BincangMuslimah.Com – Salah satu kutipan Sujiwo Tejo yang berlalu lalang di twitter atau media sosial lainnya adalah “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa saja, tapi tak dapat merencanakan cintamu untuk siapa”. Begitulah quote andalan anak jaman sekarang jika nyatanya tak dapat melangsungkan pernikahan dengan orang yang dicintainya.
Apakah yang menikah dengan orang yang tak saling mencintai adalah nasib terburuk dalam hidup seorang? Ini sebuah pertanyaan yang bisa dijawab dengan kisah Imam Hasan Al Bashry dalam kitab Nuzhatun-Nazhirin:
قال رجل للحسن: قد خطب إبنتي جماعة فممن أزواجها قال ممن يتقي الله فإنه إن أحبها اكرمها وإن ابعصها لم يظلمها وقال عليه الصلاة والسلام من زوج كريمته من فاسق فقد قطع رحمها
Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al-Bashry, “Puteriku dilamar oleh beberapa orang. Kunikahkan dengan yangg mana?” Jawabanya, “dengan yang takwa kepada Allah. Kalau ia mencintai puterimu, dimuliakannya. Seandainya (nanti) ia membencinya, ia tak menzaliminya (karena ia takut kepada Allah).
Fenomena menikah dengan orang yang sebelumnya tiada cinta bukanlah akhir dari segalanya, jika seseorang tersebut adalah orang yang berada dalam koridor ketaatan yang istiqamah. Mengapa demikian? Sebab ia mengerti mana yang beberapa hal yang disukai Allah dan mana hal yang dilarang oleh Allah. Alhasil, menikah dengan orang takwa, meski awalnya tak saling mencintai, bisa merajut keindahan dan kenyamanan dalam rumah tangga.
Dalam keterangan di atas juga disebutkan bahwa sosok orang takwa itu tak akan melakukan kezaliman, meskipun (seandainya) ia belum juga ada cinta. Ia mengerti bahwa Allah mengharamkan kezaliman atas hambanya. Bahkan ketika ia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukan perbuatan yang tak baik itu, ia memilih untuk tidak melakukannya. Sebagaimana pedomannya dalam QS Al Mukmin ayat 31:
وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ
“Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.”
Seperti itulah keindahan menikah dengan orang yang takwa, meski tak saling cinta. Mungkin awalnya saja belum tumbuh cinta. Namun tak menutup kemungkinan jika suatu saat akan berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana tidak, hari-harinya terpenuhi dengan bentuk saling memuliakan dan tak ada perbuatan yang tak menyenangkan di dalamnya.
Atau mungkinkah menikah dengan orang yang takwa adalah pilihan yang tepat untuk kehidupan ke depannya? Sebab yang saling cinta juga ada yang berujung kehancuran, sebab tak berlandaskan takwa kepada-Nya. Boleh saja menentukan pilihan dari sekarang, meski menurut Sujiwo Tejo menikah itu nasib. Menentukan nasib juga adalah salah satu ikhtiar manusia untuk hidup yang lebih baik.