BincangMuslimah.Com – Di antara ibadah yang dianjurkan bagi umat Islam adalah membaca Alquran. Beberapa acara atau kegiatan juga biasa dibuka dengan pembacaan Alquran, seperti yang lazim kita lihat di Indonesia. Sebagian dari mereka menerima upah dari membaca Alquran.
Sebelum membahas mengenai hukum menerima upah dari membaca Alquran, mari kita ulas dalil-dalil yang menerangkan tentang keutamaan membaca Alquran. Terdapat banyak dalil yang menerangkan tentang keutamaan membaca Alquran, salah satunya adalah hadis berikut ini :
أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya: Ibadah yang paling utama bagi umatku adalah membaca Alquran. (HR. Baihaqi).
Lantas, apa hukum menerima upah dari membaca Alquran?
Pendapat pertama, sebagian para ulama, seperti Imam Az-Zuhri dan Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh (haram) mengambil upah dari membaca atau mengajarkan Alquran. Para ulama ini berpegang kepada beberapa dalil salah satunya dari firman Allah yang melarang menjual ayat-ayat-Nya dengan harga dunia. Di antara ayat tersebut yaitu:
وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّٰىَ فَٱتَّقُونِ
Artinya: Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41)
Seorang ulama ahli tafsir dari golongan tabi’in yang bernama Imam Abul ‘Aliyah Ar-Riyahi (Wafat 90 H). menafsirkan ayat 41 surat al-Baqarah di atas, sebagaimana telah diungkapkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya Addurul Mantsur.
Imam Abusy-Syaikh telah meriwayatkan firman Allah dari Imam Abul ‘Aliyah: “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit”, beliau berkata: Kamu tidak boleh mengambil upah mengajarkan (Alquran) karena sesungguhnya hanya Allah yang akan menerima upah kepada para ulama dan hukama (ahli hikmah). Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang makan upah mengajar atau membaca Alquran, sebagai berikut :
Bacalah Alquran, dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan makan upah mengajar al-Qurân dan memperbanyak harta melalui Alquran. (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Hajar).
Pendapat kedua, para ulama di antaranya Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsur membolehkan mengambil upah dari membaca atau mengajarkan Alquran, karena ada hadis sahih yang terang-terangan membolehkannya,
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ada sekelompok sahabat Nabi melewati sebuah perkampungan, lalu orang kampung tersebut meminta mereka untuk mengobati kepala suku mereka yang terkena sengatan hewan berbisa, para sahabat mau mengobati dengan syarat orang kampung itu memberi imbalan beberapa ekor kambing, setelah terjadi kesepakatan, salah seorang sahabat mengobatinya dengan membaca surat al-Fatihah, seketika itu juga si sakit langsung sembuh dan mereka memenuhi akad serta memberikan beberapa ekor kambing yang disepakati, sebagian sahabat menolaknya, karena dianggap mengambil upah dari bacaan Alquran.
Sesampainya di Madinah, mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
Artinya: Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah. (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang wanita menawarkan dirinya untuk dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat menikahinya. Maka seorang sahabat meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menikahkan wanita itu dengan dirinya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari maharnya, namun dia tidak memiliki apa-apa. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan apakah dia hafal beberapa surat al-Qurân. Dia menjawab, “hafal beberapa surat”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kami telah menikahkanmu dengan perempuan tersebut, dengan mahar megajarkan wanita itu beberapa surat Alquran yang engkau hafal”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Bisa dipahami dari hadis ini bahwa imbalan membaca atau mengajar Alquran adalah halal, sehingga dapat dijadikan sebagai mahar layaknya emas, perak dan lain-lain. Masalah mengambil imbalan membaca atau mengajarkan Alquran ini, seorang ulama yang betul-betul pakar dalam bidang Tafsir dan Hadis yang bernama Imamul Huda Abul Laits As-Samarqandi (Wafat 373 H), memberikan penjelasan dalam kitabnya, Bustanul ‘Arifin sebagai berikut :
Mengajarkan al-Qurân itu ada tiga macam: satu, mengajarkannya semata-mata karena Allah dan sama sekali tidak mengambil upah. Dua, mengajarkannya dengan tujuan/syarat mendapatkan upah. Tiga, mengajarnya tanpa ada syarat apapun, namun apabila diberi hadiah (amplop) diterimanya. Yang pertama dapat dipastikan mendapat pahala dan merupakan perbuatan para Nabi (atas mereka rahmat dan keselamatan). Adapun yang kedua, masih diperselisihkan. Menurut pendapat sahabat-sahabat kami dari ulama Mutaqaddimin hal itu hukumnya tidak boleh berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat”.
Dan segolongan dari ulama kontemporer seperti Imam ‘Ishani bin Yusuf, Imam Nashr bin Yahya, dan Imam Abi Nashr bin Salam mengatakan bahwa hal itu hukumnya boleh. Mereka berkata: “Afdhalnya ia mensyaratakan (menentukan) upah untuk membimbing hafalan dan mengajarkan menulis (Alquran). Namun jika ia menentukan upah untuk mengajarkan Alquran, menurut hemat kami hal itu tidak ada salahnya, karena umat Islam telah turun-temurun melakukan hal itu dan mereka memerlukannya. Adapun yang ketiga, hal itu hukumnya boleh berdasarkan kesapakan para ulama, karena Nabi Saw adalah pengajar bagi makhluk (Allah) dan beliau biasa menerima hadiah”.
Dari kedua pendapat di atas dengan berbagai argumen masing-masing, sebagian para ulama mencari jalan tengah, yakni tidak dibenarkan mengambil atau menerima upah membaca atau mengajarkan Alquran kecuali untuk memenuhi biaya kebutuhan pokok pembaca dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Karena apabila diharamkan sama sekali, dikhawatirkan akan langkanya orang yang mau mengajar, mendakwahkan, dan menyiarkan agama Allah.
Karena para juru dakwah tersebut disibukkan oleh aktivitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini nantinya akan berakibat jelek kepada generasi penerusnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yang mengajarinya. Apabila dibolehkan tanpa adanya syarat yang berarti dibolehkan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dari profesi qori’ (pembaca Alquran) ataupun pendakwah.
Sumber:
Jurnal “Imbalan Membaca Alquran dalam Perspektif Tafsir Ahkam” karya Hartono (Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung) 2021
Tarmizi, Erwin. Harta Haram Muamalat Kontemporer (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insani, 2016).