Ikuti Kami

Kajian

Nyai Djuaesih, Perintis Muslimat NU

Nyai Djuaesih

BincangMuslimah.Com – Gerakan perempuan dalam Nadhatul Ulama menjadi kekuatan perjuangan bersama. Kita tidak memungkiri lahirnya NU salah satunya adalah karena kontribusi perempuan. Sebut saja peran perempuan tersebut terlihat dari para nyai yang mendampingi para kiai dalam menyampaikan dakwahnya. Salah satunya ialah Nyai Djuaesih, istri dari Danuatmadja atau yang lebih dikenal dengan H.Bustomi.

Dialah, perempuan Nadhatul Ulama yang tercatat dalam sejarah yang aktif dalam menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan pada 1938 saat Muktamar ke-13 NU di Menes. Beliau berjuang dengan keberanian yang kuat dan rasa percaya diri yang tinggi.

Beliau menjadi seorang sosok perintis Muslimat NU, yang mungkin tidak terlihat sebagai seorang sosok yang organisatoris. Beliau lebih dikenal sebagai seorang mubalighah dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat.

Sekilas tentang Nyai Djuaesih

Djuaesih dilahirkan pada Juni 1901 di Sukabumi. Beliau tidak pernah mengikuti sekolah formal dan hanya belajar kepada kedua orang tuanya yakni R.O Abbas dab R. Omara S yang membekalinya dengan ilmu agama. Beliau memiliki kemampuan alamiah sebagai mubalighah dan terkenal di Jawa Barat.

Beliau sering memberikan ilmu agama dengan ceramah untuk para ibu di Jawa Barat seperti di daerah Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi, Bekasi dan Ciamis.

Perjumpaannya dengan Nadhatul Ulama dimulai setelah menikah. Suaminya adalah seorang pengurus NU Jawa Barat. Beliau mulai menjaring kaum perempuan untuk ikut berdakwah bersama.

Pendakwah dan Belajar di Lingkungan NU

Terlahir dari keluarga sederhana tak pernah membuat Nyai Djuaesih berkecil hati dan minder. Dengan percaya diri beliau memulai langkahnya sebagai penceramah. Sri Roviana dalam paper berjudul Gerakan Perempuan Nadhatul Ulama dalam transformasi Politik mencatat bahwa di lingkungan NU, Nyai Djuaesih mempunyai sumbangan besar yakni mendirikan gerakan khusus perempuan.

Baca Juga:  Suami Boleh Saja Memukul Istri, Tapi Perhatikan Syaratnya!

Nyai Djuaesih berkeyakinan NU memiliki kewajiban untuk berdakwah dengan menyebarkan ilmu dan ajaran Islam, begitupun perempuan NU. Akhirnya beliau mengusulkan agar para perempuan NU terlibat dan menjadi anggota serta aktif dalam wadah organisasi sendiri.

“Di dalam Islam, tidak hanya kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lainnya. Kaum perempuan juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum perempuan yang tergabung dalam Nadhatul Ulama mesti bangkit,” ujarnya dalam Muktamar NU di Menes.

Meskipun beliau menjadi salah satu perintis organisasi perempuan NU, beliau tidak menjabat jabatan tertentu pada kepengurusan pertama Muslimat NU di Jawa Barat. Baru pada tahun 1950 beliau menjabat sebagai ketua.

Perintis berdirinya Muslimat NU

Peran sentral beliau dalam pendirian Muslimat NU diawali saat forum Muktamar 13 yang diadakan di Menes tahun 1938 seperti yang dijelaskan paragraf sebelumnya. Setahun kemudian Nyai Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus perempuan oleh RH Muchtar yang ketika itu dihadiri oleh perwakilan dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Forum tersebut telah menghasilkan rumusan tentang pentingnya peranan perempuan dalam organisasi NU, sebagai pendidikan, pendakwah di tengah masyarakat. Rumusan ini kemudian semakin membawa beliau menemukan sosok formalnya ketika Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada 1940 dan menghasilkan rumusan anggaran dasar dan pengurus besarnya, yang semakin meneguhkan akan peran sentral perempuan.

Pada Maret 1946, keinginan kaum perempuan NU untuk berorganisasi diterima secara bulat pada Muktamar ke 16 di Purwekerto. Pertemuan ini menghasil pembentukan lembaga organik bidang perempuan dengan nama Nahdhaatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang sekarang dikenal dengan nama Muslimat NU.

Baca Juga:  Menuju Musyawarah KUPI II, Ini 5 Isu yang Akan Dibahas

Berjuang mengangkat derajat kaum perempuan sampai mengangkat senjata

Dalam paper berjudul Muslimat NU: Dedikasi Untuk Negeri yang ditulis oleh Ryansyah, tercatat sejak saat itu Muslimat NU yang dirintis oleh Nyai Djuaesih bersama para perempuan NU mulai menelusuri perjuangan dengan lebih mantap dan percaya diri. Garis ideologi yang berasal dari NU sebagai organisasi induk tetap dijaga, sementara Muslimat NU tumbuh menjadi kekuatan penting yang memperjuangkan isu-isu perempuan.

Atas dasar prestasinya, pada tahun 1952 saat Muktamar ke-19 di Palembang, Muslimat NU pun memperoleh hak otonomi. Terdapat kesepakatan dengan memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU untuk mengatur dan mengurus anggaran rumah tangganya sendiri juga memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya dalam medan pengabdian.

Sejak inilah Muslimat lebih bergerak bebas dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam cita-cita nasional secara mandiri. Perjuangan tak hanya berupa non fisik. Muslimat NU ikut berpartisipasi dalam perjuangan fisik di masa revolusi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya Sukarelawati Muslimat NU yang berisi para perempuan NU yang siap mengangkat senjata untuk bangsa dan negara.

Pada tahun 2018, nama Nyai Djuaesih disetarakan dengan R.A Kartini. Hal ini dimuat dalam artikel yang ditulis oleh Nurfitriana Busyro di Mata Madura News. Nurfitriana menyebut hal ini adalah salah satu bentuk penghargaan kepada beliau yang telah mengangkat harkat dan martabat perempuann NU.

*Artikel ini ditulis untuk menyambut Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2020

Rekomendasi

Rohana Kudus: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia

Ummu Ri‘lah al-Qusyairiyah Ummu Ri‘lah al-Qusyairiyah

Ummu Ri‘lah al-Qusyairiyah, Pejuang Hak Perempuan di Masa Rasulullah

laksamana malahayati laksamana malahayati

Laksamana Malahayati: Memimpin Armada Laut untuk Lawan Penjajah

Nushrat al-Amin Nushrat al-Amin

Sayyidah Nushrat al-Amin: Mufassir Perempuan Pertama dengan Karya 30 Juz

Ditulis oleh

Mahasiswi UIN Jakarta dan volunter di Lapor Covid

Komentari

Komentari

Terbaru

ajarkan kesetaraan laki-laki perempuan ajarkan kesetaraan laki-laki perempuan

Mengenal Lebih Jauh Macam-macam Pendekatan Gender

Kajian

Kisah cinta Zainab binti Rasulullah Kisah cinta Zainab binti Rasulullah

Kisah Cinta Sayyidah Zainab binti Rasulullah

Muslimah Talk

Hukum kremasi jenazah mualaf Hukum kremasi jenazah mualaf

Hukum Kremasi Jenazah Mualaf

Kajian

Rembuk Ide Rembuk Ide

El-Bukhari Institute Gelar Rembuk Ide, Bahas Moderasi Beragama untuk Gen Z

Berita

Bincang Thaharah; Wudhu Tidak Berurutan, Apakah Tetap Sah?

Video

Perbedaan Haji dan Umrah Perbedaan Haji dan Umrah

Tiga Perbedaan Haji dan Umrah

Ibadah

Syarat-syarat dikabulkannya doa Syarat-syarat dikabulkannya doa

Fungsi dan Syarat-syarat Dikabulkannya Doa  

Ibadah

Larangan bagi Perempuan Haid Larangan bagi Perempuan Haid

Larangan bagi Perempuan Istihadhah

Kajian

Trending

Doa keguguran Doa keguguran

Kehilangan Buah Hati Akibat Keguguran, Baca Doa yang Diajarkan Rasulullah Ini

Ibadah

masa iddah hadis keutamaan menikah masa iddah hadis keutamaan menikah

10 Hadis Tentang Keutamaan Menikah

Kajian

Tujuh Keutamaan Membaca Shalawat Tujuh Keutamaan Membaca Shalawat

Doa agar Terhindar dari Prasangka Buruk pada Allah

Ibadah

Mengenal Rufaidah al-Aslamiyah: Perawat Perempuan Pertama dalam Sejarah Islam

Muslimah Talk

Mandi junub dan haid Mandi junub dan haid

Empat Hal yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Wajib

Ibadah

Resensi Buku Pernah Tenggelam Resensi Buku Pernah Tenggelam

Resensi Buku Pernah Tenggelam: Halu Berlebihan Menenggelamkan Keimanan?

Diari

Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah

Kisah Bulan Madu Rasul dengan Shafiyah binti Huyay

Muslimah Talk

muslimah mencukur habis rambutnya muslimah mencukur habis rambutnya

Bolehkah Muslimah Mencukur Habis Rambutnya?

Kajian

Connect