BincangMuslimah.Com – Kini umat Islam tengah berada di bulan Rabiul Awal. Bulan kelahiran Nabi Muhammad yang senantiasa diperingati oleh umat muslim. Manusia paripurna. Seseorang yang sukses membawa peradaban besar Islam. Yang mempunyai konsep lengkap tentang relasi antara manusia dengan Tuhan. Pun antar sesama manusia. Muhammad mampu memperbaiki sistem sosial Jahiliyah yang bobrok. Dalam peringatan tiap tahunnya, mari kita telaah mengenai esensi memperingati maulid Nabi.
Kondisi bangsa Arab pra-kenabian Muhammad cukup memprihatinkan. Orang Jahiliyah, begitu mereka dikonsepsikan. Ini merujuk pada tindakan biadab dan amoral yang mereka praktikkan. Kebudayaan patriarki mencengkram kuat dalam budaya Arab pra Islam.
Perempuan dianggap sesuatu yang hina. Bila anak perempuan lahir, maka akan dibunuh. Akan dikubur dalam keadaan hidup. Sebab malu. Tak menganggap perempuan itu sebagai makhluk yang utuh. Sebab berkembang pemahaman bahwa perempuan, bukan makhluk yang utuh. Tetapi hanya sebagian, tidak sempurna evolusinya.
Sialnya, jika anak perempuan itu sudah dikubur dan ditanam hidup-hidup, maka tenanglah perasaan orang tua. Sebab ia menganggap baru keluar dari persoalan yang besar. Tak mengherankan bila lahir sebagai perempuan merupakan aib yang besar. Menjadi perempuan era itu adalah sebuah kesalahan mutlak.
Kebiadaban itu tak juga berhenti sampai di situ. Nasib perempuan, dalam masalah seksualitas juga memprihatinkan. Perempuan dianggap barang. Seorang perempuan boleh digauli secara bergiliran oleh pelbagai laki-laki. Perempuan dianggap sebagai pemuas birahi laki-laki.
Deskripsi menarik terkait nasib nahas perempuan era pra Islam diungkapkan oleh Abul Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwi. Ia mendeskripsikan saat itu kedudukan wanita di kalangan bangsa Arab dapat diwarisi seperti benda atau binatang ternak. Perempuan pra Islam di Arab ibarat barang, benda, harta, atau binatang ternak yang dapat diwariskan.
Nabi Muhammad Memperjuangkan Nasib Perempuan
Ketika Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul, barulah ada titik terang nasib perempuan. Ia menganggkat derajat perempuan. Yang dulunya dianggap sebagai setengah dari penciptaan, era Nabi perempuan dianggap makhluk utuh, laiknya laki-laki. Tak ada perbedaan.
Terkait persoalan penciptaan perempuan, Al-Qur’an memberikan pembelaan bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya, bukan separoh manusia, dan sama-sama diciptakan dari nafsun wahidah. Simak penjelasan berikut dalam Q.S an Nisa/4;1;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبًا
Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Buya Hamka mengomentari penafsiran ayat ini secara mendatail. Dalam Tafsir Al Azhar, ia menjelaskan bahwa seluruh manusia, laki-laki dan perempuan, di benua mana pun mereka berdiam dan apa pun warna kulitnya, mereka adalah diri yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang buruk. Sama-sama suka kepada yang elok dan tidak suka kepada yang jelek.
Oleh sebab itu, hendaklah dipandang orang lain sebagai diri kita sendiri juga. Meskipun ada manusia yang masyarakatnya telah amat maju dan ada pula yang masih sangat terbelakang, bukanlah berarti bahwa mereka tidak satu. Dan beliau juga secara tersirat ikut dalam menggugat pandangan bahwa perempuan itu juga diciptakan dari rusuk sebelah kiri Adam.
Nabi juga menggakat martabat perempuan dalam kaitannya dengan laki-laki. Nabi menjelaskan perempuan bukan makhluk untuk memuaskan birahi laki-laki. Diatur dalam hukum perwakinan. Ketika hendak menikahi perempuan, diwajibkan adanya mahar. Dan adanya akad nikah untuk mengikat ikatan suci.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya; Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al Misbah mengatakan ayat ini menjelaskan kewajiba memberikan maskawin kepada wanita yang kalian nikahi dengan penuh kerelaan. Tidak ada hak bagi kalian terhadap maskawin itu. Tetapi jika mereka dengan senang hati menyerahkan sebagian hak maskawin itu, ambillah dan manfaatkanlah pemberian itu dengan baik dan terpuji.
Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar mengatakan bahwa bahwa mas kawin adalah shaduqat atau shidiq, yang berarti tanda kejujuran hati dan diberikan sebagai nihlah, kewajiban yang laksana air madu. Pun telah diketahui pula, bahwa kata iwadh, yang disebut oleh beberapa ahli fiqih sebagai ganti kerugian atau harga kehormatan, kuranglah sesuai dengan perasaan halus, sekarang terserahlah kepada yang bersangkutan berapa mahar akan dibayar. Bayarlah secara patut dan mungkin.
Lebih jauh lagi, bila perempuan era jahiliyah dianggap sebagai warisan bak binatang ternak, maka keadaan itu berbalik tatkala Nabi diutus sebagai Rasul. Perempuan dalam Islam diberi hak terhadap harta warisan keluarganya, bahkan bagi perempuan sudah ada bagian tertentu yang diatur Al-Qur’an.
Hal ini tergambar dalam firman Allah Q.S an Nisa/4;11;
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Perempuan diberikan oleh Nabi pelbagai jabatan strategis dalam sosial kemasyarakatan. Pun ada yang menduduki peran sebagai wanita karir. Yang tatkala itu, profesi sebagai pengusaha dan pedagang dipandang mulia.
Bahkan istri Nabi sendiri, Khadijah adalah pengusaha sukses. Khadijah juga seorang wanita karir dengan kekayaan yang luar biasa banyak. Sehingga Khadijah dalam beberapa kesempatan memberikan modal bagi untuk melanjutkan dakwahnya.
Itulah peran Nabi dalam mengangkat derajat dan muruah perempuan Arab . Yang dulunya hina, di bawah kepemimpinan Nabi mereka diberikan hak yang setara dengan laki-laki. Dan diberikan kesempatan untuk turut serta dalam membangun peradaban Islam. Itulah esensi memperingati maulid Nabi yang cukup penting. Perjuangan mengangkat derajat perempuan.