BincangMuslimah.Com- Belum lama ini konflik antara Islam dan Prancis cukup memberikan efek ketegangan pada dunia. Belum lagi semua pihak sangat berhati-hati dalam merespon hal ini, karena pasti ada pro dan kontra serta masing-masing memiliki argumentasi sendiri. Dalam hal ini penulis ingin sedikit berbagi pengetahuan, tidak dalam rangka merespon kasus konflik Islam Prancis secara khusus. Namun secara umum ingin beropini bagaimana posisi umat Islam dalam merespon hal ini serta tuduhan balik terhadap Islam sebagai agama yang intoleran, kaku, serta tidak membudayakan kebebasan berekspresi.
Islam semenjak awal kedatangannya empat belas abad yang lalu pada hakikatnya telah membawa ajaran yang bukan hanya menyentuh satu dimensi kehidupan saja, akan tetapi Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia menjadi kehidupan yang paripurna. Dengan membawa ajaran yang multi dimensi, komprehensif, dan membuat pondasi yang bijak bahkan terkait hal-hal kecil.
Islam Agama Toleransi
Islam adalah agama yang menyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan yang baik termasuk dalam interaksi internal maupun eksternal dengan non muslim. Sehingga Islam terkenal dengan agama toleransi. Sebelum membahas lebih jauh bagaimana Islam memandang toleransi, sebaiknya perlu menjelaskan definisi toleransi terlebih dahulu. Mengutip dalam “Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama” toleransi secara umum merupakan suatu sikap manusia yang memiliki aturan, di mana seseorang dapat menghagai, mengormati perilaku orang lain.
Penggunaan sikap toleransi bisa di mana saja, namun cukup concern membahasnya dalam persoalan interaksi umat beragama. Menurut Umar Hasyim, sebagaimana dikutip dalam “Implementasi Hadis dalam Membangun Pendidikan Multikultural”, Toleransi yaitu pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinan atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing. Sama dalam menjalankan dan menentukan nasibnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Pembicaraan mengenai isu toleransi sering di sebut-sebut dalam berbagai diskursus pembicaran, namun yang cukup consern dibahas adalah toleransi yang berhubungan dengan agama. Penting adanya sikap ini untuk menciptakan kehidupan yang rukun antar umat beragama. Namun kenyataannya, untuk terciptanya toleransi yang sempurna di kalangan masyarakat ini agak sedikit sulit mewujudkannya secara sempurna. Karena setiap pemeluk agama tentu memiliki keegoisan tersendiri, terutama faktor mayoritas manoritas.
Hal ini terjadi di setiap agama, namun kenyataannya justru dalam diskursus pembicaraan antara Islam dan toleransi mengalami pergulatan yang besar. Hal ini karena Islam yang selalu dikatakan agama yang anti terhadap toleransi, diskriminatif, dan ekstrim. Penghakiman seperti selalu datang dari mulut orang-orang yang membenci Islam. Mereka juga berusaha keras untuk merusak citra Islam dengan mengembangkan opini bahwa Islam dan umat Islam tidak menghargai kesetaraan hidup dan hak-hak asasi manusia.
Pentingnya Pembatasan Kebebasan Berekspresi
Sangat sulit mengelak penghakiman semacam ini memang, namun sebetulnya wajah Islam yang sebenarnya bukanlah demikian. Islam sendiri adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bersikap toleransi. Hal ini bisa terlihat dari adanya perintah-perintah yang menuntut akan toleransi dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi.
Selanjutnya, terkait budaya kebebasan berekspresi sering dibanding-sandingkan dalam prinsip-prinsip umum hak asasi. Secara mendasar manusia mendapat kebebasan untuk mengekpresikan apapun atas dasar pikiran dan keyakinananya. Kebebasan berekspresi pada dasarnya menurut hukum HAM merupakan perbuatan yang sah-sah saja. Namun tetap harus dengan batasan, karena jika tidak ada batasan justru akan mengarah kepada hate speech.
Menurut Anna Weber, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi terdapat dalam European Convention of Human Right (ECHR) Pasal 10 ayat (2). Dalam artikel nomor 10 dejelaskan bahwa dalam melaksanakan hak kebebasan berekspresi maka harus memperhatikan juga kewajiban dan tanggung jawab. Lain dari itu seseorang harus memperhatikan berbagai hal seperti formalitas, kondisi, pembatasan dan hukuman sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Merujuk kepada regulasi HAM berdasarkan Kovenan Sipil dan Politik, dapat membatasi kebebasan tersebut semata-mata untuk menjamin keamanan publik, kesehatan publik, moral publik dan hak asasi orang lain. Syarat lain dari pembatasan tersebut adalah harus terlegislasikan berupa produk undang-undang.
Kritik terhadap Kebebasan Berekspresi
Namun kebebasan berekpresi juga kerap mengalami kritikan. Di daerah-daerah juga melakukan kritik terhadap kebebasan berkespresi. Sebagai contoh Code Stanford yang berisi batasan kebebasan berekspresi dengan menentukan larangan sebagai berikut: 1) dengan indikasi menghina dan menstigma individual atas dasar ras, sex, warna kulit, agama, orientasi seksual maupun etnik. 2) ditujukan kepada individu maupun kelompok. 3) penggunaannya untuk menghina atau menyerang dengan kata-kata atau simbol. Baik sebagai penyampaian langsung atau kebencian yang mendalam atau penghinaan atas hak asasi manusia atas dasar ras, sex, warna kulit, agama, orientasi seksual maupun etnik.
Menurut Nicholas Wolfson mengutip pendapat Plato dan Aristoteles, bahwa pada suatu masyarakat homogen dan tertutup mempunyai nilai dasar moral yang disepakati sehingga dapat membatasi ekspresi kebencian. Akan tetapi sebagaimana pendapat Spinoza bahwa manusia akan berfikir apa yang mereka senangi dan berkata apa yang mereka pikirkan. Manusia hidup dalam masyarakat yang beragam, relativistik, keterbagian dan perdebatan, bisa atas dasar masalah seks, keluarga, nilai-nilai, dan tujuan dari kehidupan.
Mengapa perbincangan mengenai toleransi sering berbarengan dengan kebebasan berekspresi?
Karena sebetulnya kebebasan berekspresi merupakan bagaian dari wujud sikap toleransi itu sendiri. Namun suatu waktu ia malah jadi sikap yang dapat mencederai toleransi itu sendiri. Terutama seperti yang penulis jelaskan di atas ketika terjadi penyalahgunaan kebebasan berekspresi tersebut atau tanpa batasan.
Begitupun jika mengaitkan dengan kasus karikatur Nabi Muhammad, sungguh amat menyayangkan kejadian ini. Seharusnya kebebasan berekspresi tetap harus ada batasannya, dan juga harus memperhatikan tujuannya apa. Apalagi jika kasusnya seperti ini yang mana bisa menyinggung satu tokoh penting dari sebuah agama. Apalagi dalam agama tersebut terdapat larangan untuk menggambarkan fisik dari tokoh tersebut, dalam hal ini Nabi Muhammad. Belum lagi penggambaran yang tidak baik yang jatuhnya justru penghinaaan.
Oleh sebab itu kejadian ini perlu mendapat kritikan dan sorotan dan pantas membuat kemarahan bagi kalangan umat Islam atas Prancis. Tidakan kasus prancis ini sebetulnya sudah menodai nilai toleransi. Sudah seharusnya kejadian ini mendapatkan kecaman dari umat Islam di seluruh dunia. Karena apabila sikap Prancis ini tidak mendapat kritikan yang tegas maka sama saja dengan menoleransi intoleran.
Karl Popper pernah berkata “unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance. If we extend unlimited tolerance eve to those who are intolerance, if we are not prepared to defend a tolerant society against the onslaught of the intolerant, then the tolerant will be setroyed, and tolerance with them”. Mentoleransi intoleran berarti sama saja merusak hakikat toleransi itu sendiri. Wallahu a’lam.
1 Comment