BincangMuslimah.Com – Kepemimpinan perempuan merupakan sebuah persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari permasalahan gender, termasuk dalam Islam. Adapun yang dimaksud dengan gender dalam tulisan ini adalah konstruksi sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan nilai-nilai, fungsi, maupun karakteristik tertentu. Di dalam Islam sendiri, kepemimpinan perempuan masih menjadi persoalan pro dan kontra.
Meskipun pada hakikatnya agama Islam hadir untuk memuliakan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, akan tetapi faktanya di beberapa negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hak-hak politik perempuan masih dibatasi oleh pemahaman-pemahaman keagamaan yang cenderung konservatif.
Terdapat banyak pihak yang menilai pemahaman bahwa Islam melarang perempuan sebagai pemimpin adalah sebuah kesalahan orang-orang dalam mengiprentasikan suatu ayat. Di dalam salah satu hadits misalnya, dikatakan sebagai berikut, “Persia telah mengangkat putri Kisra pemimpin (raja) mereka, maka beliau bersabda, “tidak akan beruntung suatu kaum yang mempercayakan atau menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita (mengangkatnya menjadi pemimpin mereka)” (H.R. Bukhari).
Padahal di dalam hadis di atas, yang dimaksud dengan “pemimpin perempuan” adalah putri Kisra yang bernama Buaran binti Syairawaihi bin Kisra bin Barwaiz. Hal tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosio-historis pada masa itu dimana perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua (second civilized), sementara salah satu syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus dihormati oleh rakyatnya.
Oleh karena itu, dengan perkembangan zaman dan budaya dimana perempuan tidak lagi dianggap sebagai masyarakat kelas dua serta mendapatkan kepercayaan publik, maka sah-sah saja apabila perempuan menjadi pemimpin dan berpartisipasi di dalam ruang publik.
Neng Dara Affiah, Seorang Muslim Reformis Indonesia, mengatakan bahwa sebagian besar interpretasi terhadap paradigma keislaman tersebut hanya berdasarkan kepada ego laki-laki yang tabu untuk tunduk di bawah kepemimpinan perempuan.
Padahal jika kita merujuk pada firman Allah, hadis dan sejarah, salah satu perempuan yang telah terlebih ditauladankan oleh umat Islam adalah Khadijah, istri Rasulullah saw., (bahkan dalam beberapa hadis, Allah memberi salam padanya).
Siti Khadijah r.a adalah salah satu pedagang perempuan yang tersukses dan disegani oleh suku Quraisy. Namanya dikenal hingga membuat Nabi Muhammad kagum oleh manajemen dan kepemimpinannya dalam mengatur bisnis.
Beberapa penafsir kontemporer seperti Dr. Nashiruddin Umar, menjelaskan bahwa secara teologis, sebenarnya posisi perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara. Seperti disebut dalam Al-Qur’an, Q.S. Hujurat 49:13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Kata insan di sini sangat jelas merujuk pada manusia tanpa menyebut identitas gender.
Dalam Sejarah Islam sendiri, banyak tokoh perempuan yang juga menjabat sebagai kepala politik, misalnya Tarken Khatun, yang menjadi Ratu Kesultanan Seljuk atas restu Kekhalifahan Abbasiyah, Al-Muqtadi Billah, dan juga Sulthanah Safiatuddin di Aceh. Ini menunjukkan bahwa pemilihan perempuan sebagai pemimpin politik dalam agama Islam bukanlah masalah teologi atau doktrinal yang sudah final, tetapi masalah syiasah (sosial politik) yang sifatnya cair, fleksibel dan dinamis (sesuai kebutuhan).
Semantara itu di dalam perspektif keilmuan Barat, Anne Phillips di dalam bukunya yang berjudul Gender and Culture, mengatakan bahwa representasi perempuan dalam politik berguna untuk menekan perbedaan sehingga perempuan dapat mewakili kelompoknya karena beberapa kelompok membutuhkan hak dan jaminan yang berbeda dari yang lain untuk mencapai kesetaraan yang sama.
Selain Anne Phillips, Robert Darcy dalam bukunya yang berjudul Women, Elections, and Representation mengatakan bahwa representasi perempuan dibutuhkan karena laki-laki dan perempuan memiliki lingkungan yang berbeda dalam masyarakat, sehingga sebagai konsekuensinya perempuan memiliki pengetahuan dan wawasan tentang beberapa hal yang tidak dimiliki oleh laki-laki.