BincangMuslimah.Com – Dalam karya Abû Abd al-Rahmân al-Sulâmî, Sufi-sufi Wanita: Tradisi yang Tercadari (2004), digambarkan bahwa ada tradisi tasawuf dan kesadaran identitas perempuan sebagai sufi berperan dalam banyak hal. Peran yang dimaksud adalah melayani saudara-saudara laki-laki, belajar bersama, mendukung secara finansial, dan bahkan melebihi para laki-laki dalam hal pengetahuan.
Dalam buku tersebut, Al-Sulâmî juga menuliskan bahwa pada masa terbentuknya tasawuf, kaum perempuan tidak terlalu sering disisihkan dari aspek-aspek kehidupan publik dan kehidupan spiritual. Perempuan digambarkan setara dengan kaum laki-laki dalam hal agama dan kecerdasan akal, termasuk dalam pengetahuan tentang ajaran-ajaran dan praktik-praktik sufi atau tasawuf.
Sejak masa awal, para perempuan kaya disebut-sebut sebagai penyumbang pemuka-pemuka sufi dan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok darwis. Para perempuan kaya tersebut menyediakan uang dan makanan bagi khanaqah.
Dalam bidang inilah para perempuan saleh dan kaya raya mendapatkan saluran untuk mewujudkan keinginan mereka dan bisa melakukan tindakan terpuji. Tindakan yang dimaksud adalah berperan dalam pelayanan masyarakat, dalam pendirian khanaqah atau dalam pemberian sumbangan kepada pengembangan fasilitas untuk masyarakat darwis.
Sebagai imbalan bantuan yang diberikan, para perempuan kaya tersebut mendapatkan hiburan dan pengangkatan rohani dalam pertemuan-pertemuan ahli mistik. Kegiatan perempuan pada masa itu, seperti merawat kaum mistik secara perorangan, mengundang para sufi untuk berkumpul di rumah, masih bisa disaksikan di beberapa bagian dunia Islam. Nama-nama perempuan wali pun masih bisa ditemukan dalam semua dunia Islam, meski hanya sedikit di antara mereka yang tercantum dalam catatan resmi.
Apa yang terjadi di Anatolia, misalnya, nama-nama perempuan banyak ditemukan di makam-makam yang diziarahi untuk menyatakan keinginan mereka sehubungan dengan masalah-masalah perkawinan, anak, pekerjaan, dan sebagainya, sama dengan di Iran dan Afrika Utara.
Ada perempuan wali yang kaya di India, seperti makam putri Syah Jihan, Jihanara, yang dimakamkan bersama-sama dengan saudara laki-lakinya yang kurang beruntung, Dara Shikoh, yang masuk tarekat Qadiriyah dan mendapatkan pujian tinggi dari pemuka tarekat, Mulla Syah.
Tulisan-tulisan perempuan tersebut membuktikan bahwa ada tradisi tasawuf dari para perempuan sufi yang mendalami masalah mistik. Saudara perempuan Nian Mir, pembimbing mistik Jihannara dan Dara, yakni Bibi Khatun (1639 M) adalah seorang wali terkemuka dalam tarekat Qadiriyah semasa awal kegiatan tarekat itu di Punjab.
Kita bisa menemukan makam-makam perempuan-perempuan wali yang tidak boleh diziarahi laki-laki (hal ini juga terjadi di kawasan yang lain) di semua propinsi Pakistan dan India Islam terdapat. Salah seorang perempuan yang dianggap wali dan makamnya banyak diziarahi adalah Fatimah binti Maimun, putri Raja Carmen dari Kedah.
Sayangnya, di Indonesia tidak banyak dijumpai nama-nama perempuan sebagai wali. Salah satu kesulitan besar dalam upaya merekonstruksi dan menulis sejarah sosial intelektual ulama perempuan Indonesia adalah langkanya sumber-sumber tertulis yang dijadikan sebagai rujukan.[]