Ikuti Kami

Khazanah

Mengapa Alquran Tidak Cukup dengan Satu Qirâât?

menghatamkan alquran tujuh hari

BincangMuslimah.Com – Alquran yang turun ke bumi sejak 14 abad lalu, bisa sampai kepada kita melalui jalur periwayatan yang begitu ketat. Setelah Nabi SAW. menerima firman Allah SWT. dari Jibril AS, seketika beliau mengajarkannya kepada para sahabat secara langsung (mulut ke mulut). Sepeninggal beliau, para sahabat mengajarkan Alquran kepada tabi’in.

Kemudian, tabi’in mengajarkan kembali Alquran kepada generasi setelah mereka, dan seterusnya hingga sampai ke masa kita saat ini. Pun tidak sembarangan, proses mengajar Alquran tersebut telah melewati berbagai prosedur yang begitu ketat. Sehingga keabsahan atau kesambungan sanad Alquran yang kita pegang sekarang tidak perlu kita pertanyakan lagi.

Pengertian Qirâât

Di samping fakta di atas, kita mungkin tidak asing dengan istilah qirâât sab’ah atau qirâât asyrah. Ketika mendengarnya, barangkali kita sering kali abai dan acuh dengan konsep qirâât, dan acap kali menganggapnya eksklusif sehingga cukup diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Ilmu Qirâât sendiri merupakan cabang ilmu Alquran yang membahas wajah-wajah perbedaan bacaan Alquran dari sisi redaksi kata baik isim maupun fi’il, perbedaan i’râb, pergantian huruf (ibdâl), dan wajah dialek.

Jika mengulik sedikit tentang ilmu qirâât, perbedaan-perbedaan tersebut tidak sebatas belasan atau puluhan lafaz. Akan tetapi lebih dari itu, sampai-sampai Imam Syathibiy mesti merumuskan konsep qirâât sab’ah dalam 1173 bait dalam karyanya Hirz al-Amâniy wa Wajh al-Tahâniy. Seperti lafaz nunsyizuha (Imam ‘Ashim) yang dibaca nunsyiruha oleh Imam Nafi’ dan lafaz al-yusra yang dibaca al-yusura oleh Imam Abu Ja’far.

Pun, tidak sekadar mengulas redaksi lafaz Alquran yang berbeda. Ilmu qirâât juga mengkaji kaidah cara membaca masing-masing Qâri berikut Rawi yang sangat berbeda satu sama lain. Ada Imam yang membaca mad badal sepanjang empat harakat, hamzah sukun dibaca tashil, meniadakan dengung dalam bacaan Idgham bi ghunnah, memindahkan harakat hamzah ke huruf sukun sebelumnya, dan lain-lain.

Baca Juga:  Tafsir Al-Baqarah 187: Kiat Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga menurut Islam

Dari ulasan tersebut, barangkali ada  yang mempertanyakan keabsahan qirâât Alquran. Alquran yang dipercayai terjaga dari segala macam ketidakvalidan (keraguan sekalipun), bagaimana bisa terdapat begitu banyak perbedaan seperti di antaranya pengurangan dan penambahan redaksi? Pun mengapa Alquran tidak cukup dengan satu qirâât, sehingga jelas mana redaksi yang otentik dan mana yang tidak?

Faktanya, bangsa Arab di masa Nabi SAW. bukanlah satu kabilah besar yang setiap penduduknya memiliki dialek dan logat bahasa Arab yang sama persis. Melainkan, mereka terdiri dari bermacam kabilah yang masing-masing memiliki aksen bicara tersendiri. Seperti penduduk Madinah yang kebanyakan membaca hamzah dengan tashîl atau mengucap hamzah washl yang harakatnya dipindah ke huruf sukun sebelumnya.

Sama halnya kita di Indonesia, antara suku Jawa sendiri acap kali ditemukan perbedaan dialek jika sudah beda daerah. Pengucapan  kata yowes umpamanya, ada yang mengucap yowes dan ada yang mengucap yawes. Inilah yang menjadi alasan mengapa Alquran tidak diturunkan hanya dengan satu qirâah.

Mulanya, Nabi SAW. menerima Alquran dari Jibril dengan satu qirâah. Namun, beliau mempertimbangkan keragaman dialek bangsa Arab. Juga keberadaan anak kecil serta kakek-nenek  berusia lanjut yang belum pernah membaca sama sekali. Sehingga akan sangat memberatkan jika mereka harus serentak membaca Alquran dengan satu qirâah. Oleh karenanya, Nabi SAW. meminta kemudahan Allah SWT. Lantas diturunkanlah Alquran dengan sab’ah ahruf.

Hikmahnya adalah, jika Allah SWT. tidak menuruti permintaan Nabi SAW. tersebut, maka sama halnya Allah SWT. membebani umatnya dengan perkara di luar kemampuan mereka. Dan hal tersebut bersinggungan dengan watak Islam yang memudahkan dan tidak memberatkan. Maka, kehendak Allah SWT. menurunkan Alquran dengan sab’ah ahruf merupakan bentuk kasih dan sayang-Nya kepada umat manusia, sehingga mereka bisa dengan mudah membaca firman-Nya, lantas memahami ayat-ayat-Nya dan mentransfer pemahaman tersebut ke generasi-generasi selanjutnya.

Baca Juga:  Musyawarah Ala Rasulullah Sebagai Bentuk Kerendah Hatian

Sejarah Qirâât

Adapun terkait sab’ah ahruf, ia bukanlah perkara yang melazimkan jumlah qirâah ada tujuh, sehingga kemudian dipertanyatakan legalitas keberadaan qirâah asyrah. Memang sedari awal diturunkan Alquran, umat muslim dibolehkan membaca Alquran dengan kaidah sab’ah ahruf tersebut sesuai dengan dialek masing-masing. Sampai kemudian di masa Usman bin Affan RA, terjadi kodifikasi Alquran dan menghasilkan empat mushaf, yang kemudian disebar ke empat kota; Makkah, Madinah, Kuffah dan Bashrah.

Dengan prosedur yang begitu ketat, pengodifikasian tersebut kemudian menyeleksi riwayat redaksi Alquran yang dinilai tidak valid. Sesudah mengerahkan sekuat tenaga, pengodifikasian tersebut pada akhirnya tidak mencakup semua sab’ah ahruf. Jika demikian, lantas bagaimana kemudian muncul istilah qiraââh sab’ah atau asyrah?

Setelah mushaf ustmany dikirim ke penjuru kota—beserta dengan para sahabat yang ahli Alquran guna mengajarkan kabilah-kabilah di pelosok, madrasah-madrasah Alquran semakin masif didirikan. Perlu diketahui juga, bahwa para sahabat utusan Usman bin Affan tersebut masing-masing tidak hanya membaca dengan satu bacaan. Pun di antara mereka ada perbedaan kaidah membaca sebagaimana sab’ah ahruf yang diajarkan Nabi SAW. Mengingat saat itu mushaf usmany belum ada harakat beserta titik-titik pembeda huruf seperti sekarang. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu, bagaimana di kurun waktu setelahnya perbedaan kaidah membaca umat Islam semakin tak terelakkan.

Hingga pada abad ke-6 Hijriyah, Imam Syathibiy merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Jika perbedaan tersebut tidak dikendalikan, akan berisiko dipertanyakannya validasi bacaan Alquran di kemudian hari. Sampai kemudian beliau berijtihad dengan mengusut kesahihan sanad qirââh umat Islam. Mulanya beliau merunut imam-imam qâri’ dari kalangan tabi’in yang mashur di setiap penjuru kota.

Di antaranya, Imam Nafi’ (Madinah), Imam Ibnu Katsir (Makkah), Imam Abu Amr (Bashrah), Imam Ibnu ‘Amir (Syam), Imam ‘Ashim (Kufah), Imam Hamzah (Kufah) dan Imam al-Kisa’iy (Kufah). Setelahnya, beliau menelisik murid-murid Imam di atas dan memastikan keabsahan qirâât yang mereka bawa saat itu, dengan menyeleksi qirâât yang tidak memenuhi syarat kesahihan.

Baca Juga:  Kisah Julaibib; Bukti Bahwa Rasulullah Mencintai Tanpa Memandang Ras

Dalam ijtihadnya, Imam Syatibiy sangatlah berhati-hati. Imam-imam yang tersebut di atas berikut murid-muridnya, harus memenuhi syarat sebagaimana perawi hadits. Demikianlah alur kemunculan qirâât sab’ah yang semuanya bersanad muttashil hingga Nabi SAW.

Ijtihad Imam Syathibiy tersebut kemudian membangkitkan geliat keilmuan para ahli al-Quran saat itu. Sampai pada abad 8 Hijriah, Imam Ibn al-Jazariy melakukan ijtihad yang sama sebagaiman Imam Syathibiy. Hingga akhirnya beliau meriwayatkan tiga qirâât muttashil selain yang diriwayatkan oleh Imam Syathibiy. Jadilah qirâât asyrah mutawâtirah yang saat ini diajarkan di seluruh pelosok dunia.

Dari ulasan di atas, bisa kita pahami bahwa sepuluh qirâât mutawâtirah tersebut merupakan bagian dari sab’ah ahruf yang disebutkan di al-Qur’an. Akan tetapi, hakikat sab’ah ahruf  tidak terbatas di  sepuluh qirâât mutawâtirah.

Alâ kulli hâl, meskipun qirâât asyrah tidak semuanya masif digunakan oleh umat Islam, namun kehadirannya turut andil dalam menyemarakkan geliat keilmuan Islam. Dengannya, semakin banyak pemuda-pemudi Islam yang semakin terpacu ketika belajar fan ilmu al-Quran, merunut bagaimana tipologi qirâât yang mutawatir, dho’îf, ahâd, dan lain-lain.

Dalam ijtihad fikih, ilmu qirâât pun seringkali dilibatkan. Perbedaan qirâât menjadikan produk fikih yang dihasilan juga beragam. Semoga sajian saya ini mampu menjadi pemicu pembaca untuk semakin melek terhadap ilmu-ilmu al-Quran sebagai kitab pedoman utama umat Islam.

 

 

 

 

 

Rekomendasi

meletakkan al-Qur'an di lantai, Mengenal Hermeneutika Feminisme: Metode Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Feminisme meletakkan al-Qur'an di lantai, Mengenal Hermeneutika Feminisme: Metode Penafsiran Al-Qur’an Berbasis Feminisme

Langkah-langkah dalam Memahami Alquran

doa setelah membaca Alquran doa setelah membaca Alquran

Doa yang Dibaca Setelah Membaca Alquran

beberapa Dimakruhkan Membaca Alquran beberapa Dimakruhkan Membaca Alquran

Beberapa Tempat dan Keadaan yang Dimakruhkan Membaca Alquran

Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

Tafsir Al-Baqarah 187: Kiat Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga menurut Islam

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

Komentari

Komentari

Terbaru

ajarkan kesetaraan laki-laki perempuan ajarkan kesetaraan laki-laki perempuan

Mengenal Lebih Jauh Macam-macam Pendekatan Gender

Kajian

Kisah cinta Zainab binti Rasulullah Kisah cinta Zainab binti Rasulullah

Kisah Cinta Sayyidah Zainab binti Rasulullah

Muslimah Talk

Hukum kremasi jenazah mualaf Hukum kremasi jenazah mualaf

Hukum Kremasi Jenazah Mualaf

Kajian

Rembuk Ide Rembuk Ide

El-Bukhari Institute Gelar Rembuk Ide, Bahas Moderasi Beragama untuk Gen Z

Berita

Bincang Thaharah; Wudhu Tidak Berurutan, Apakah Tetap Sah?

Video

Perbedaan Haji dan Umrah Perbedaan Haji dan Umrah

Tiga Perbedaan Haji dan Umrah

Ibadah

Syarat-syarat dikabulkannya doa Syarat-syarat dikabulkannya doa

Fungsi dan Syarat-syarat Dikabulkannya Doa  

Ibadah

Larangan bagi Perempuan Haid Larangan bagi Perempuan Haid

Larangan bagi Perempuan Istihadhah

Kajian

Trending

Doa keguguran Doa keguguran

Kehilangan Buah Hati Akibat Keguguran, Baca Doa yang Diajarkan Rasulullah Ini

Ibadah

masa iddah hadis keutamaan menikah masa iddah hadis keutamaan menikah

10 Hadis Tentang Keutamaan Menikah

Kajian

Tujuh Keutamaan Membaca Shalawat Tujuh Keutamaan Membaca Shalawat

Doa agar Terhindar dari Prasangka Buruk pada Allah

Ibadah

Mengenal Rufaidah al-Aslamiyah: Perawat Perempuan Pertama dalam Sejarah Islam

Muslimah Talk

Mandi junub dan haid Mandi junub dan haid

Empat Hal yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Wajib

Ibadah

Resensi Buku Pernah Tenggelam Resensi Buku Pernah Tenggelam

Resensi Buku Pernah Tenggelam: Halu Berlebihan Menenggelamkan Keimanan?

Diari

Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah

Kisah Bulan Madu Rasul dengan Shafiyah binti Huyay

Muslimah Talk

muslimah mencukur habis rambutnya muslimah mencukur habis rambutnya

Bolehkah Muslimah Mencukur Habis Rambutnya?

Kajian

Connect