BincangMuslimah.Com – Aisyah al-Bau’niyah adalah sosok sufi perempuan yang produktif dan hidup pada masa Dinasti Mamluk. Nama al-Bau’niyah berasal dari nama sebuah kota terpencil di Ajlon, sebuah kota yang saat ini masuk wilayah Yordania.
Nama lengkapnya adalah Aisyah Bint Yusuf bin Ahmad bin Nasiruddin al-Bau’niyah. Ayahnya, Yusuf merupakan sosok seorang bapak yang peduli dengan emansipasi wanita sehingga, ia tidak membeda-bedakan jenis kelamin, meskipun anaknya perempuan, ia tidak membeda-bedakan khususnya dalam hal pendidikan, sehingga anaknya mendapatkan porsi yang sama dalam dunia intelektual.
Semasa kecil Aisyah sudah banyak belajar ilmu-ilmu agama seperti al-Qur’an, Fikih, hadis hingga sastra, bahkan Aisyah sudah hafal al-Qur’an ketika usia 7 tahun. Dunia sufisme sebuah disiplin ilmu yang bukan hanya digemari oleh Rabiah al-Adawiyah, tetapi Aisyah juga menggeluti bidang ini, rupanya ia mengikuti tarekat Qadariyah, sebuah tarekat yang dinisbatkan kepada syaikh abdul Qadir Jailani.
Munculnya sufi-sufi perempuan dalam dunia tasawuf membuktikan bahwa dunia kesufian tidak hanyadimiliki oleh laki-laki, perempuan juga memiliki posisi istimewa dalam mendekati Tuhannya.
Layaknya seperti Rabiah al-Adawiyah, Aisyah juga mempunyai konsep mahabbah tersendiri sebagaimana yang tercantum karyanya yang berjudul “al-Munkatab fi Ushul ar Rutab fi Ilm al Tashawwuf” ia menjelaskan tentang konsep mahabbah (cinta):
“cinta adalah rahasia Allah yang paling agung. intisari dan kejernihan, buah dari pengkhususan. Wasilah mendekatkan diri. Mikraj untuk Wushul. Hakikat Kemuliaan. Rahasia-rahasia. Lautan tanpa tepi. Mutiara yang tak ternilai harganya. Cahaya tanpa kegelapan yang menyertainya. Rahasia yang tidak bisa direngkuh wujudnya dan makna yang tidak bisa disifati oleh akal.
Berbicara tentang kitab al-Munkatab fi Ushul ar Rutab fi Ilm at Tashawwuf, selain menjelaskan tentang konsep tasawuf, kitab tersebut menjelaskan konsep dasar tasawuf seperti taubat, ikhlas serta dzikir. Dalam menjelaskan konsep perkonsep hal pertama yang ia lakukan adalah mengutip ayat al-Qur’an, kemudian menguraikan makna dan konsep tersebut baik dari segi bahasa maupun istilah tasawuf. Selain itu, Aisyah juga mengutip Hadis, Atsar dan perkataan ulama terkait dengan konsep yang dijelaskan serta syair-syair yang ia tulis sendiri untuk menjelaskan masing-masing konsep.
Sebagai seorang intelektualis perempuan sekaligus sufi yang berpengaruh. Aisyah merupakan sosok sufi yang produktif. Terbukti karya-karyanya baik dalam bidang syair, prosa dan kitab sufistik. Namun begitu disayangkan karya-karyanya banyak yang hilang karena peristiwa perampokan yang terjadi di Sungai Nil ketika melakukan rihlah.
Berikut karya-Karya Asiyah al-Ba’uniyah seperti al-Munkatab fi Ushul a Rutab, Durar al-Gha’is fi Bahr al Mu’jizat wa al –Khasa’is, al-Fath al Haqqi min Fayh al Wafaf Asma’ al;Mustofa, al-Isharat, al Khafiyah fil Manazi, al-Aliyyah, Madad al Wadud fi Mawlid al-Mahmud, al-Malamih al-Sharifah min al Athar al-Latifah, al-Mawrid al-Ahna fil Mawlid al-Asna, Diwanal al-Baniyyah
Dari Aisyah al-Bau’niyah kita dapat mengambil pelajaran bahwa perempuan juga mempunyai kedudukan serta kedekatan yang sama di sisi Tuhan. Mungkin selama ini, sufi identik dengan kaum laki-laki, dengan hadirnya sosok Aisyah al-Bau’niyah sebagai sufi perempuan membuktikan kebalikan dari anggapan tersebut. Disamping selain sosok sufi, ia adalah sosok perempuan yang produktif menghasilkan karya sebagaimana sudah disebutkan di atas.
4 Comments