslimah Daily

Connect