Bincangmuslimah.com – Wudhu adalah salah satu syarat sah melaksanakan shalat. Selain shalat, beberapa ibadah lain juga mensyaratkan wudhu, seperti thawaf, menyentuh Alquran, dan membawa Alquran. Tapi seringkali terjadi kasus berwudhu yang dijeda, tidak terus-menerus. Misal, seseorang yang sedang berwudhu di kamar mandi lantai dua, tiba-tiba kerannya mati. Kemudian ia terpaksa menghentikan wudhunya dan berpindah ke kamar mandi di lantai satu dan melanjutkan wudhunya yang sempat terhenti. Melihat kejadian ini, sahkah wudhu yang dijeda? Perlukah orang tersebut mengulangnya dari awal?
Dalam Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, ulama fikih, hadis, sejarah dan filsafat kelahiran Cordoba yang hidup di masa Kesultanan Murabithun menyebutkan beberapa kewajiban dalam wudhu. Kitabnya ini menjadi salah satu kitab rujukan muslim dalam fikih perbandingan. Metode penjelasannya dengan menyusunnya secara tematik, seperti di kitab fikih pada umumnya. Lalu beliau menyuguhkan pandangan ulama setiap dan mazhab dan dalil pijakannya dari Alquran dan hadis. Secara ringkas berikut beberapa kewajiban dalam wudhu:
- Membasuh wajah. Meski beberapa ulama mazhab memiliki perbedaan mengenai batasan ‘wajah’. Terutama mengenai jenggot atau rambut yang tumbuh sepanjang dagu hingga telinga.
- Membasuh kedua tangan hingga siku. Batasan ini telah disepakati oleh ulama mayoritas terutama dari kalangan empat mazhab.
- Mengusap kepala. Masing-masing ulama mazhab berbeda mengenai standar kepala yang harus diusap. Imam Malik mewajibkan untuk mengusap seluruh bagian kepala. Imam Syafii dan sebagian murid Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan mengusap sebagian saja. beberapa murid Imam Malik lainnya membatasi sepertiga bagian kepala. Sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan seperempat kepala. Sedangkan ulama Mazhab Syafii tidak membatasi bagian kepala yang mesti diusap.
- Membasuh kaki hingga telapak kaki.
- Beberapa ulama ternyata berbeda pendapat mengenai tertib. Ulama-ulama kontemporer dari kalangan Mazhab Maliki dan Abu Hanifah, Imam at-Tsauri, juga Imam Daud berpendapat bahwa tertib dihukumi sunnah. Sedangan Imam Syafii, Ahmad bin Hanbal, Abu Abid mewajibkan tertib.
Kita bisa lihat, bahwa kewajiban dalam wudhu adalah tertib, bukan terus-menerus atau dalam bahasa Arabnya berarti Muwaalah. Terlepas dari perbedaan ulama mengenai ini, telah jelas bahwa terus-menerus tidaklah wajib. Begitu juga yang diterangkan Syekh Wahbah Zuhaili dalam Mausu’atu al-Fiqh al-Islamiyah wa al-Qodhoya al-Mu’ashiroh mengenai kesunnahan wudhu. salah satunya adalah Muwaalah. Bahkan Syekh Wahbah menyebutkan tertib masuk dalam kesunnahan wudhu seperti pendapat Mazhab Maliki dan Imam Abu Hanifah.
Sehingga, kasus seseorang dengan wudhu yang dijeda, dan bahkan sudah mengering tetaplah sah selama tidak melakukan perbuatan yang membatalkan wudhu sepanjang jeda tersebut. Wallahu A’lam Bisshowab.