BincangMuslimah.Com – Dalam al-Qur’an terdapat banyak qiraah yang terbagi menjadi, yaitu qiraah yang dapat dijadikan hujjah dan qiraah yang tak dapat dijadikan hujah. Untuk bagian kedua ini masih diperselisihkan; yaitu apakah ia termasuk al-Qur’an atau bukan dan jika termasuk al-Qur’an apakah bisa dijadikan hujah atau tidak.
Dalam perkembangan di dunia bacaan al-Qur’an, sampai detik ini pun seperti yang telah kita ketahui bahwa ada tujuh bacaan yang berkembang yang sering kita dengar dengan istilah qira’ah sab’ah.
Dikatakan qira’ah sab’ah karena terdapat tujuh imam yang berbeda dalam cara membacanya.
Istilah qiraah yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat al-Qur’an melalui jalur penuturan tertentu. Meskipun jalur penuturan dan periwatan itu berbeda-beda karena mengikuti aliran mazhab para imam qiraah, akan tetapi semuanya berlabuh kepada bacaan yang disandarkan langsung kepada Rasulullah.
Letak perbedaan qiraah ini berkisar pada dialek (lahjah), penyahduan bacaan (tafkhim), pelembutan (tarqiq), pengejaan (imla’), panjang nada (madd), pendek nada (qasr), penebalan nada (tasydid), dan yang terakhir dalam penipisan nada (takhfif).
Contoh perbedaan qiraah yang paling sering kita jumpai adalah imalah. Pada beberapa lafadz al-Qur’an, sebagian orang arab mengucapkan huruf vocal ‘e’ sebagai ganti dari ‘a’. Misalnya, bacaan “Wa al-duhe wa al-laili idza saje. Ma wadda’aka rabbuka wa ma qale”.
Meskipun masing-masing imam punya beberapa lafadz bacaan yang bemacam-macam, dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak dijumpai tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan dalam melafadzkan bacaan ini bisa kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir klasik. Lazimnya, dalam kitab-kitab klasik tersebut akan dijumpai penjelasan perihal perbedaan para imam qiraah dalam membaca masing-masing lafadz tersebut.
Sejarah Singkat Munculnya Perbedaan Qiraah
Ditinjau dari berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an ini sudah dimulai sejak masa khalifah ‘Usman bin Affan. Sudah barang tentu, keanekaragaman yang terjadi dalam bacaan al-Qur’an tidak semata-mata tanpa landasan yang tepat, bahkan semuanya mengacu kepada Rasulullah Saw.
Semasa Rasulullah masih hidup, Sayyidina ‘Umar pernah mendengar Hisyam ibn Hakim ibn Hizam membaca surat al-Furqan dengan banyak huruf yang sebelumnya tak pernah ia dengar dari Rasululah, hampir saja ‘Umar melabraknya andai kata ia tidak bersabar dan menunggu Hisyam menyelesaikan salatnya.
Ketika shalatnya usai Sayyidina ‘Umar lagsung menarik selendangnya dan berkata, “Siapa yang mengajarimu bacaaan seperti tadi?” Hisyam menjawab, “Rasulullah yang mengajariku”, ‘Umar menyergah, “Kamu berdusta, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah membaca seperti itu”.
Akhirnya, ‘Umar ibn Khattab pulang dan mengadu kepada Rasulullah Saw. Mendengar hal itu, lantas Rasulullah mendiktekan kepada ‘Umar sebuah surat agar nantinya dikirimkan kepada Hisyam. Rasulullah bersabda, “Bacalah wahai Hisyam!” Lalu Rasul membaca al-Qur’an dengan menggunakan cara yang serupa sebagaimana yang Sayyidina ‘Umar dengar dari Hisyam sebelumnya.
Setelah itu, Rasulullah berkata, “Begitulah ia (al-Qur’an) diturunkan”, kemudian Nabi memerintahkan ‘Umar untuk membaca surat itu, lantas ‘Umar membacanya dengan model bacaan yang dulunya pernah ia dengar dari Rasulullah, dari itu Rasulullah Saw. bersabda:
كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Begitulah (cara) al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah bagimu darinya.” (HR. Bukhari dari kitab Shahih al-Bukhari, juz 6, hal: 175)
Makna dari hadis ini masih menimbulkan multiinterpretasi, tepatnya pada lafadz سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.
Namun, dari semua kemungkinan itu dikatakan bahwa maknanya adalah tujuh macam model bacaan dari beberapa bahasa. Argumen yang digunakan adalah firman Allah dalam Qur’an surat Al-Hajj:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ …….
“Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, maka tetaplah ia dalam ketetapan itu…” (QS. Al-Hajj: 11)
Adapun yang dimaksud harf dalam ayat ini adalah tata cara dalam beribadah. (Syarah Shahih al-Bukhari li ibn Battal, juz 10, hal: 229-230)
Syarat qira’ah sab’ah bisa dijadikan hujah
Qiraah tujuh orang imam ini adalah qiraah yang telah memenuhi kriteria syarat-syarat qiraah shahih. Syarat tersebut antara lain Pertama, Muwafaqah bi al-‘arabiyyah (sesuai dengan bahasa arab); Kedua, Muwafaqah bi ah}ad rasm ‘usmani (sesuai dengan salah satu penulisan mushaf usmani); Ketiga, Shihhah al-sanad (bersandarkan sanad atau riwayat yang shahih/kuat). (Manna’ul Qatthan, hal: 238)
Mengenai qiraah syazz (menyimpang dari kaidah), bacaan ini diriwayatkan oleh perorangan dan tidak mencapai kualifikasi shahih. Bacaan ini masih diperselisihkan apakah masih termasuk al-Qur’an atau tidak.
Ada beberapa lafadz yang masih diperselisihkan apakah masuk kategori syazz atau tidak. Sebagian pendapat menganggap bahwa kehujahan qiraah syazz tidak bisa diterima karena qiraah syazz sejajar dan diperlakukan sama dengan hadis Ahad. Beda halnya pada qira’ah sab’ah yang keabsahannya memang dianggap benar, dan untuk qiraah yang syazz (selain qiraah imam yang sepuluh) oleh sebagian ulama diharamkan untuk dibaca. Sedangkan qiraah yang dipelopori oleh tujuh imam dianggap sebagai qiraah yang mutawatir. Tujuh orang imam tersebut adalah:
Pertama, Abdullah ibn Kasir al-Dari al-Makki(W. 120 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Kasir al-Dari al-Makki. Beliau adalah imam qiraah di Makkah, beliau juga merupakan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat Abdullah ibn Jubair, Abu Ayyub al-Ansari dan Anas ibn Malik.
Kedua, Abdullah al-Yahsibi al-Syammi (W. 118 H.)
Bernama lengkap Abdullah ibn Amir ibn Yazid al-Yahsibi al-Syammi. Beliau merupakan seorang hakim/qadi di damaskus pada masa pemerintahan Walid ibn Abd Malik. Beliau biasa dipanggil Abu ‘Imran. Beliau juga merupakan seorang tabi’in. perihal ilmu qiraah beliau belajar dari al-Mughirah ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari ‘Usman bin Affan
Ketiga, ‘Asim ibn Abi al-Najud (W. 128 H.)
Nama lengkapnya adalah ‘Asiim ibn Abi al-Najud al-Asadi al-Kufi. Disebut juga dengan ibn Bahdalah. Beliau juga merupakan salah satu tabi’in abad ke 2 H.
Keempat, Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ al-Basri (W. 154 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ ibn ‘Ammar ibn al-‘Uryan al-Basri. Beliau adalah seorang guru besar. Menurut Ibnu Khallikan, Abu ‘Amr adalah orang yang paling pandai di zamannya di bidang al-Qur’an, bahasa arab dan syair.
Kelima, Hamzah ibn Habib al-Zayyat al-Kufi (W. 156 H.)
Nama lengkapnya Hamzah ibn Habib ibn ‘Imarah ibn Isma’il al-Zayyat al-Kufi. Beliau juga termasuk kalangan tabiin. Gurunya adalah Sulaiman ibn Mihran al-A’masy. Apabila ia bertemu gurunya maka al-A’masy akan berkata “Ini adalah tinta al-Qur’an.” salah satu muridnya yang juga menjadi imam masyhur qiraah adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Kisa’i
Keenam, Nafi’ ibn ‘Abd al-Rahman ibn Abi Nu’aim al-Madani (W. 169 H.)
Nama lengkapnya adalah Nafi’ ibn ‘Abd al-Rahman ibn Abi Nu’aim al-Laisi al-Kinani al-Madani. Beliau adalah seorang imam qiraah di Madinah yang juga bergelar sebagai “Tinta al-Qur’an”. beliau lahir pada tahun 70 H pada masa pemerintahan khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Salah satu muridnya yang terkenal adalah imam Malik ibn Anas pendiri Madzhab al-Maliki.
Ketujuh, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah al-Kisa’i al-Kufi (W. 189 H.)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn Bahman ibn Fairuz al-Kisa’i al-Kufi. Beliau adalah guru besar dalam bidang ilmu Nahwu dan linguistik Arab di Kufah.