BincangMuslimah.Com – Perempuan berkendara seringkali menjadi polemik khususnya dalam diskursus keislaman. Di beberapa negara ada pandangan bahwa perempuan tidak boleh menyitir kendaraan sendiri. Lantas bolehkah perempuan membawa kendaraan sendiri?
Sebagaimana kita ketahui, Arab Saudi sebagai negara yang menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum positif mereka sempat memberlakukan larangan perempuan menyetir mobil sendiri, lebih-lebih menyetir sepeda motor.
Di Indonesia, meskipun tidak berlandaskan pada ketentuan hukum Islam, namun seringkali perempuan yang menyetir kendaraan, terlebih sepeda motor dianggap sebagai pengendara yang ceroboh dan kerap melanggar aturan berkendara.
Sampai-sampai hal ini menginspirasi para supir untuk membuat tulisan di belakang truk yang berbunyi: “Ya Allah, selamatkanlah kami dari ibu-ibu yang kasih sein kiri tapi belok kanan”.
Lantas bagaimana sebenarnya hukum Islam memandang fenomena perempuan yang membawa kendaraan sendiri? Dalam hal ini ada dua sudut pandang pembahasan yang mesti kita kaji. Pertama tentang perempuan yang membawa kendaraan (mengendarai / menyetir) dan perempuan yang bepergian sendiri.
Terkait perempuan yang membawa atau menyetir kendaraan sendiri, terdapat sebuah hadis yang mengindikasikan bahwa dulu di zaman Rasulullah, perempuan terbiasa atau diperbolehkan mengendarai unta:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ
Artinya: ”Sebaik-baik wanita yang menunggang onta adalah wanita Quraisy.” (HR. Bukhari 5365 & Muslim 2527).
Para ulama serta ahli sejarah mengungkapkan bahwa terbiasanya perempuan di zaman Rasulullah mengendarai unta pada saat itu ialah karena mereka menggunakan sekedup (semacam tenda di atas unta) sehingga tidak perlu mengangkangkan kaki saat menegndarainya. Berbeda halnya jika perempuan menaiki kuda yang disitu tidak menggunakan sekedup melainkan pelana.
Maka banyak ulama yang menyatakannya sebagai makruh. Namun demikian, kemakruhan tersebut jadi menghilang ketika terdapat tujuan-tujuan syar’i saat mengendarai kuda seperti untuk berperang, mencari nafkah atau lainnya. Dalam kitab al-Durr al-Mukhtar jilid V, h. 745 dinyatakan:
لا تركب مسلمة على سرج ، للحديث . هذا لو للتلهي . ولو لحاجة غزوٍ أو حج أو مقصد ديني أو دنيوي لا بد لها منه فلا بأس به
Artinya: “Seorang muslimah tidak boleh naik pelana kuda, berdasarkan hadis di atas. Ini jika untuk bermain. Namun jika karena kebutuhan perang atau haji atau kebutuhan agama atau dunia yang mengharuskannya naik kuda, hukumnya tidak masalah.”
Dengan demikian bisa kita pahami bahwa selama bepergiannya ialah untuk tujuan syar’i, maka diperbolehkan bagi perempuan untuk menyetir kendaraan.
Berikutnya, perempuan yang keluar sendiri tanpa adanya mahram, memang dinyatakan oleh beberapa hadis tidak diperbolehkan dengan alasan keamanan. Namun apabila dinyatakan bahwa kondisinya aman, maka boleh saja perempuan bepergian sendiri tanpa mahram.
Hal ini diperkuat dengan adanya hadis yang menceritakan percakapan Nabi dengan Sahabat Adiy bin Hatim. Nabi berkata pada Adiy bin Hatim, “Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al-Hirah?” Adiy bin Hatim menjawab, “Aku belum pernah melihatnya, namun aku pernah dengar beritanya,”.
Nabi menimpali, “Seandainya kamu diberi umur panjang. Kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.”
Dikisahkan bahwa pada akhirnya Adiy bin Hatim diberikan umur panjang hingga ia mengetahui ada perempuan yang berhaji sendirian dari Hirah ke Makkah yang jaraknya lebih dari 1.500 KM.
Demikian hukum terkait bolehkah perempuan membawa kendaraan sendiri. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.
*Artikel ini telah diterbitkan di Bincangsyariah.com
1 Comment