BincangMuslimah.Com – Pembahasan fikih untuk penyandang disabilitas belum banyak digaungkan. Padahal, muslim yang menjadi penyandang disabilitas jumlahnya tidak sedikit. Dalam beberapa hal, terutama melaksanakan ibadah, mereka akan menjalaninya dengan cara yang berbeda dari muslim lainnya. Seharusnya, pandangan fikih terhadap penyandang disabilitas harus banyak diajarkan agar mereka tidak merasa terdiskriminasi dan mengerti tata cara pelaksanaan ibadah yang tentu berbeda.
Belum banyak organisasi, lembaga agama, atau komunitas yang secara khusus membahas soal ini. Salah satu organisasi masyarakat (ormasi) yang fokus pada isu fikih disabilitas adalah Nahdhatul Ulama. Dalam kumpulan hasil Bahtsul Masail yang terbit tahun 2018 dengan judul “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”, disebutkan bahwa Islam memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang setara dengan individu lainnya.
Adapun perbedaan tata cara ibadah mereka dikarenakan oleh kemampuan mereka yang tentunya berbeda. Maka itulah, pembahasan fikih disabilitas tidak sebatas narasi belaka tapi juga praktiknya melalui pengajaran dan memberi pemahaman terhadap golongan mereka.
Surat an-Nur ayat 61 menjadi hujjah atas kedudukan penyandang disabilitas yang setara dalam relasi sosial dan mendapatkan hak-haknya,
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.
Begitu juga penjelasan dari Syekh Ali as-Shabuni dalam tafsir al-Ahkam yang menyatakan bahwa esensi dari ayat 61 surat an-Nur ini adalah penyetaraan sosial dan larangan untuk mendiskriminasikan penyandang disabilitas.
Selain dalam surat an-Nur tersebut, surat lainnya, yaitu surat ‘Abasa turun atas peristiwa pengabaian Rasulullah terhadap Abdullah bin Umi Maktum yang meminta bimbingan agama. Kemudian Allah langsung menegurnya dengan ayat tersebut,
Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan.
Selain memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang setara dalam relasi sosial, Islam juga tetap mewajibkan penyandang disabilitas untuk beribadah selama masih memiliki akal yang sehat tetapi sesuai kemampuannya. Sebagaimana firman Allah dalam at-Taghabun ayat 16,
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
Ayat yang menunjukkan perintah kepada muslim untuk tetap melakukan ibadah sesuai kemampuan individunya juga dikuatkan oleh hadis dari Imran bin Hushain yang terkena penyakit wasir. Lalu ia menanyakan tentang cara melakukan shalatnya sebab ia merasa kesulitan shalat dengan posisi biasanya,
عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Dari Ibn Buraidah dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu berkata, “aku pernah terkena wasir kemudian aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama tentang shalat, kemudian beliau menjawab, “shalatlah engkau dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah jika tidak mampu maka berbaring miring.” (HR. Bukhari)
Beberapa dalil ayat maupun hadis menunjukkan betapa Islam tetap memperhatikan penyandang disabilitas, dan tidak memaksakan tata cara ibadah di luar kemampuan mereka.