BincangMuslimah.Com – Sampai saat ini, memang sedikit sekali dijumpai perempuan yang terlibat sebagai pemangku kebijakan. Urusan politik memang terdengar tabu bagi kaum hawa. Sistem pemerintah pun, meski tidak tercantum secara normatif disebut tidak akan beres jika yang memegang kendali adalah perempuan.
Masih banyak stigma lain yang menghambat ruang gerak perempuan untuk terlibat dan dunia pendidikan. Di antaranya seperti perempuan tidak akan profesional jika menjadi seorang pemimpin, suka bawa perasaan, emosional, plin-plan dan sebagainya.
Dampaknya, sedikit sekali perempuan yang terlibat di lembaga pemerintah. Ini tercermin pada pemilihan umum pada tahun 2019 yang lalu. Dimana perempuan hanya ada sekitar 20,52 persen di antara calon legislatif DPR RI. Atau dari 575 caleg DPR RI, hanya ada 118 perempuan yang terlibat.
Melansir Media Indonesia, berdasarkan pada data sensus penduduk pada tahun 2020, jumlah penduduk perempuan Indonesia adalah 133,54 juta orang. Jika dipersentasikan sekitar 49,42 persen dari total populasi rakyat Indonesia.
Tentu saja, membandingkan antara jumlah populasi Indonesia dengan perempuan yang terlibat dalam parlemen, maka telah terjadi sebuah ketimpangan. Sedikit sekali memang perempuan yang aktif di dunia politik.
Padahal, Indonesia sebenarnya telah membuat regulasi khusus untuk mendorong perempuan turut aktif di kancah politik. Hal ini tercantum di dalam Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 11 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Di dalam aturan tersebut disyaratkan jika setiap pencalonan DPRD atau DPR harus memenuhi kouta perwakilan dari perempuan, sedikitnya 30 persen. Tentunya hal ini sangat disayangkan.
Karena, keterlibatan perempuan dalam politik juga sebagai bentuk hak perempuan dalam memperjuangkan hak dan menyuarakan pikiran. Serta ikut terlibat dalam merumuskan beberapa kebijakan. Dengan kata lain, jika perempuan terlibat dalam pemerintahan, ia turut memperjuangkan hak-hak perempuan lainnya.
Tidak hanya menunjukkan jika perempuan memiliki kemampuan dalam memimpin dan dapat bersikap profesional. Tapi juga dapat membuat kebijakan terkait perlindungan perempuan dan segala bentuk kekerasan, penghapusan diskriminasi dan pengembalian hak-hak yang terakuisisi.
Hal ini mengingatkan penulis pada sebuah pembicaraan di tongkrongan. Seorang kawan pernah berkata jika gerakan aktivis, demo dan aksi lainnya tidak akan efektif mengubah kebijakan. Kecuali aktivis tersebut pada akhirnya bisa terlibat merumuskan gagasan tersebut menjadi kebijakan yang diakui oleh negara.
Dengan kata lain, seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, usahanya jauh lebih efektif jika terlibat dalam dunia politik. Semisal menjadi DPR RI dan memperjuangkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai disahkan.
Menurut penulis pandangan seorang kawan ini ada benarnya juga. Ikut terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan, disertai literasi yang mumpuni terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan gender bakal menjadi strategi yang jitu.
Sudah saatnya perempuan membebaskan kaki dan hati dari kerangkeng stigma yang menyudutkan, bahwa mereka tidak dapat menjadi seorang pemimpin. Tudingan itu tidaklah benar. Setiap orang punya kemampuan jika diberi kesempatan yang sama.
Lagi pula dalam Islam, tidak sedikit perempuan yang ikut aktif dalam pemerintahan. Bahkan ada yang diabadikan di dalam Al-Quran yaitu kehebatan Ratu Bilqis. Dimana kemakmurannya nyaris menandingi kerajaan nabi Sulaiman as.
Kisah ini tercantum di dalam ayat al-Quran Allah telah berfirman dalam Q.S. an-Naml ayat 23 :
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.(QS. An-Naml :23)
Menurut Tafsir as-Sa’di Syaikh oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pada abad ke 14 menyatakan jika ayat di atas menjelaskan kabar jika ada seorang perempuan yang memerintah di negeri Saba’.
Perempuan tersebut memimpin sebuah wilayah, dan dari kepemimpinannya itu, ia memiliki kekuasaan yang kuat dan tangguh. Baik dari segi harta, keamanan hingga sistem di negara tersebut.
Singgasana yang besar, dalam tafsir ini dimaksudkan jika wilayah yang dipimpin oleh perempuan yang tidak lain adalah Ratu Biqlis merupakan kerajaan besar. Baik dari sistem pemerintahannya maupun kekuatan dari wilayah tersebut.
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan jika setiap manusia, begitu pula perempuan mempunyai potensi menjadi seorang pemimpin. Tentu saja dengan keinginan yang kuat, kemampuan dan kesempatan yang sama.
Di sisi lain, bagi mereka terjun dalam kancah politik menjadi jalan untuk memperjuangkan hak perempuan. Dengan menjadi orang yang terlibat dalam parlemen, menunjukkan jika perempuan mampu bersikap sebagai pemimpin.
Di sisi lain, terjun ke dalam pemerintah membantu perempuan menyuarakan segala aspirasi dan gagasan yang terpendam. Saat terlibat dalam parlemen, setiap orang mampu merumuskannya dalam sebuah kebijakan yang pada praktiknya bisa melindungi perempuan.
1 Comment