BincangMuslimah.Com- Wanita hamil dan menyusui termasuk dalam kelompok yang berada pada udzur syar’i serta diberikan rukhsoh (keringanan) untuk meninggalkan puasa. Namun masih terdapat beberapa ketentuan dalam mengganti hutang puasa yang ditinggalkan.
Ketentuan mengganti puasa bagi wanita hamil dan menyusui memang tidak tertulis secara langsung dalam Al-Qur’an. Sebagaimana pada surah Al-Baqarah ayat 184-185, di mana Allah memberikan keringanan bagi orang yang sakit, dalam perjalanan, maupun kelompok orang yang berat menjalankan puasa.
Oleh karena itu muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama perihal ini, yang akan berpengaruh pada ketentuan menggantinya sesuai dalam syariat Islam.
Apakah wanita yang hamil dan menyusui harus mengganti puasa saja? atau dengan membayar fidyah?
Lalu bagaimana untuk wanita hamil dan menyusui, yang masih memiliki hutang puasa sebelumnya namun belum bisa mengganti hingga ramadhan selanjutnya?
Ketentuan Qadha’ dan Fidyah Menurut Para Ulama
Islam memberikan kebolehan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak melaksanakan puasa dengan beberapa ketentuan yang masih perlu ditunaikan. Yakni dengan mengganti puasa dan membayar fidyah.
Melalui ijtihad atau upaya para ulama dalam menggali hukum, terdapat dua kategori yang dapat menjadi pedoman bagi mereka dalam menunaikan kewajiban tersebut sebagai pengganti puasanya:
Pertama: Kewajiban Qadla’ atau Mengganti Puasa Saja
Kategori yang pertama, wanita hamil dan menyusui wajib mengganti hutang puasanya dengan puasa di lain hari sesuai dengan puasa yang ditinggalkan. Dengan alasan ‘apabila ia memiliki kekhawatiran terhadap dirinya sendiri maupun anaknya’.
Menukil kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, keempat imam madzhab berdiri selaras dalam pendapat ini. Adapun madzhab syafi’I lebih merincikan pada dua keadaan untuk qadla’ puasa saja. Yakni kekhawatiran atas diri wanita itu sendiri dan kekhawatiran atas diri sendiri serta anaknya. Begitu pula madzhab Maliki yang merincikan bahwa wanita yang tidak berpuasa karena hamil saja (tidak menyusui) tidak wajib membayar fidyah.
Kedua: Kewajiban Qadha’ Puasa dan Membayar Fidyah
Kategori yang kedua, wanita hamil dan menyusui wajib Qadla’ puasanya di lain hari sekaligus dengan membayar fidyah. Yakni memberikan sebagian harta benda kepada fakir miskin sebagai ganti puasa yang ditinggalkan. Hal ini apabila terdapat ‘kekhawatiran terhadap kondisi janin atau anaknya saja’.
Menukil kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, jumhur ulama madzhab memiliki pendapat yang sama dalam hal ini, kecuali madzhab Hanafi. Demikian madzhab Maliki menjelaskan kembali kewajiban membayar fidyah bagi wanita yang meninggalkan puasa karena memiliki tanggungan menyusui.
Adapun besaran ketentuan fidyah adalah 1 mud atau setara dengan 3/4 liter beras. Pembayaran besaran tersebut setiap hari sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.
Ketentuan Qadha’
Menukil dari kitab Fathul Muin, bahwa wanita yang hamil dan menyusui yang belum memiliki kesempatan mengganti puasanya hingga bertemu ramadhan selanjutnya, maka ia hanya diwajibkan menqadha’ puasa saja tanpa harus membayar fidyah. Karena memiliki udzur (sakit/hamil/menyusui) tersebut:
وخرج بقولي بلا عذر: ما إذا كان التأخير بعذر كأن استمر سفره أو مرضه أو إرضاعها إلى قابل فلا شيء عليه ما بقي العذر وإن استمر سنين
“Tidak termasuk ucapanku ‘tanpa ada udzur’, yaitu jika penundaan qadha itu karena udzur. Seperti terus menerus dalam bepergian atau sakit atau menyusui hingga masuk Ramadhan tahun depan, maka ia tidak mendapat kewajiban fidyah selama udzur tersebut masih berlangsung walaupun sampai bertahun-tahun.”
Kesimpulan dari pendapat di atas adalah:
Pertama: Jika wanita hamil dan menyusui memiliki dua hutang puasa (tahun lalu dan tahun selanjutnya) karena adanya udzur syar’i berturut-turut, maka ia hanya wajib menqadha’ puasa saja setelah ia mampu nanti.
Seperti contoh jika seorang ibu pada ramadhan tahun lalu telah hamil dan menyusui, hingga bertemu ramadhan berikutnya ternyata hamil lagi atau masih memiliki kewajiban menyusui lagi, maka ini masuk kategori udzur syar’i.
Kedua: jika wanita hamil dan menyusui tersebut melewatkan dua ramadhan dan belum mengganti puasanya, sedang sebenarnya saat itu kondisi setelah terbebas dari bayi masih sanggup untuk berpuasa. Maka ia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah sejumlah hari ia tidak berpuasa. Karena tidak termasuk pada udzur (halangan).
Demikian adanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang lazim. Karena berbeda sudut pandang dan mempertimbangkan illat hukum yang ada.
Hal ini sebagai bukti bahwa Islam menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mencegah adanya madharat bagi umatnya. Terutama dalam konteks ini bagi ibu dan anaknya. Demikian pula hal ini selaras dengan salah satu poin maqashid syari’ah, yakni hifdz An-Nafsi atau menjaga jiwa.
11 Comments