BincangMuslimah.Com – Mufti adalah orang yang memiliki tanggung jawab dan wewenang kepada masyarakatnya untuk mengarahkan dan mengenalkan syariat Islam dengan fatwa yang dihasilkan. Fatwa itu sendiri merupakan bentuk arahan baik secara perorangan atau kolektif yang menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti), demikian berdasarkan penjelasan Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Fiqh Prioritas.
Dalam Islam, syarat-syarat seseorang bisa dimintai fatwa (mufti) tidak bisa diemban oleh sembarang orang dan sangat perlu untuk diperhatikan. Sebagaimana pendapat Jalaluddin al-Mahalli bahwa seorang mufti hendaknya menguasai pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqh, memahami ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan hukum seperti Nahwu, ilmu bahasa, ilmu Musthalah al-Hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits hukum.
Namun kontroversi perihal keterlibatan perempuan dalam ranah publik apalagi untuk menjadi seorang mufti sangat ketat batasannya terutama pada beberapa negara seperti Arab. Sebagaimana halnya keputusan Arab Saudi pada 2017 lalu (dilansir dari Nuonline) yang telah mengumumkan secara perdana bahwa mereka mengizinkan dan mendukung kontribusi perempuan untuk mengeluarkan fatwa.
Padahal, belum ada pula deretan ulama yang secara gamblang menyebutkan terkait syarat menjadi seorang mufti adalah haruslah laki-laki. Dalam bukunya Ushul Fiqh, Nasrun Haroen menjelaskan bahwa Imam an-Nawawi menyebutkan syarat menjadi mufti adalah orang yang wara’, tsiqah (terpercaya), terhindar dari fasiq, tajam fikiran, sehat rohani begitu pula jasmani.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, penentuan orang-orang yang boleh berfatwa sangatlah selektif. Ada lebih dari 130 sahabat yang berfatwa, namun hanya beberapa sahabat yang fatwanya paling banyak, salah satunya adalah Ummul Mukminin Aisyah r.a yang juga merupakan sahabat perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis. Para sahabat Nabi lainnya pun banyak yang merujuk dan bertanya perihal agama kepada Aisyah r.a semenjak wafatnya Nabi Muhammad saw., terutama perihal perempuan dan juga rumah tangga.
Selain itu, tak sedikit pula perempuan terdahulu yang mahir dan alim sehingga menjadi mufti dan pengajar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya riwayat figur ulama besar laki-laki yang setelah ditelusuri berguru pada perempuan ulama.
Dikutip dari buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, As-Sakhawi mencatat bahwa pada kamus-kamus biografi terdapat 1.075 perempuan ulama dan ahli fikih terkemuka, 405 diantaranya adalah ulama hadis atau ahli fikih. Banyak sekali deretan perempuan ulama yang cemerlang pada masa dahulu. Seperti salah satunya Sayyidah Nafisah (cicit dari nabi Muhammad saw.) yang sudah lazim di telinga kita bahwa beliau merupakan Waliyullah perempuan dan guru dari Imam Syafi’i juga Imam Ahmad bin Hanbal.
أكثر العلماء جلوسا عليها وأخذ عنها في وقت الذي بلغ فيه من الإمامة في الفقه مكانا عظيما
“Ia (Imam Syafi’i) adalah orang yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, Justru pada puncak karirnya sebagai ahli hukum terkemuka dan memiliki kedudukan terhormat”.
Bahkan Ibnu Arabi (As-Syekh Al-Akbar) juga berguru pada tiga perempuan ulama, ketiganya yakni Fakhr an-Nisa, Qurrah al-‘Ain, dan Sayyidah Nizham.
Islam sendiri tidak pernah mengkotak-kotakkan bahkan meninggikan salah satu antara perempuan dan laki-laki. Hanya saja memang ketentuan syariat kepada perempuan lebih detail dibandingkan laki-laki. Sebagaimana kewajiban menuntut ilmu yang disyariatkan untuk seluruh umat muslim baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada larangan atau pembatasan bagi seorang perempuan untuk belajar dan mengajarkan, bahkan berkiprah di bidang apapun yang bermanfaat baginya dan sekitar.
Urgensi adanya mufti perempuan dianggap perlu karena perempuan yang memiliki kapasitas tersebut bisa memahami problematika dalam hal Ahwal Syakhsiyyah (Hukum Keluarga) terlebih problematika bagi para perempuan itu sendiri yang belum bisa dijangkau oleh mufti laki-laki (dikutip dari Jurnal Ilmiah Indonesia, Tesis: Kedudukan Mufti Bagi Perempuan Menurut Fikih Islam dan Prakteknya Di Indonesia).
Hal ini juga berpengaruh pada peran agama dalam merespon berbagai keresahan masyarakat yang muncul serta mampu menstabilisasi peradaban. Adapun kebolehan perempuan menjadi seorang mufti pastilah harus menempuh beberapa syarat dan level keilmuan yang dipenuhinya seperti yang disebutkan di atas atau sesuai dengan ketentuan dari lembaga keislaman dari masing-masing wilayah perempuan tersebut.