BincangMuslimah.Com – Setiap orang tua pasti memiliki cara dan gaya mendidik anaknya masing-masing. Baik cara itu didapatkan secara otodidak, melihat pengalaman orang lain, melalui membaca buku-buku parenting, atau cara-cara yang lainnya. Salah satu cara atau gaya mendidik anak yang patut dicontoh adalah ala Nabi saw. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Metode Dakwah Nabi telah merumuskan 10 metode parenting yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama.
Pertama graduasi (at-tadarruj).
Metode ini sebenarnya digunakan ketika Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi saw., yakni secara bertahap. Baik ketika menghilangkan tradisi jahiliyah maupun ketika menanamkan akidah. Ketika Nabi saw. menyampaikan risalah Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya pun secara bertahap.
Metode pendidikan secara graduasi/bertahap ini juga beliau ajarkan kepada sahabat-sahabatnya agar berdakwah/menyebarkan Islam dengan cara ini. Seperti ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman pada tahun 10 H. “Kamu akan mendatangi orang-orang Nasrani, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Jika mereka patuh, maka sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan mereka menunaikan shalat lima kali sehari. Jika mereka patuh, maka sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan mereka membayar zakat yang dipungut dari orang kaya di antara mereka untuk diberikan pada orang fakir. Jika mereka patuh, maka hindarilah harta-harta yang bagus milik mereka; dan takutlah pada doa orang yang dizalimi karena antara dia dengan Allah tidak ada penghalang sama sekali.” Begitulah pesan beliau kepada Mu’adz sebelum dia berdakwah.
Kedua, levelisasi (mura’at al-mustawayat).
Nabi saw. sangat memperhatikan level orang yang akan beliau ajari. Beliau paham, masing-masing orang yang belajar kepadanya memiliki masalah, kapasitas ilmu, dan background yang berbeda-beda. Sehingga, beliau berharap materi yang disampaikan benar-benar bisa diterima oleh mereka.
Ketika Nabi saw. berbicara dengan orang Badui, beliau berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka. Begitu pula ketika beliau berbicara dengan orang perkotaan, orang-orang pandai, beliau berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya mereka.
Tekait dengan hal ini terdapat riwayat Imam Ad-Dailami dari Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda, “Kami (para Nabi) diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.” Terkadang, Nabi saw. juga berbicara dengan mempertimbangkan emosional seseorang yang berinteraksi dengan beliau.
Misalnya dalam riwayat Imam Ahmad, ada seorang pemuda yang meminta izin kepada Nabi saw. untuk berzina. Para sahabat yang berada di sekeliling Nabi saw. tentu saja langsung hendak mengusirnya karena menganggap orang itu kurang sopan. Namun, Nabi saw. justru memanggilnya. “Apakah kamu suka jika ibu kandungmu dizinahi orang?” “Tidak demi Allah saya tidak suka”. Begitulah, Nabi saw. terus menanyakan pemuda itu, tentang sikapnya bagaimana jika ibu, anak gadisnya, adik wanita, atau bibinya dizinahi orang. Dan pemuda itu selalu menjawab seperti jawaban yang pertama. Kemudian, Nabi saw. mendoakannya agar disucikan hatinya dan dijaga kemaluannya.
Ketiga, variasi (at-tanwi’ wa at-taghyir)
Di antara yang Nabi saw. lakukan untuk menghindari kejenuhan jamaahnya adalah dengan membuat variasi waktu pengajaran. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, Abdullah bin Mas’ud menceritakan, suatu ketika Nabi saw. telah ditunggu banyak jamaahnya untuk belajar. Namun, beliau tidak keluar kamarnya. Ketika keluar, beliau berkata, “Saya tidak mau keluar itu tidak lain hanya karena saya khawatir nanti kalian akan jenuh.”
Variasi pendidikan Nabi saw. seperti yang dikisahkan oleh Abdullah bin Mas’ud ini terkait dengan masalah variasi waktu belajar saja. Namun, Nabi saw. juga memberikan variasi dalam hal materi. Sebab, materi yang beliau ajarkan adalah wahyu dari Allah yang pada saat itu sedang dalam proses diturunkan secara bertahap. Materi-materi dalam wahyu itu bervariasi, maka otomatis apa yang disampaikan Nabi saw. pasti juga bervariasi.
Keempat, keteladanan (al-uswah wa al-qudwah).
Sebelum menyuruh para sahabatnya melakukan suatu perbuatan, Rasulullah saw. senantiasa memberikan keteladanan terlebih dahulu. Metode keteladanan ini sangat efektif, karena para sahabat langsung bisa melihat sendiri bagaimana ajaran Islam dipraktekkan. Beliau memang sosok yang tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan.
Dalam masalah shalat, beliau bersabda, “Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (H.R. Al-Bukhari). Dalam masalah haji, beliau bersabda, “Kerjakanlah ibadah haji kalian dengan mencontoh ibadah hajiku.” (H.R. Muslim) Begitu pula dalam masalah-masalah lainnya. Bahkan Allah swt. telah mentitahkan kepada umat Islam agar meneladani sosok Nabi saw. “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suatu teladan yang baik” (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Kelima, Aplikatif (At-Tatbiqi wa al-Amali)
Pendidikan Nabi saw. tidak hanya sekedar pelajaran saja, melainkan langsung diamalkan oleh para sahabatnya. Mereka mempraktikkan dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Nabi saw. itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengajarkan Al-Qur’an misalnya, Nabi saw. mengajarkan beberapa ayat dahulu seraya diterangkan maksudnya. Sesudah para sahabat memahami dan mengamalkan isinya, Nabi saw. baru akan menambah pelajaran dengan ayat-ayat lainnya.
Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa orang-orang di antara para sahabat apabila mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak akan pindah ke ayat-ayat lain sebelum mereka mengetahui benar apa maksud ayat-ayat itu serta mengamalkan isinya.
Keenam, Mengulang-ulang (At-Takrir wa al-Muraja’ah)
Nabi saw. dalam memberikan pelajaran kepada para sahabatnya sering menggunakan metode dengan cara mengulang-ulang. Terlebih dalam hal-hal yang dianggap sangat penting. Hal ini tidak lain adalah agar mendapatkan hasil yang maksimal. Meskipun pada dasarnya tutur kata Nabi saw. itu sudah cukup jelas, bahkan mudah dihafal oleh para pendengarnya.
Anas bin Malik; sahabat yang menjadi pelayan Nabi saw. selama sepuluh tahun menceritakan bahwa Nabi saw. ketika berbicara selalu mengulang-ulanginya tiga kali. Sampai hal itu dipahami oleh para sahabat. Ketika Nabi saw. mengunjungi para sahabat, beliau juga memberikan salam sampai tiga kali.
Dalam riwayat Imam Al-Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi saw. melihat sendiri ada seorang sahabat yang tidak benar dalam berwudhu. ia tidak membasuh tumitnya dengan air. Nabi saw. kemudian memberikan peringatan dua atau tiga kali dengan suara keras, “Wail li al-a’qab min al-nar (celakalah tumit yang tidak dibasuh dengan air).”
Ketujuh, Evaluasi (Al-Taqyim)
Nabi saw. juga memonitor dan mengevaluasi pelajaran yang telah diterima oleh para sahabatnya. Ketika beliau mengetahui kekeliruan yang dilakukan oleh salah seorang sahabat, maka beliau langsung mengoreksinya. Baik kekeliruan itu diketahui beliau langsung atau hasil dari laporan sahabatnya yang lain.
Contoh kekeliruan sahabat yang langsung beliau saksikan adalah contoh di atas, tentang kisah tentang sahabat yang keliru saat berwudhu. Sementara contoh tentang kekeliruan sahabat yang tidak beliau saksikan langsung adalah tentang kisah Mu’adz bin Jabal. Mu’adz pernah menjadi imam shalat. Namun, ketika membaca surat Al-Qur’an, ia memilih surah Al-Baqarah yang panjang sekali. Sehingga, ada salah seorang makmum yang memisahkan diri dari jamaah dan tidak meneruskan shalat berjamaah bersama Mu’adz.
Ketika Nabi saw. diberi tahu kejadian itu, beliau langsung memanggil Mu’adz, “Hai Mu’adz, apakah engkau suka berbuat fitnah?” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. “Mengapa kamu tidak membaca surah-surah pendek saja, seperti sabbihisma rabbika …., was syamsi wa dhuhaha, atau wal laili idza yaghsyaha, karena di belakang kamu ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang punya keperluan lain.” Demikianlah nasihat Nabi saw. kepada Mu’adz sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Kedelapan, Dialog (Al-Hiwar)
Metode tanya jawab atau dialog ini banyak mewarnai sistem pendidikan ala Nabi saw. Beliau sebagai penanya, sedangkan para sahabat sebagai orang-orang yang diajak dialog. Melalui metode ini, Nabi saw. mengajak para sahabatnya untuk menuju posisi mengetahui dari yang asalnya tidak tahu, kemudian naik ke posisi meyakini.
Terkadang, metode dialog ini dipandu oleh malaikat Jibril yang menyamar sebagai sosok laki-laki. Sementara para sahabat bertindak sebagai pendengar aktif. Seperti hadis terkait Islam, Iman, dan Ihsan. Adakalnya juga Nabi saw. justru sebagai pihak yang ditanya, sementara salah seorang sahabat yang mengajukan pertanyaan terkait permasalahannya. Seperti orang-orang Arab Badui yang menanyakan ajaran-ajaran Islam kepada beliau.
Kesembilan, Analogi (Al-Qiyas)
Ungkapan-ungkapan Nabi saw. dalam mengajarkan Islam kepada para sahabat banyak sekali yang menggunakan analogi, perumpamaan, atau sejenisnya. Contohnya sabda Nabi saw., “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan penderitaan mereka ibarat jasad manusia. Apabila ada satu bagian dari jasad itu merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakit panas dan tidak dapat tidur.” (H.R. Al-Bukhari)
Kesepuluh, Cerita atau Kisah (Al-Qishash)
Metode ini telah diarahkan oleh Al-Qur’an. Di mana, banyak sekali kisah-kisah tentang para nabi dan umat terdahulu yang dikisahkan Allah swt. dalam Al-Qur’an sebagai suatu pelajaran. Nabi saw. juga sering menyebutkan kisah-kisah orang-orang dahulu kepada para sahabat ketika memberikan pelajaran.
Misalnya kisah tentang tiga penghuni gua yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya. Dikisahkan bahwa ada tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka tidak dapat keluar dari gua karena mulut gua tertutup batu besar yang tidak sanggup mereka geser. Maka, secara bergantian, mereka berdoa dan menyebutkan amal-amal shalih. Batu itu bergerak keluar setiap satu orang dari mereka menyebutkan amal shalih yang pernah mereka lakukan. Hingga mereka pun dapat keluar dari gua itu.
Demikianlah sepuluh gaya mendidik ala Nabi saw. yang telah dirumuskan oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Tentunya, hal ini tidak membatasi. Artinya masih banyak metode-metode pendidikan ala Nabi saw. yang dapat digali lagi dari riwayat-riwayat beliau.
4 Comments