BincangMuslimah.Com – Kita mungkin tidak asing dengan narasi sejarah yang menyatakan, bahwa pemberantasan orang murtad merupakan salah satu pencapaian terbesar Khalifah Abu Bakar al-Siddiq sepeninggal Rasulullah saw. Di masa itu, banyak sekali praktik pembangkangan kaum muslim terhadap pemerintahan Abu Bakar yang berujung pada kemurtadan. Dari narasi tersebut, banyak muslim memahami bahwa boleh hukumnya membunuh orang murtad.
Lantas, jika benar pembunuhan terhadap orang murtad dilegalkan oleh Islam, maka bagaimana dengan teks-teks yang mengatakan bahwa Islam menjunjung tinggi kebebasan beragama setiap orang?
Untuk menjawab hal ini, kita perlu menengok bagaimana Rasulullah saw. menyikapi orang munafik dan orang murtad di masanya.
Di suatu kesempatan, Rasulullah saw. didatangi oleh seseorang yang dengan terang-terangan ingin keluar dari Islam. Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana berikut:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, ada seorang Arab nomadik (primitif) berbaiat kepada Rasulullah saw. untuk Islam.
Kemudian ia terkena demam, sehingga ia berujar: “lepaskanlah baiatku” Namun beliau enggan. Si Arab Badui datang kepada beliau lagi dan mengatakan; ‘lepaskanlah baiatku! ‘ Namun Nabi enggan, sehingga Arab Badui tadi keluar.
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kota Madinah ini bagaikan mesin pemanggang besi yang menghilangkan kotorannya dan menyaring yang baik.”
Rasulullah saw. tidak menggubris perkataan orang Arab tersebut.
Dalam hadis lain riwayat Bukhari Muslim, diceritakan Ubah bin Ka’ab telah berkali-kali mengkhianati Rasulullah saw. dan umat muslim. Dalam pembahasan akidah, berkhianat kepada Rasulullah saw. merupakan bentuk perilaku murtad. Sebab dia dengan sengaja menyakiti dan mengingkari sifat amanah seorang rasul.
Sampai suatu ketika, Umar bin Khattab meminta kepada Rasulullah saw, “Izinkanlah aku menebas leher orang munafik ini (Ubay bin Ka’ab)”. Rasulullah saw. justru menjawab,
دَعْهُ لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ
Artinya: “Biarkanlah ia, agar orang-orang tidak berkomentar bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
Lantas mengapa Rasulullah saw. membiarkan hal tersebut dan tidak membunuh mereka yang sudah jelas secara syariat telah keluar dari Islam?
Jawaban Rasulullah saw. terhadap permintaan Umar bin Khattab untuk membunuh Ubay bin Ka’ab, mengisyaratkan adanya maslahat besar untuk tidak membunuh para murtad. Andaikan saja Rasulullah saw. menghalalkan darah Ubay bin Ka’ab, bukankah orang-orang akan lari dan takut dengan beliau? Bukan hanya orang-orang di masanya, generasi selanjutnya bukankah akan mengingat Rasulullah sebagai orang yang bengis? Lalu bagaimana dengan wajah Islam yang seyogyanya penuh kasih?
Syekh Mahmoud Syaltut salah seorang Imam Besar Al-Azhar terdahulu, dalam karyanya, al-Islam Aqidah wa Syari’ah, menegaskan bahwa keluar dari Islam bukanlah perkara yang menjadikan seseorang halal untuk dibunuh.
Lebih tepatnya, jika orang murtad tersebut menyerang dan memerangi kaum muslim, serta mencoba memecah belah kaum muslim dengan tuduhan-tuduhan tentang Islam yang tidak sesuai, maka darahnya menjadi halal untuk dibunuh. Sebab Alquran secara tereng-terangan menyatakan “Laa ikraah fi al-diin”, tidak ada paksaan dalam beragama.
Oleh karenanya, sejarah Islam yang mencatat adanya pemberantasan orang murtad bukan semata-mata karena keyakinan mereka yang berubah. Tapi, sebab mereka murtad sekaligus melakukan upaya-upaya untuk menyesatkan dan memecah belah kaum muslim.
Maka perlu digarisbawahi, bahwa persoalan “hukum membunuh orang murtad” tidak relevan dengan realita saat kita hidup berdampingan dengan nonmuslim. Tidak boleh hukumnya membunuh orang murtad atau keluar dari Islam. Sebab dalam pembahasan syariat pun, ia bukanlah suatu hukuman yang bersinggungan dengan perkara kebebasan berpikir dan berkeyakinan, melainkan ia menjadi urusan undang-undang pemerintahan.