BincangMuslimah.Com – Menurut para ahli fikih, seseorang telah disebut sebagai anak yatim jika memenuhi dua syarat. Sebaliknya, jika keduanya atau salah satunya tidak ada, maka tidak disebut yatim.
Pertama, anak tersebut ditinggal mati oleh ayah kandungnya. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Muhammad Al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ta’rifat,
اليتيم: هو المنفرد عن الأب لأن نفقته عليه لا على الأم
Artinya: Yatim adalah anak yang ditinggal mati ayah kandungnya karena nafkahnya wajib ditanggung ayahnya, bukan ibunya. (Syaikh Ali Muhammad Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, hal. 126)
Kedua, anak yang masih belum baligh. Jika sudah baligh, meskipun bapaknya sudah meninggal, maka tidak disebut sebagai anak yatim. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ishaq al-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhaddzab,
اليتيم هو الذي لا أب له وليس لبالغ فيه حق لأنه لا يسمى بعد البلوغ يتيماً
Yatim adalah seorang anak yang tak punya ayah sedang ia belum baligh. Setelah baligh maka orang tersebut tidak disebut anak yatim. (Syaikh Abu Ishaq al-Syairazi, Al-Muhaddzab, juz 3, hal. 300)
Dari dua syarat di atas, dapat dipahami bahwa jika ayah kandung anak tersebut meninggal dan ia belum baligh, maka anak itu sudah disebut dengan yatim. Ia tetap disebut sebagai yatim hingga dirinya telah baligh. Lantas bagaimana jika ia memiliki ayah tiri, apakah ia masih menyandangan status sebagai anak yatim?
Walaupun anak tersebut memiliki ayah tiri karena ibunya menikah lagi dengan orang lain, ia masih tetap disebut sebagai yatim dengan catatan ia masih belum baligh. Karena yang mengeluarkan dirinya dari status ‘yatim’ yaitu telah mencapai usia baligh, bukan karena adanya ayah tiri dan lainnya.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Syamsuddin Muhammad Abu Bakr Al-Sarkhasi dalam karyanya Al-Mabsuth,
فإذا احتلم يخرج من اليتم
Ketika seseorang itu ihtilam (baligh), maka ia telah keluar dari sifat yatim. (Syaikh Syamsuddin Muhammad Abu Bakr Al-Sarkhasi, Al-Mabsuth, juz 10, hal. 49)
Dengan demikian, jika seseorang ditinggal mati oleh ayahnya dan ia belum baligh, maka dia tetap berstatus sebagai anak yatim meskipun dia mempunyai ayah tiri. Posisi ayah tiri tidak bisa menggantikan posisi ayah kandungnya. Ia bisa keluar dari status keyatiman-nya jika ia sudah baligh.
Hukum Anak Hasil Zina
Menurut para ulama ahli fikih, anak hasil zina tidak bisa disebut sebagai anak yatim dan tidak termasuk bagian dari anak yatim meskipun anak hasil zina secara syariat tidak memiliki ayah, namun bukan karena ayahnya mati, tetapi karena nasab sang anak ikut kepada ibunya. Sementara di antara syarat anak kecil disebut anak yatim adalah karena ditinggal mati oleh ayahnya kandungnya.
Syaikh Muhammad bin Ahmad Khatib as-Syirbini mengatakan bahwa anak hasil zina disamakan dengan anak temuan (laqiit) dan anak yang tidak diakui oleh ayahnya dengan cara sumpah li’an. Anak hasil zina, anak temuan, dan anak yang tidak diakui ayahnya dengan cara sumpah li’an tidak termasuk bagian dari anak yatim meski mereka tidak memiliki ayah.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini dalam kitabnya Al-Iqna’,
ويندرج في تفسيرهم اليتيم ولد الزنا واللقيط والمنفي بلعان ولا يسمون أيتاما لأن ولد الزنا لا أب له شرعا فلا يوصف باليتيم
Artinya: Ingklut dalam penafsiaran kata ‘yatim’ adalah anak hasil zina, anak temuan, dan anak yang tidak diakui ayahnya dengan cara sumpah li’an. Mereka tidak disebut sebagai anak-anak yatim, karena anak hasil zina tidak memiliki ayah hanya secara syara’ sehingga tidak bisa disifati dengan yatim. (Syaikh Muhammad bin Ahmad Khatib as-Syirbini, Al-Iqna’, juz 2. hal. 220)
Meskipun anak zina tidak disebut anak yatim, namun ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak yatim. Ia wajib disantuni, mendapatkan bagian dari harta ghanimah (harta rampasan perang) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana juga disebutkan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini dalam kitabnya Al-Bujairimi ‘ala Al-Khatib,
واللقيط قد يظهر أبوه والمنفي باللعان قد يستلحقه نافيه ولكن القياس أنهم يعطون من سهم اليتامى
Anak temuan terkadang muncul ayahnya, anak yang tidak diakui ayahnya dengan sumpah li’an terkadang masih diakui kembali. Akan tetapi secara qiyas, mereka diberikan bagian anak-anak yatim. (Syaikh Muhammad bin Ahmad Khatib as-Syirbini, Al-Bujairimi ‘ala Al-Khatib, juz 3 hal. 129)
Semoga bermanfaat, Wallahua’lam..