BincangMuslimah.Com – Setelah hampir seminggu berturut-turut media membicarakan tentang prosesi panjang perkawinan dua artis, ternyata tidak hanya berhenti pada pemberitaan perkawinannya saja. Namun berlanjut pada ungkapan kontroversial pengantin laki-laki pasca perkawinan. Atta Halilintar menyatakan bahwa istri yaitu Aurel Hermansyah harus menaati semua perkataan suami. Hal itu karena suara suami adalah perwakilan dari suara Tuhan, sehingga istri tidak boleh melawan, tunduk patuh pada suami tanpa negosiasi.
Pernyataan dari Atta Halilintar ini tentunya banyak menimbulkan perdebatan karena menegaskan otoritas laki-laki atas perempuan, dan ketertundukan makhluk pada makhluk lainnya. Terlebih ia adalah seorang youtuber yang memiliki jutaan subscriber. Pernyataan ini tentunya akan banyak diikuti oleh follower setia Atta dan Aurel.
Lantas bagaimana sebenarnya relasi antara suami dan istri dalam Islam?
Pernyataan Atta tersebut bisa dikaji dengan memahami konsep kedudukan akad perkawinan sebagaimana ditulis dalam kitab Manbaus Sa’adah karya Dr. Fakih Abdul Qadir yang dijelaskan oleh Nyai Hj. Awanillah Amva. Terdapat beberapa pendapat yang membahas mengenai kedudukan akad, antara lain akad sebagai hak kepemilikan baik kepemilikan barang maupun manfaat, dan pendapat kedua menyatakan bahwa akad adalah hak pemberian izin.
Pertama, akad sebagai hak kepemilikan barang. Jika dimaknai sebagai hak kepemilikian, maka sebagaimana kepemilikan dalam jual beli, maka barang tersebut boleh dijual kembali, diwariskan, dan dihibahkan. Jika merujuk pada makna tersebut, maka kedudukan istri pasca akad sama dengan sebuah barang yang melekat padanya hak-hak jual beli.
Kedua, akad sebagai hak kepemilikan manfaat. Berdasarkan makna ini, maka pasca akad seseorang memiliki hak untuk memakai barang tersebut untuk dirinya sendiri. Namun tidak melekat padanya hak-hak dalam jual beli. Sehingga setelah manfaatnya diambil, pemiliki tidak memiliki hak untuk menjaul, mewariskan, atau menghibahkan pada orang lain. Namun pemilik bebas memanfaatkan barangnya sepuas dan semau pemiliknya.
Ketiga, akad sebagai hak pemberian izin. Hak ini merupakan hak paling lemah dalam kepemilikan. Karena dalam hak pemberian izin ini seseorang hanya diizinkan untuk mengambil manfaat, namun barang tersebut tetap menjadi pemiliknya yang pertama. Karena hak pemberian izin, maka harus ada interaksi dan komunikasi sebelum pengambilan manfaat tersebut.
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat ketiga adalah pendapat mayoritas jumhur dan paling banyak dirujuk oleh para ulama dalam menggambarkan makna akad. Menurut Imam Syafi’i akad dalam perkawinan adalah sebagai pijakan untuk memunculkan kerjasama dalam rumah tangga.
Pendapat ini diperkuat oleh Imam Suyuti dalam kitab Isyarah wa Nadhair. Beliau mengibaratkan bahwa seseorang yang melakukan akad perkawinan sama dengan seorang tamu. Selayaknya tamu, ia diberi izin untuk menikmati sajian yang diberi oleh tuan rumah. Namun meskipun menyukai sajian tuan rumah, tamu tetap tidak memiliki hak milik dan tetap menjaga etika seperti tidak membawa pulang sajiannya atau memberikan sajian yang disuguhkan kepada pengemis yang kebetulan lewat.
Pendapat ini juga diperkuat dalam kitab I’anatu Tholibin yang menyatakan bahwa akad dalam perkawinan adalah akad pemberian izin untuk mengambil manfaat, bukan hak untuk memiliki apalagi menguasai. Akad artinya pemberian izin, maka seseorang pasca lafadz akan diberi izin untuk menikmati sesuatu yang sebelumnya haram menjadi halal. Baik pihak suami maupun istri memiliki izin untuk menikmati hubungan badan tanpa adanya eksploitasi, mendholimi, dan harus membuka komunikasi agar saling memahami batasan-batasan atas izin yang diperoleh keduanya.
Komunikasi ini perlu dilakukan karena segala yang menempel pada suami dan istri tetap menjadi kepemilikan mutlaknya sebagai manusia. Misal kepemilikan rahim, berapa anak yang akan dilahirkan, menggunakan alat kontrasepsi atau tidak, ritme hubungan badan dan lain sebagainya harus benar-benar dikomunikasikan. Akad bukanlah argumentasi pembenaran akan dominasi suami atas istri.
Maka mahar sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi saat akad juga bukan merupakan alat tukar. Mahar adalah shodaqoh dan pemberian secara suka rela dari seorang suami kepada istri. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim sebagai berikut:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ
Artinya: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) yang penting kedua pasangan saling ridha. Cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah, maka makar tidak bisa dijadikan pembenaran untuk menjadi alat tukar.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka pernyataan Atta Halilitar yang menyatakan bahwa tunduknya seorang istri pada suami adalah sebuah kemutlakan tidaklah tepat. Karena relasi suami istri adalah relasi kesalingan yang tidak berarti membolehkan ketundukan satu makluk pada makhluk lainnya. Relasi yang dibangun suami istri adalah untuk membangun hubungan yang baik, yang bertujuan untuk mengabdikan dirinya pada Allah.
Akad yang Atta ucapkan saat menikahi Aurel bukanlah akad kepemilikan mutlak. Apa yang melekat pada Aurel tetap menjadi miliknya. Hak yang dimiliki Atta atas Aurel adalah izin untuk saling menikmati sesuatu yang sebelumnya haram menjadi halal. Karena berdasarkan izin, maka pemanfaatan atas tubuh yang halal tersebut harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan pemiliknya.
Pun mahar yang diberika Atta juga bukan menjadi alat tukar untuk diri Aurel, namun sebuah pemberian yang diberikan secara sukarela sebagai bukti bahwa izin tersebut telah diberikan kedua belah pihak.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa baik lelaki maupun perempuan keduanya memiliki kedudukan yang sama di depan Allah. Satu-satunya standar yang membedakan kedudukan antara satu dengan yang lainnya hanyalah ketaqwaannya. Bukan karena jenis kelaminnya atau karena kedudukannya sebagai suami maupun istri. Oleh karena, kita tidak menyimpulkan bahwa suara suami adalah suara Tuhan.