BincangMuslimah.Com – Fanatisme adalah sikap atau ideologi yang menggambarkan ketertarikan secara berlebihan atas sesuatu yang melekat pada dirinya, baik suku, agama, atau komunitas. Menjadi fanatik adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Maka terdapat beberapa cara untuk kita semua agar terhindar dari sikap fanatik dalam Alquran.
Secara garis besar, ada tiga sifat negatif yang ditimbulkan dari fanatisme, antara lain; rasisme (doktrin yang menganggap suku atau etnis tertentu lebih mulia dari suku lainnya), xenophobia (sikap merasa ketakutan ketika melihat orang baru), dan stereotip (sikap menggeneralisasikan suatu kelompok). Fanatisme tidak dikenal dalam Islam dan tidak diajarkan kepada umat Islam. Sebab moral buruk dapat ditimbulkan dari sikap fanatisme. Oleh karena itu, perlu adanya solusi pencegahan sikap fanatisme diantaranya meliputi;
Pertama, kesadaran akan kesamaan derajat manusia disisi Allah SWT. Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang memuat ajaran luhur yang dijadikan pedoman bagi umat manusia seluruhnya. Islam tidak pernah mengajarkan umat manusia untuk membeda-bedakan derajat antara manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali kadar ketaqwaan mereka. Konsep kesamaan derajat ini telah Allah SWT singgung dalam firmanNya surat al-Hujurat ayat 13 ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“.
Kedua, bersatu mempererat tali persaudaraan. Merupakan anjuran dalam Al-Qur’an kepada umat manusia untuk pencegahan sikap fanatisme. Suatu masyarakat tidak akan rukun apabila warganya tidak mau menjalin persaudaraan. Namun, persaudaraan tidak akan terjalin apabila tidak ada rasa saling kerjasama dan saling menyayangi. Apabila tidak, maka cita-cita bersama tidak akan tercapai. Bentuk persaudaraan yang dianjurkan dalam Al-Qur’an tidak hanya dengan yang satu akidah, tetapi juga dengan yang berbeda akidah. Sebagaimana dalam surah al-Hujurat ayat 10 ;
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa ada korelasi antara ayat ke 10 surat al-Hujurat dengan dua ayat setelahnya yang menjelaskan tentang kode etik seorang muslim dalam pencegahan konflik akibat sikap fanatik. Kedua ayat tersebut memerintahkan agar manusia tidak saling melecehkan atau menghina, sebab bisa jadi yang dilecehkan lebih baik daripada yang melecehkan.
Ketiga, mewujudkan keadilan sosial yang merata. Keadilan ditinjau dari asal katanya berasal dari kata “adl” diambil dari kata kerja adalah yang memiliki dua makna yang saling bertolak belakang yaitu, “lurus dan sama”, “bengkok dan berbeda”. Persamaan ini menjadikan seorang yang adil tidak berpihak pada yang salah. Dalam KBBI, keadilan adalah sikap atau perilaku yang tidak berat sebelah, tidak pandang bulu, dan tidak memihak dalam mengambil keputusan.
Ajaran agama Islam mengajarkan bahwa keadilan adalah suatu keniscayaan dalam membentuk tatanan masyarakat yang ideal, masyarakat yang jauh dari sifat fanatisme. Dikarenakan sikap adil adalah salah satu sikap yang dekat dengan takwa. Sebab seorang muslim tidak akan mengetahui mana yang dibenarkan dan dilarang dalam syariat Islam, jika tanpa ketakwaan dan pengetahuan tentang syariat tersebut. Mengenai siapa saja yang wajib berlaku adil, al-Qur’an menjelaskan dalam surat an-Nisa ayat 135 ;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan“.
Dalam surat ini, secara umum memerintahkan kepada manusia untuk berlaku adil pada dirinya sendiri. Namun, secara tersirat Allah SWT membebankan urusan keadilan kepada pemimpin dan penegak keadilan (hakim). Hal ini dikarenakan hanya seorang pemimpin dan hakim saja yang bisa mengambil keputusan saat permasalah berkaitan dengan orang kaya atau miskin. Sebab, konsep keadilan yang merata bisa mencegah sifat fanatisme tumbuh dalam jiwa manusia.
Keempat, bermusyawarah mencari solusi yang dilandasi sikap kasih sayang. Pengertian musyawarah dalam KBBI adalah perundingan bersama untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan. Sedangkan, menurut Quraish Shihab musyawarah dari bahasa Arab merupakan bentuk isim masdar dari kata “syawara” yang artinya ialah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup sesuatu yang dapat diambil dari sesuatu, termasuk didalamnya pikiran. Salah satu ayat yang memerintahkan untuk bermusyawarah yaitu surat ali Imran ayat 159 ;
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.
Dalam ayat ini terdapat frase “wa syawirhum fi al-amr” yang artinya maka ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu. Maksud frase ini ialah memerintahkan manusia untuk selalu bermusyawarah apabila mereka menemukan permasalahan atau konflik dalam hidup mereka. Maka jelas jika perintah bermusyawarah merupakan sebuah solusi dan kewajiban bagi umat Islam. Cara ini dapat kita terapkan sebagai solusi pencegahan dan penanganan sikap fanatik serta penyelesaian konflik karena fanatisme.
Sumber:
Nurdin, Ali. 2006. Qur’anic Society : Menelusuri Konsep Manusia Ideal Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hamka. 2015. Keadilan Dalam Konsep Islam. Jakarta: Gema Insani.
Binjai, Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Penerbit Kencana.
Lubis, Ridwan. 2017. Agama dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2 Comments