BincangMuslimah.Com- Artikel ini akan menjelaskan tentang legislasi hukum Islam, ushul fiqh sebagai metodenya. Istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri.
Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan;
Kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah.
Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.
Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat, “Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran.” (QS. Shad: 26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu, terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah Saw tidak berbeda pendapat.
Karena itu, jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka, orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun, jika mereka berbeda pendapat maka, orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Demikian terdapat keleluasaan untuk memilih.
Sementara kelompok kedua berpendapat, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas.
Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat, dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu.
Dengan demikian, orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.
Dari sini kita mengerti, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah, maka ia mungkin bisa dijawab dengan, jika seorang perkara yang la tangani dan la juga mengerti hukum Allah dan Rasul, hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang la telah ketahui itu.
Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya, inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat al-Qur’an: “Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil”. (QS: an-Nisa: 58).
Sudah jelas bahwa mayoritas para ulama besar kontemporer mendukung taqnin al-ahkam (undang-undang hukum), diantara mereka adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyat, dan Rashid bin Khunayn.
Selain mereka, juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah Mustafa al-Zarqa’, Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah al-Zuhaily, dan lainnya.
Di antara dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah, pertama firman Allah Surah an-Nisa 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”(Q S. an-Nisa’: 59).
Berdasarkan ayat tersebut, jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk menaatinya.
Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang, dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya adalah, suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.
Kedua, keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Usmani sebagai satu-satunya mushaf al-Qur’an yang resmi. la kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut.
Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar al-Qur’an mempunyai satu mushaf yang resmi, sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.
Ketiga, suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas.
Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqasid al-syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
Meski demikian, di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad serta tak bisa menetapkan pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan, terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.
Keempat, di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang yang akan menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
Kelima, pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin, seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik, namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.
Konkritnya, munculnya legislasi hukum Islam, adalah konsekuensi dari perkembangan hukum Islam itu sendiri agar mengikat dan mempunyai daya paksa untuk diberlakukan serta mempunyai kepastian hukum.
Sisi lain, munculnya legislasi hukum Islam karena sebuah jalan keluar dari berbagai macam perbedaan dalam menanggapi polemik, kesenjangan, dan isu-isu kontemporer dalam permasalahan hukum Islam. sebagaimana
Sebuah kaidah mengatakan: “Keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat.” Hilang atau tereleminasinya perbedaan pendapat (khilaf yang kemudian membawa kepada kemudharatan) ini dikarenakan standar mashlahat (yang dipandu oleh syara’ dan akal) umat dikedepankan, bukannya ego masing-masing kelompok dan golongan. Sejalan dengan apa yang telah dituangkan oleh kaidah fiqih: “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada mashlahat.”
Demikian penjelasan terkait legislasi hukum Islam, ushul fiqh sebagai metodenya. Semoga bermanfaat. (Baca juga: Konsep Ahl Al Hadits dan Ahl Al Ra’yi dalam Ushul Fikih ).
Tulisan ini telah terbit di BincangSyariah.Com
2 Comments