Ikuti Kami

Muslimah Talk

Ahmadiyah; Peneliti Usulkan MUI Keluarkan Fatwa Larangan Merusak Rumah Ibadah

ahmadiyah MUI rumah ibadah
dokumentasi CNN Indonesia

BincangMuslinah.Com – Tindakan intoleransi terhadap kelompok Ahmadiyah di Indonesia terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Berita terbaru datang dari Desa Balai Harapan, Kota Sintang, Kalimantan Barat pada 3 September 2021. Penyerangan dilakukan oleh kelompok lain dengan merusak rumah ibadah, masjid Nurul Huda milik Ahmadiyah. Banyak yang melegitimasi bahwa tindakan intoleransi berkali-kali terjadi karena fatwa MUI.

Berdasarkan penelitian dari SETARA Institute, kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tercatat terdapat 164 kasus sepanjang 2012 hingga 2015. Sedangkan pada tahun 2016 22 peristiwa. Belum lagi peristiwa-perstiwa yang terjadi di tahun-tahun berikutnya, seperti yang terjadi di Lombok Timur berupa penyerangan dan pengrusakan rumah warga JAI oleh kelompok lain. Dan beberapa tindakan intoleran lainnya.

Membicarakan Ahmadiyah sangatlah kompleks. Kita harus memandangnya dari berbagai aspek, tidak sekedar dari sisi teologis semata. Sebagaimana kelompok Islam lainnya yang bersifat dinamis, Ahmadiyah juga mengalami banyak perubahan dan kelompok di dalamnya. Penulis berkesempatan mewawancarai salah satu lulusan program Magister 2016 di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Zainul Mun’im pada 8 September 2021. Beliau melakukan penelitian mengenai fatwa MUI tentang kelompok dan paham menyimpang dengan pendekatan Hukum Islam dan HAM.

Ada beberapa fatwa MUI yang menjadi objek penelitian tersebut, salah satunya adalah fatwa MUI tentang Ahmadiyah yang rilis pada tahun 1980 dan 2005. Fatwa yang rilis kedua kalinya bertujuan memberi penegasan dan juga merespon peristiwa penyerangan tempat ibadah JAI di Parung, Bogor pada 2005. Peristiwa ini diklaim sebagai bukti bahwa JAI menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

Tidak berbeda dengan fatwa yang sudah rilis pada tahun 1980, fatwa yang rilis pada tahun 2005 juga menetapkan kesesatan Ahmadiyah dan memohon kepada pemerintah untuk melarang penyebaran ajarannya dan menutup semua tempat kegiatannya. Hal inilah yang menurut banyak kelompok melakukan penyerangan terhadap JAI.

Baca Juga:  Peraturan Baru dari Taliban yang Membatasi Hak Perempuan

Dalam penelitian, Zainul Mun’im melakukan pendekatan Hukum Islam dan HAM. Tapi kali ini penulis akan membahas bagian HAM karena pada bagian inilah yang mesti ditekankan. Zainul menyebutkan, memahami konteks Ahmadiyah di Indonesia sangatlah kompleks. Pemahaman yang dianut oleh beberapa kelompok Ahmadiyah seiring waktu mengalami perubahan. Beliau menekankan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri kelompok Ahmadiyah tidak pernah mengklaim dirinya sebagai nabi. Akan tetapi kemudian, beberapa pengikutnyalah yang mengimani Mirza sebagai nabi.

Kelompok Ahmadiyah pertama kali berdiri sebagai gerakan revolusioner di India saat berada di bawah kekuasaan Inggris pada tahun 1835. Pada perkembangannya, Ahmadiyah di dunia terbagi menjadi dua, yaitu Ahmadiyah Lahore, yang lahir di Lahore, Pakistan dan Ahmadiyah Qadiyan yang lahir di Qadiyan, India. Adapun Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid atau pembaharu, sedangkan Ahmadiyah Qadiyan menganggap bahwa pemimpin mereka adalah Nabi.

Akan tetapi, berdasarkan penelitian Zainul, pada perkembangannya dua kelompok ini yang kemudian masuk ke Indonesia sama-sama tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Meskipun pada awal-awal perkembangannya sebagian ulama dari mereka mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Dalam fatwa MUI yang rilis dua kali, tidak ada penjelasan secara rinci bahwa Ahmadiyah yang berkembang di Indonesia adalah kelompok yang tidak mengimani Mirza sebagai nabi.

Hal yang sangat disayangkan oleh Zainul, MUI menggunakan referensi dari kitab-kitab ulama klasik yang masih mengimani kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Berdasarkan pendekatan Hukum Islam, hal itu tentu berada di luar prinsip dasar keimanan. Padahal konteks yang sedang dibicarakan oleh para ulama di MUI harusnya adalah kelompok Ahmadiyah yang ada di Indonesia dan telah mengalami perubahan. Hal itulah yang kemudian membuat masyarakat menganggap penyimpangan dan kesesatan Ahmadiyah secara general.

Baca Juga:  Meneladani Kisah Ratu Bilqis Sebagai Sosok Perempuan Pemberani

Terlepas dari sesatnya kelompok Ahmadiyah atau tidak, tindakan intoleransi tidaklah dibenarkan. Terlebih jika dilakukan oleh kelompok yang mengaku dari kelompok Islam yang hendak menjaga kesucian agama. Fatwa MUI yang kemudian diklaim oleh banyak masyarakat sebagai legitimasi adalah pernyataan untuk mewajibkan pemerintah melakukan pelarangan dan pembekuan organisasi ini serta menutup tempat kegiatan mereka.

Dalam perspektif HAM, Zainul mengatakan, kelompok Ahmadiyah mendapat perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Artinya, secara individu, kelompok para pengikut kelompok Ahmadiyah mendapat perlindungan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zainul Mun’im, ia menduga fatwa MUI yang merekomendasikan pemerintah untuk melarang penyebaran dan pembekuan organisasi merujuk pada pasal 18 ayat (3) ICCPR dan Pasal 28 abjad (J) UUD 1945:

Ada poin penting yang mestinya dipahami tentang “ketertiban umum”. Penelitian Zainul tentang maksud pasal ini yang merujuk pada berbagai sumber adalah apabila suatu kelompok yang menjalankan misi agama juga melakukan atau menimbulkan kerugian pada orang lain. Misal, pengrusakan harta benda dan keselamatan manusia.

Menurut Zainul, fatwa MUI tidaklah menyimpang dari HAM jika berdasarkan pada Undang-Undang yang telah ditetapkan. Fatwa para ulama dari MUI tentu berdasarkan riset mendalam yang merujuk pada berbagai referensi. Akan tetapi, pada fakta lapangan, kelompok Ahmadiyah justru banyak mendapat kecaman dari kelompok lain. Keresahan masyarakat yang diklaim oleh kelompok lain tidaklah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh HAM. Selama ini, kelompok Ahmadiyah di Indonesia tidak menebarkan kekerasan dan ketakutkan. Hal yang terjadi selama ini justru sebaliknya.

Fatwa MUI tidak menjadi satu-satunya legitimasi tindakan intoleransi oleh kelompok-kelompok lain. Hal lain yang menjadi faktor adalah ketidakpemahaman masyarakat terhadap ajaran kelompok ini dan juga pemahaman terhadap fatwa yang ada. Tidak adanya pelaksanaan regulasi yang tegas dari pemerintah dan aparat mengenai pelarangan pengrusakan tempat ibadah menyebabkan kasus penyerangan yang menimpa JAI terus terjadi.

Baca Juga:  Membangun Empati dan Toleransi antar Perempuan

Tegas Zainul, pihak yang seharusnya memiliki otoritas paling kuat adalah pemerintah. Harus ada tindakan tegas berupa pelaksanaan regulasi yang kuat. Begitu juga Undang-Undang tentang HAM tentang kebebasan beragama perlu dikaji ulang atau diperinci, batasan seperti apa yang dikehendaki dan ketertiban umum seperti apa yang kemudian menjadi tolak ukur bolehnya melakukan pelarangan terhadap suatu kelompok yang menyebarkan ajaran agama.

Selain itu, Zainul mengatakan fatwa MUI perlu diperjelas lagi agar masyarakat tidak salah memahami poin-poin di dalamnya. Beberapa ulama di dalam MUI berkali-kali telah menyatakan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok lain terhadap JAI adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam berbagai sesi wawancara. Begitu juga yang diamini oleh Zainul setelah wawancaranya dengan Alm. Prof. Huzaemah pada tahun 2015. Akan tetapi, belum ada penjelasan secara tertulis atau fatwa tentang hukum pengrusakan tempat ibadah dan bagaimana seharusnya bertindak kepada kelompok yang berbeda, bahkan sekalipun dianggap menyimpang.

Demikian hasil wawancara mengenai penjelasan kelompok Ahmadiyah dan fatwa MUI yang mesti dipahami. Point yang paling penting adalah, apapun keyakinan seseorang yang berbeda dalam pandangan umum, kekerasan dan penyerangan kepada mereka secara sepihak bukanlah hal yang dibenarkan, baik itu oleh Islam maupun HAM. Toleransi bukan berarti sependapat, melainkan menghargai keberadaan mereka sekalipun berbeda.

 

Rekomendasi

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Berbuat Baik terhadap Non-Muslim dalam Prinsip al-Quran

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Pentingnya Sikap Toleransi dalam Kajian Hadis Nabi

Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim Toleransi Tidak Terbatas untuk Non-Muslim

Tafsir Surah al-Mumtahanah Ayat 8: Menghormati Pemeluk Agama Lain

Ditulis oleh

Sarjana Studi Islam dan Redaktur Bincang Muslimah

Komentari

Komentari

Terbaru

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Mapan Dulu, Baru Nikah! Mapan Dulu, Baru Nikah!

Mapan Dulu, Baru Nikah!

Keluarga

Melatih Kemandirian Anak Melatih Kemandirian Anak

Parenting Islami ; Bagaimana Cara Mendidik Anak Untuk Perempuan Karir?

Keluarga

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Pondok Pesantren Sunan Pandanaran

Tiga Tradisi Bersalawat yang Rutin Diadakan di Pesantren Sunan Pandanaran

Muslimah Daily

Connect