BincangMuslimah.Com – Berdasarkan data, tahun 2021 lalu angka jumlah tersangka kasus terorisme di Indonesia terus meningkat. Dalam laporan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), setidaknya ada 370 tersangka terorisme di Tanah Air pada 2021.
Hal itu meningkat sekitar 59, 48 persen dibandingkan tahun 2020 lalu, dengan jumlah tersangka terorisme sebanyak 232 tersangka. Kendati demikian, dalam catatan katadata.co.id, meski jumlah kasus meningkat, akan tetapi jumlah aksi teror menurun 7 kasus atau 53,8% tahun 2020 lalu. Rinciannya, kasus teror terjadi sebanyak 13 aksi pada 2020, sedangkan hanya ada 6 aksi terorisme pada 2021.
Jika kita melihat data, pada tahun 2021 terdapat pelbagai kasus terorisme yang jadi perhatian publik yakni pengeboman gereja Katedral Makassar. Aksi teror itu terjadi pada 28 Maret 2021 itu dilakukan oleh L dan YSF, yang merupakan bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Aksi yang tak kalah menghebohkan terjadi pada 31 Maret 2021, yakni penyerangan Mabes Polri oleh seorang wanita bernama Zakiah Aini. Ia bergerak sendiri menyerang Mabes Polri. Perempuan itu masuk ke dalam Mabes Polri dan melakukan upaya penembakan, akan tetapi aksi tersebut dapat diatasi dan dia tewas dalam penyerangannya.
Yang menarik, dua kasus tersebut (Pengeboman Gereja Katedral Makassar) dan penyerangan Mabes Polri oleh Zakiah Aini, merupakan aksi teror yang melibatkan perempuan. Sebelumnya, ada juga seorang perempuan bernama Dian Yuliana Novi yang ditangkap Densus 88 disebabkan ikut dalam aksi terorisme. Pada 2018 lalu juga, dua wanita bernama Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah ditangkap di musala dekat Mako Brimob Kelapa Dua Depok, karena diduga hendak membantu para napi terorisme dan menyerang aparat kepolisian.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme terbilang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu bisa dikonfirmasi lewat catatan dan laporan International Policy Analysis on Conflict (IPAC), yang berjudul “Extremist Women Behind Bars in Indonesia” diterbitkan pada 21 September 2020, jumlah perempuan teroris tahun 2016 sampai 2020 mencapai 32 orang.
Sementara itu dalam catatan Peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mencatat peran perempuan dalam terorisme terus meningkat. Jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme dalam kurun waktu 2000-2020 mencapai 39 orang.
Yang tak kalah mengagetkan adalah aksi terorisme juga melibatkan anak-anak. Para anak-anak ini dilibatkan sebagai pelaku langsung. Sebagai contoh aksi terorisme di Gereja Kristen Indonesia Surabaya. Pelaku adalah seorang perempuan yang membawa dua orang anak. Mereka membawa tas berisi bom, dan memaksa memasuki ruang kebaktian GKI, untuk meledakkan diri.
Begitu juga pada Maret 2022 lalu, Densus 88 Antiteror Polri menangkap 16 tersangka kasus dugaan teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatera Barat (Sumbar). 16 tersangka tersebut aktif merekrut anggota baru. Dalam penjelasan Polri para tersangka terorisme ini diduga melibatkan anak-anak dalam proses perekrutan.
Berdasarkan data Asian Muslim Action Network, pada 2015, tercatat 3.500 anak muda di negara barat direkrut ISIS melalui media sosial. Pada 2017, sebanyak 1.500 anak menjalani pelatihan militer di kamp pelatihan militer Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dalam negeri, bom bunuh diri di pelbagai daerah seperti Surabaya dan Sidoarjo telah melibatkan 11 orang anak-anak. Beberapa data yang telah disebutkan bahwa anak-anak dan perempuan cukup banyak yang terlibat dalam aksi terorisme.
Mengapa Anak-anak dan Perempuan Terlibat Terorisme?
Untuk jawaban ini, simak penjelasan dari Prof Ruhaini Dzuhayatin, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang menyebutkan bahwa fenomena peningkatan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi teror merupakan perubahan tren terorisme di Indonesia. Perubahan tren tersebut menggeser model terorisme tradisional menuju lebih terbuka dan dinamis. Prof Ruhaini menyebutnya dengan istilah from backyard to dining room ( dari tersembunyi menjadi terang-terangan).
Konsep ini mengandung makna aksi terorisme bukan lagi tersembunyi dan tidak lagi milik kaum lelaki saja. Akan tetapi aksi terorisme merupakan panggilan berjihad yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut berjuang. Yang dalam hal ini perempuan dan anak-anak terbuka untuk terlibat. Hal ini didukung dengan kehadiran internet dan media sosial. Kondisi ini memberikan peran yang leluasa bagi perempuan untuk ikut andil dalam pelbagai jejaring aksi terorisme.
Haula Noor yang merupakan PhD Candidate at Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam artikel berjudul Bagaimana Perempuan, Anak Muda Terlibat dalam Aksi Terorisme, menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perempuan melibatkan diri dalam aksi terorisme karena legitimasi dari kelompoknya. Yang menarik, selain faktor legitimasi, perempuan bergabung dengan organisasi terorisme juga karena terdorong secara emosional. Pasalnya, perempuan merasa dirinya dihargai, lebih berdaya, dan ingin memperkuat hubungan dengan anggota lain.
Pada awalnya, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme terbilang minim. Kelompok teroris semacam Al-Qaeda, dengan tegas melarang perempuan ikut jaringan terorisme. Bahkan menyebutnya dengan kejahatan besar, jika sampai melibatkan terorisme. Akan tetapi pandangan ini kian bergeser, di bawah komando ISIS, konstruksi perempuan bergeser total. ISIS menawarkan purifikasi sebagai perempuan dengan berbagai larangan. Pendek kata, ISIS membuka kran yang luas untuk perempuan ikut ambil andil dalam jihad, lewat terorisme.
Sementera itu terkait dengan keterlibatan anak-anak dalam aksi terorisme, dalam artikel Berapa Banyak Anak-anak Dilibatkan dalam Jaringan Teror?, Pengamat terorisme Al Chaidar menjelaskan bahwa anak-anak dilibatkan dalam aksi terorisme disebabkan karena kelompok tersebut sulit untuk menarik anggota baru, sebagai alternatif mereka merekrut anggota keluarga mereka sendiri yang masih di bawah umur.
Di sisi lain, adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan kata jihad. Orang tua dari anak tersebut, menganggap terorisme adalah jihad, sehingga mengajak anaknya terlibat dalam pelbagai aksi tersebut. Ada kepercayaan psikologis yang sangat kuat, kalau ada keterlibatan anak-anak itu akan lebih bagus lagi dan akan mendapatkan ganjaran setimpal kelak.
Dengan demikian, anak-anak dan perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme menjadi alarm darurat bagi Indonesia. Para pemangku kepentingan patut menyadari dan mengambil langkah strategis dalam isu ini. Jangan sampai ke depan, perempuan dan anak-anak semakin banyak yang terjerumus dalam aksi ekstrimisme yang pro pada kekerasan.
2 Comments