BincangMuslimah.Com – Umar bin Abdul Aziz merupakan satu dari banyaknya khalifah yang pernah menjadi pemimpin di zaman Dinasti Umayyah. Silsilah keturunannya dari jalur ibu bersambung kepada Amirul Mukminin yang kedua, yaitu Umar bin Khattab. Ia terlahir dari seorang ibu yang bernama Ummu ‘Ashim bin ‘Ashim bin Umar bin Khattab.
Terdapat cerita menarik dari kisah pernikahan kakek dan nenek Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu ‘Ashim dengan istrinya, serta kisah tersebut bisa menjadi pelajaran dan contoh bagi umat Islam dalam pembentukan karakter jiwa dan keturunan.
Diceritakan pada suatu malam, Umar bin Khattab bersama dengan pembantunya yang bernama Aslam berkeliling untuk mengamati wilayah yang dipimpinnya guna mengetahui kondisi-kondisi para warganya.
Tatkala Amirul Mukminin dan pembantunya telah merasa letih dan lelah, mereka berdua beristirahat tepat di pinggir sebuah rumah. Di tengah istirahatnya, mereka mendengar suara seorang perempuan tua yang dari rumah itu yang memerintahkan anak gadisnya untuk mencampurkan susu yang akan mereka jual dengan air, padahal hal tersebut telah dilarang oleh sang Khalifah.
Namun sang gadis tak mengindahkan perintah tersebut, dan malah berkata: “Sungguh, Amirul Mukminin telah melarang untuk mencampurkan susu dengan air, bahkan beliau telah mengutus para pegawainya agar memberitahu masyarakat”, mendengar itu, sang perempuan tua itu pun berkata: “Di mana Amirul Mukminin sekarang? Apakah sekarang dia melihat kita?” kontras, sang anak pun menjawabnya perkataan ibunya dengan: “Jika Amirul Mukminin sekarang tidak melihat kita, tapi yang pasti Allah sedang melihat kita. Akankah kita hanya patuh kepada Amirul Mukminin ketika di hadapannya saja lalu akan membangkang ketika di belakangnya?”.
Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab sangat gembira serta merasa takjub dan kagum pada keimanan anak gadis tersebut, karena seperti itulah sikap ihsan yang diajarkan oleh Rasulullah:
ان تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Artinya: “Engkau menyembah Allah seakan-akan sedang melihat-Nya, sementara jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim).
Saking senangnya dengan jawaban itu, sampai-sampai pada keesokan harinya, beliau menyuruh Aslam agar mencari tahu tentang gadis itu. Ketika gadis itu diketahui belum menikah, maka ketika itu juga beliau mengumpulkan anak-anaknya, lalu menanyakan siapa di antara mereka yang belum menikah. Ketika beliau mengetahui bahwa anaknya yang bernama ‘Ashim belum menikah, anak gadis itupun dilamarkannya untuk menjadi istri ‘Ashim.
Dari hasil pernikahan inilah, terlahir orang-orang hebat yang mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan serta memiliki kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Salah satu anak mereka, terlahir seorang anak perempuan yang bernama Ummu ‘Ashim. Setelah dewasa, ia menikah dengan seorang gubernur di masa Bani Umayyah yang terkenal dengan kedermawanannya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan. Mereka kemudian melahirkan seorang khalifah Bani Umayyah yang akan selalu dikenang kejeniusan, kebijaksanaan dan keadilannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz juga dikenal dengan pencapaiannya yang membawa masa keemasan pemerintahan Islam. Ia diangkat menjadi khalifah bukan berdasarkan nasab ayah-anak sebagaimana khalifah pendahulu Dinasti Umayyah, melainkan dipilih untuk meneruskan kekhalifahan karena sifat kepemimpinannya. Ia pun dijuluki sebagai Umar II, bukan hanya karena ia cicit dari Umar bin Khattab, melainkan karena sifat dan kebijaksanaannya yang mirip dengan sang kakek.
Dari kisah ini bisa diambil pelajaran bahwa persoalan harta memang sering membuat seseorang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkannya, baik itu cara yang layak maupun cara yang sangat tidak layak, baik itu sesuai dengan tuntunan syariat maupun tidak. Betapa banyak manusia mulai dari zaman dahulu sampai sekarang tergelincir hanya karena persoalan harta, seperti memutus silaturahmi antar keluarga bahkan sampai saling menumpahkan darah.
Padahal di dalam Alquran, Allah sudah mewanti-wanti kepada manusia agar jangan terlalu memikirkan persoalan dunia, dengan kata lain jangan sampai menjadikan persoalan dunia menjadi prioritas yang sangat dinomorsatukan. Pada surah al-Hadīd ayat 20 Allah menyebutkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah tipu daya:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan” (Q.S. Al-Hadīd [57]: 20).
Dari kisah ini juga, dapat diketahui bahwa harta yang dicari dengan menggunakan cara yang halal juga menentukan serta menjadi penyebab kebersihan jiwa dan membentuk karakter yang bagus sampai menjalar kepada anak keturunan dan pastinya menjadi penyebab mengalirnya keberkahan dan kesenangan dalam menjalani kehidupan.
Editor: Zahrotun Nafisah