Ikuti Kami

Diari

Mengurai Kekhawatiran Menikah Perempuan Milenial

Hukum Nikah Beda Agama
gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Pernikahan. Satu kata yang mampu menimbulkan berbagai gejolak emosi, mulai dari bahagia, terharu, sedih, marah, jengkel hingga putus asa. Lah kok bisa? Tentu bisa, itu semua tergantung dari pribadi yang melakukannya, dilatarbelakangi oleh pengalaman dari masa lalu maka akan terbentuk emosi tersendiri ketika menyambut pernikahan. Pada umumnya pernikahan adalah hal sakral yang sangat membahagiakan, tapi ada beberapa orang yang memiliki kekhawatiran menikah meskipun pada akhirnya ia tetap menjalaninya, kenapa seperti itu?

Sikap khawatir menikah bisa saja muncul padamu, jika kamu mempunyai keterkaitan masa lalu dengan apa yang kamu khawatirkan. Azwar  seorang psikolog dalam bukunya Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya menyatakan dalam teorinya jika salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang adalah pengalaman pribadi, kejadian yang terjadi terus menerus akan diserap secara bertahap oleh individu tersebut, sehingga terbentuklah sikap.

Selain pengalaman pribadi, ada juga dari pengaruh orang lain, kebudayaan, media massa, hingga lembaga pendidikan tempat individu tersebut berproses. Tulisan ini akan fokus untuk mengurai bagaimana pengalaman masa lalu bisa menimbulkan kehkhawatiran menikah, kesiapan pernikahan sangat dipengaruhi oleh pengalaman, baik dalam keluarga, pengalaman bersama pasangan atau dari lingkungan sekitar. Saya akan mencoba untuk menceritakan satu persatu.

1. Pengalaman dalam Keluarga

Keluarga adalah contoh paling dekat yang biasa kita saksikan sehari-hari, dari kecil melihat bagaimana relasi ayah dan ibu dalam mengelola rumah maka hal itulah yang kita anggap sebagai relasi ‘wajar’. Tapi apa jadinya kalau lahir di keluarga yang tidak demokratis? Yaa bisa disebut juga patriarkis, kita tidak akan bisa memilih ingin lahir di keluarga mana ya kan? Keluarga patriarkis disebabkan pengetahuan orangtua dahulu yang menganggap bahwa laki-laki pemimpin mutlak dan perempuan tidak mempunyai kuasa sama sekali, tidak ada relasi seimbang dan tidak ada kesalingan, bukan salah orangtua kamu, kamu tidak bisa pula menyalahkan keadaan, karena semua terjadi karena kehendak Allah SWT.

Baca Juga:  Bukan Cengeng: Menangis adalah Hak Setiap Orang Tidak Hanya Perempuan

Jadi begini kita-kira kekhawatiran pernikahan pada perempuan yang lahir dalam keluarga ini, khawatir jika setelah menikah tidak bisa melakukan hobi dan minatnya, khawatir tidak bisa melakukan kegiatan sosial lagi, khawatir tidak mempunyai keputusan untuk dirinya sendiri lagi. Kenapa kekhawtiran ini bisa tumbuh? Karena pengalaman dalam keluarga, dia tidak bisa memutuskan tentang kehidupannya sendiri, keputusan ada pada orangtua, akses sosial dibatasi.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kekhawtiran itu? Berbicaralah pada pasangan, apalagi kalau kamu akan menikah, maka keterbukaan itu sangat penting, ceritakan pengalaman dan kekhawatiranmu atas pernikahan yang akan kalian jalani, jangan lupa diskusilah bagaimana keluarga kalian nanti. Mungkin kekhawatiranmu akan sedikit reda setelah menceritakan semuanya, tapi masih ada yang mengganjal? Semoga hal itu akan hilang seiring berjalannya waktu, hati kamu masih ada yang mengganjal bisa jadi karena pengalaman masa lalu bertahun-tahun seperti itu dan kamu akan mencoba untuk membangun rumah tangga dengan yang lebih baik versi kamu, hal itu wajar karena ada kekhawatiran ‘gagal’, terus bangun pola komunikasi dengan pasangan, terapkan prinsip kesalingan (mubaadalah) dalam rumah tangga.

2. Pengalaman dengan pasangan sebelumnya

Jika sebelumnya kamu mempunyai pasangan dan gagal untuk sampai tahap pernikahan, pasti hal tersebut menyisakan trauma, beberapa orang akan lebih selektif untuk memilih pasangan karena khawatir akan terulang kembali. Seperti kasus diatas, kamu pasti mempunyai kekhawatiran akan kegagalan lagi, tidak apa jika kamu lebih selektif, hal itu baik karena menjadi lebih berhati-hati. Yang patut untuk diwaspadai adalah karena kita lelah hati untuk berkenalan  dengan orang baru, akhirnya kita langsung menerima lamaran begitu ada yang mendekati sebelum tahu bagaimana kepribadian orang tersebut.

Baca Juga:  Melaksanakan Pernikahan di Bulan Shafar, Benarkah Tidak Boleh?

Lagi-lagi untuk mencari pasangan memang perlu keterbukaan, ceritakanlah masa lalumu terhadap calon pasangan, jika mereka menerima itu maka menjadi sinyal baik bahwa hubunganmu bisa diteruskan lebih lanjut, tapi jika calon pasanganmu tidak menerima masa lalumu, hmm sepertinya cukup.

3. Pengalaman dari lingkungan sekitar

Pengalaman ini kamu dapat dengan melihat pengalaman orang-orang disekitarmu, atau kamu adalah aktivis kasus kekerasan seksual, maka akan sering menjumpai hal ini, misal ada perceraian yang berkahir dengan rentetan konflik, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, hingga pelecehan seksual yang menyebabkan trauma.

Secara tidak langsung kamu akan merasa jengkel dan khawatir akan mengalami hal tersebut, ketika kamu sudah mempunyai pasangan dan akan melanjutkan pada jenjang yang lebih serius, maka kekahawatiran yang timbul dari pengalaman orang dekatmu akan muncul.

Bicarakan dan terbukalah dengan pasangan, jangan takut untuk ungkap kekhawatiranmu, tentunya kamu akan sangat selektif memilih calon pasangan jika pengalaman traumatis itu ada dibenakmu.

Setiap relasi apapun membutuhkan prinsip kesalingan (mubaadalah) begitupun dalam memilih pasangan, untuk menghilangkan kekhawatiran menikah pun kamu harus menggunakan prinsip ini. Apasih prinsip mubaadalah (kesalingan) itu? Kata mubaadalah sendiri berati kesalingan dan kerjasama antar dua pihak. Seperti penjelasan Kyai Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qiraah Mubaadalah, jika diakitkan dengan kasus ini bisa dijelaskan bahwa mubaadalah ada kesalingan antara laki-laki dan perempuan untuk bekerja sama, saling tolong menolong, saling menopang, tidak boleh ada kedzaliman, hegemoni dan dominasi terhadap satu dengan yang lain untuk menciptakan keseimbangan bumi dan seisinya.

Rekomendasi

suami suara tuhan suami suara tuhan

Pengertian Keluarga Sakinah dan Makna Perkawinan dalam Islam

Uang Panai, Wajibkah?

Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan

Haruskah Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan Jika Pernikahan Batal?

Wali di luar nikah Wali di luar nikah

Siapakah Wali dari Anak di Luar Nikah? 

Ditulis oleh

Penulis buku "Melacak Jejak Keadilan Perempuan", aktif di komunitas Perempuan Bergerak, Alumni pascasarjana UIN Malang dan anggota dari Womens Writer Asian Muslim Action Network Chapter Malang

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Berbuat Baik terhadap Non-Muslim dalam Prinsip al-Quran

Muslimah Daily

Istri Menafkahi Suami, Dapatkah Pahala?

Muslimah Daily

Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku??

Kajian

Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi? Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi?

Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi?

Keluarga

Cara Mengatasi Orang yang Nyinyir Menurut Imam Syafi’i

Muslimah Daily

Menilik Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilu

Kajian

Na’ilah Hasyim Sabri, Mufassir Perempuan Asal Palestina

Muslimah Talk

Pernikahan Mencegah Zina Pernikahan Mencegah Zina

Quraish Shihab: Pernikahan Anak Usia Dini Bukan Cara Bijak Mencegah Zina

Khazanah

Trending

Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku??

Kajian

Baayun Maulud, Budaya Masyarakat Banjar saat Memperingati Hari Kelahiran Nabi

Kajian

Murtadha Muthahhari: Perempuan Butuh Kesetaraan, Bukan Keseragaman

Kajian

Khalil Gibran dan Cintanya yang Abadi

Diari

pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar   pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar  

Perempuan dalam Perspektif Filsafat Islam

Kajian

suami suara tuhan suami suara tuhan

Pengertian Keluarga Sakinah dan Makna Perkawinan dalam Islam

Keluarga

Cara Mengatasi Orang yang Nyinyir Menurut Imam Syafi’i

Muslimah Daily

Istri Menafkahi Suami, Dapatkah Pahala?

Muslimah Daily

Connect