BincangMuslimah.Com – Beberapa waktu yang lalu, saya sempat terkejut ketika bertemu dengan salah satu kerabat yang terlihat berubah drastis setelah pernikahannya belum lama ini. Biasanya ia terlihat amat enerjik, ceria, ceriwis, dan nampak sangat bahagia. Setelah diusut, ternyata kalimat poligami mendapat balasan surga menjadi salah satu alasannya.
Sebenarnya, boleh dibilang ia termasuk perempuan yang beruntung, suaminya secara bibit, bebet, dan bobot berasal dari grade premium. Pastilah yang akan tergambar dari pernikahan mereka adalah pernikahan yang diselimuti kebahagiaan dan suka cita.
Tapi memang, hidup itu sawang-sinawang. Dikira hidup bahagia setelah menikah, eh, ternyata malah setiap hari mandi air mata.
Usut punya usut, ternyata suaminya, yang baru saja menikahi salah satu kerabat saya tersebut, memutuskan untuk berpoligami. Yang lebih mengejutkan lagi adalah keputusan berpoligami diambil tanpa alasan yang jelas, sebab utamanya hanya ingin mengikuti sunah Nabi saw. Padahal pernikahan mereka baru seumur jagung. Nahas.
Alasan lain selainnya yang disampaikan kepada saya adalah jika ikhlas dipoligami maka balasannya adalah surga untuk istrinya. Begitu kira-kira alasan yang disampaikan sang suami kepada istrinya.
Poligami Mendapat Balasan Surga? Kok bisa?
Menurutnya, jika seorang perempuan bersabar dan menerima apa yang dikehendaki oleh suaminya ia akan mendapatkan balasan surga. Sekali lagi, katanya karena sabar dan menerima apa yang dikehendaki oleh suaminya, termasuk kehendak untuk berpoligami.
Mendengar pengakuannya, tentu saya merasa heran dan miris. Mengapa doktrin poligami sebagai sunnah begitu kuat mengakar dan mengapa iming-iming pahala surga selalu digaungkan sebagai legitimasi tindakan poligami?
Iseng-iseng mencari sumber atas legitimasi perempuan yang rela dipoligami akan mendapatkan surga, akhirnya saya menemukan satu sumber yang cukup sering disebutkan sebagai legitimasi tindakan poligami tersebut.
Ketika browsing, pada umumnya landasan yang dipakai warganet adalah sebuah hadis yang menyatakan bahwa, “Jika seorang perempuan melaksanakan salat lima waktu, berpuasa (pada bulan Ramadan), menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya maka akan dikatakan kepadanya masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang disukai”.
Di situs tersebut menyebutkan bahwa taat kepada suami dengan segala ketetapannya termasuk ketika suami memutuskan untuk berpoligami termasuk dalam kategori hadis ini. Sehingga hadis ini kerap kali dijadikan sebagai kampanye keabsahan berpoligami yang di ujung jalan dihadiahi masuk Surga dari pintu mana saja yang disukai.
Jadi, apakah hadiah surga yang disebut-sebut pak suami ini karena “perempuan yang rela dipoligami” atau tindakan poligami yang begitu melukai perasaan perempuan, sehingga tidak ada pilihan lain selain bersabar? Maka akibat sabar ini maka dihadiahi Surga.
Jika hadis ini dijadikan landasan iming-iming surga bagi yang ikhlas dipoligami, tentu terlihat amat terburu-buru dan serampangan. Bagaimana jika yang dimaksud taat kepada suami adalah bukan ikhlas ketika dipoligami?
Maka, amat penting untuk memahami musabab hadis ini untuk menghindari kesalahan dalam pemahaman dan aplikasinya dalam kehidupan. Karenanya, penelusuran lebih lanjut perlu dilakukan demi menghasilkan pemahaman yang tidak meleset dan aplikasi yang tepat. Ditambah, perlu juga memahami apa maksud dan tujuan pernikahan dalam Islam, dan apakah memang tindakan poligami ini tidak pernah mendapatkan penolakan dari Nabi saw.?
Tujuan Pernikahan
Pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang suci dan memiliki tujuan untuk menghasilkan kehidupan yang tentram (sakinah), diselimuti kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah) di antara suami dan istri.
Dari tujuan pernikahan yang begitu mulia tersebut amat disayangkan jika harus terusik dengan poligami yang rentan merusak tatanan kehidupan pernikahan serta tidak jarang menyebabkan prahara baru bagi sebuah rumah tangga.
Selain tujuan pernikahan seperti disebutkan di atas, sejatinya dalam teks-teks suci Islam tertulis bahwa sebuah pernikahan dalam Islam dapat dipahami salah satunya sebagai iktiar manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab.
Dari ikhtiar ini diharapkan terjalin sebuah relasi untuk saling menyayangi dan bertanggung serta terbebas dari perilaku penyimpangan seksual yang dapat merusak organ reproduksi. Lebih jauh lagi tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan melanjutkan peradaban manusia.
Selanjutnya dapat juga dipahami bahwa menikah adalah sarana bagi perkembangbiakan manusia secara sehat, baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, termasuk sosial.
Untuk mencapai kondisi kehidupan yang sehat dalam arti yang seluas-luasnya tersebut, Alquran menegaskan cara-cara yang baik yang harus dilakukan oleh sepasang suami-istri dalam sebuah relasi pernikahan, yaitu dengan cara memperlakukan pasangannya dengan baik atau dikenal dengan sebuah konsep mu’ȃsyarah bi al-ma’rûf. Seperti dalam firman Allah Swt berikut
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
Artinya: “dan pergaulilah mereka (istrimu) dengan baik” (Q.S an-Nisa: [4]; 19)
Sebagai konsekusensi dari akad dalam pernikahan dalam Islam, lahirlah hubungan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Hak dan kewajiban ini harus didasari dengan beberapa prinsip yang mengantarkan kepada konsep mu’ȃsyarah bi al-ma’rûf dalam relasi pernikahan.
Prinsip tersebut di antaranya adalah kesamaan, keseimbangan, dan keadilan antar keduanya. Prinsip tersebut disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut:
وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
Artinya: “Para perempuan mempunyai hak yag seimbang dengan kewaibannya menurut cara-cara yang ma’ruf” (QS al-Baqarah [2]: 228)
Dalam konsep mu’ȃsyarah bi al-ma’rûf, suami dan istri harus saling menghargai dan menghormati. Selain itu, masing-masing harus saling membahagiakan dan berperilaku sopan, tidak saling menyakiti dan memahami bahwa relasi pernikahan yang sedang dijalani oleh keduanya adalah relasi yang setara dan seimbang.
Dengan demikian, tidak ada yang merasa berada di posisi paling tinggi sehingga merasa berhak mendikte pasangannya. Karenanya Nabi pernah menyampaikan “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu” (HR. at-Tirmidzi)
Penolakan Nabi Muhammad terhadap Poligami Anaknya
Jika selama ini masyhur mengenai poligami adalah salah satu sunah Nabi Saw. karena Nabi memiliki lebih dari satu istri sepeninggal Sayyidah Khadijah. Akan tetapi, faktanya dalam satu kesempatan lain beliau pernah menolak dengan tegas ketika putrinya, Sayyidah Fatimah, akan dipoligami oleh Sayyidina Ali.
Nabi saw. menyampaikan, “Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin saya untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, saya tidak mengizinkan, saya tidak mengizinkan. Kecuali kalau Ali bin Abi Thalib menceraikan putri saya terlebih dahulu, lalu silakan menikah dengan putri mereka. Dia (putri saya Fathimah) adalah bagian dariku, sesuatu yang membuat hatinya galau akan membuat hati saya galau juga, dan sesuatu yang menyakitinya akan membuat saya sakit juga (Sahih Bukhari no. 5285).
Dalam hadis ini Nabi saw. menegaskan kalimat “saya tidak mengizinkan,” sebanyak tiga kali, kemudian mengatakan juga poligami adalah perkara yang membuat hati putrinya galau dan kegalauan putrinya sama dengan kegalauan Nabi saw. Selain membuat galau, poligami juga menyakiti hati putrinya dan hal demikian sama dengan menyakiti hati Nabi saw.
Dua hal dalam hadis ini yaitu kegalauan seorang perempuan yang akan dipoligami dan jawaban Nabi atas pelarangan melakukan poligami. Hal yang pertama adalah semacam laporan kegelisahan dari orang-orang terdekat Nabi seperti keluarganya atau sahabatnya, ini disebut dengan hadis taqriri (penetapan atas tindakan sahabat), hal yang kedua disebut dengan qauli (perkataan Nabi) untuk merespon kegalauan dari Sayyidah Fathimah yang akan dipoligami.
Imam Bukhari memaknai hadis ini sebagai sebuah pembelaan orang tua terhadap putrinya ketika putrinya akan dipoligami. Perempuan yang menolak untuk dipoligami sama dengan mengikuti jalan Sayyidah Fathimah dan termasuk sunnah taqriri. Kemudian Nabi merespon dengan menolak untuk menyetujui tindakan poligami terhadap putrinya. Penolakan ini adalah sebagai qauli dari Nabi Saw.
Jika ada perempuan yang menolak untuk dipoligami, hal tersebut dibenarkan karena seorang putri Nabi saw. pun merasakan kegalauan yang amat dalam kemudian melaporkan apa yang dirasakannya kepada Nabi saw.
Jika ada orang tua, saudara laki-laki, teman dan keluarga yang menolak saudara perempuannya untuk dipoligami sama dengan mengikuti Nabi saw. yang membela Fatimah agar tidak dipoligami. Artinya, penolakan terhadap poligami sama juga dengan mengamalkan sunah Nabi saw.
Selain penolakan terhadap poligami, pesan pernikahan monogami dalam Islam juga jarang disampaikan, apalagi diketahui secara masif. Padahal selama Sayyidah Khadijah hidup, Nabi saw. tidak melakukan poligami. Beliau baru berpoligami setelah Sayyidah Khadijah wafat.
Dalam Islam, “bermonogami (memiliki satu istri) lebih dekat dari tidak berbuat aniaya”. Artinya, berpoligami memiliki potensi untuk berbuat aniaya seperti tidak dapat berlaku adil dari sisi materi atau sisi yang lain. Sedangkan bermonogami lebih memiliki potensi untuk tidak melakukan aniaya terhadap istri.
Sebetulnya, banyak alasan dan teladan untuk menolak poligami. Tapi hal ini amat jarang disampaikan di mimbar-mimbar pengajian karena yang masyhur hanya kesunahan mengenai poligami yang dilakukan oleh Nabi saw.
Seandainya poligami mendapat balasan surga, mungkin Sayyidah Fatimah pada saat itu sudah berada di garda terdepan dan tentu tidak mengalami kegaluan yang mendalam. Pada akhirnya, jika dipoligami mendapat jaminan masuk surga melalui pintu mana saja yang disukai, maka pilihlah cara lain selain poligami untuk mendapatkan surga.
6 Comments