BincangMuslimah.com- Siapa yang tak kenal Khalil Gibran? Pasti anda tahu pengarang dan penyair sepanjang abad ini. Disinyalir, latar belakang sejumlah karya Khalil Gibran yakni kisah cintanya yang abadi. Menurut sebagian kisah, Gibran jatuh cinta pertama kali kepada Hala Dahir. Namun, hubungannya tak direstui oleh kedua orang tua Hala.
Gibran dan Cinta Sejati
Kisah cinta sejati Gibran jatuh kepada seorang wanita bernama Mary Haskell. Ia juga jatuh hati kepada Gibran sehingga tumbuh benih-benih cinta di hati kedua insan ini. Dengan pertemuan ini menghasilkan jalinan persahabatan sejati, sehidup semati yang didasari oleh cinta platonik, yang lepas dari nafsu birahi. Mary Haskell menjadi seorang penyemangat Gibran, sekaligus pengoreksi karya-karyanya yang berbahasa Inggris. Namun, cinta Gibran tak mau terikat tali perkawinan, sehingga Mary Haskell pun menerima pinangan lelaki lain.
Oleh karena itu, Gibran sampai akhir hayatnya tak pernah menikah. Meskipun tidak sampai menikah, tapi cinta mereka mendalam sekali. Hubungan cinta mereka melekat ibarat sejiwa yang tak terpisahkan.
Gibran, dalam suratnya menulis, “Aku senantiasa mencintaimu sepanjang abad. Sungguh, aku terlalu mencintaimu sejak aku belum mengenalmu. Dan tak seorang pun yang mampu memisahkan kita. Engkau pun tak mampu mengubah hubungan kita, juga aku, di dunia ini engkau adalah wanita yang paling agung bagiku.” (Sumber: Anton WP dan Yudhi Herwibowo, 10 Kisah Hidup Penulis Dunia, Katta Solo, 2005)
Sublimasi dari Perjalanan Cinta
Itulah bentuk cinta Gibran kepada Mary. Sampai akhir hayatnya, Gibran tetap mencintai Mary. Tubuhnya memang telah tiada, tetapi ia abadi dengan bangunan cinta yang tercipta, bisa terlihat dari karya-karyanya yang menyihir peminat sastra. Khalil Gibran menyalurkan dorongan-dorongan seksual menjadi sebentuk karya tulis legendaris. Ini yang secara teoritis Sigmund Freud menyebutnya dengan upaya “sublimasi”.
Apa itu sublimasi? Ya, sederhananya adalah penyaluran hasrat cinta dengan cara mengalihkannya kepada objek lain.
Khalil Gibran, telah berhasil menciptakan karya yang sampai saat ini terkenal dan umat manusia seluruh dunia mengenalnya. Karya beliau, baik roman, puisi, atau cerita-cerita naratif yang magis adalah luapan “seksual” yang tersalurkan secara benar.
Cinta dalam bentuk ini telah melahirkan karya yang tak terkira. Ya, cinta yang bergerak ke luar dirinya. Model cinta seperti ini juga muncul dari kesadaran sebagai puncak evolusi manusia. Cinta merupakan kunci untuk mengarahkan diri melakukan evolusi yang sulit, ke arah “makin mantapnya kepribadian yang dimiliki.” Untuk kasus Gibran, ia “terlempar keluar dari cinta diri dan mulai mengeluarkannya untuk orang lain” lewat penciptaan karya sastra.
Banyak sekali hikmah dari kisah cinta Khalil Gibran. Tapi, pecinta sejati harus mengingat satu inti. Betapa tidak, sebuah hubungan cinta tidak seluruhnya akan mewujudkan cita-cita untuk menyatukan raga dan jiwa.
Dalam perspektif ajaran islam, kecintaan terhadap sesuatu tak selayanya membuat manusia terus berada pada kondisi malas. Apalagi ketika kegagalan menerpa kisah cintanya. Tak semestinya terus bergiling-gisik dengan tangisan kekecewaan yang mematikan kreativitas.
Dengan kekuatan cinta yang abadi, Gibran berhasil membuat tembok pertahanan di dalam jiwanya ketika hubungan dengan seorang wanita mengalami kegagalan. Tembok itu adalah kecintaannya pada seni lukis dan sastra Arab. Maka, secara cermat Gibran menjadi seorang manusia yang menyadari bahwa ia terdiri dari dua bagian. Meminjam pendapat Plato, secara alami manusia terdiri dari dua bagian: jiwa dan raga.
Hakikat Cinta
Masing-masing bagian itu memiliki kebutuhan, sifat, dan keinginan yang berbeda, saling berlawanan dan tarik-menarik. Baik jiwa maupun raga mempunyai satu energi ialah cinta, tapi orentasi beragam dengan ekspresi yang berbeda pula. Raga atau tubuh meluapkan cintanya dalam bentuk hasrat seksualitas.
Sedangkan jiwa mengejewantahkan cintanya dalam bentuk keinginan mengabadikan rasa cinta. Itulah yang telah Gibran praktikkan ketika berpisah dengan pujaan hati. Ia meyakini bahwa meskipun cintanya tak menyatukan raganya dengan Mary Haskell, toh masih bisa bersatu secara batin.
Kata Plato, itulah cinta yang membawa kedamaian dan keselarasan (harmony), juga cinta sejati yang bersifat tetap, universal, dan dapat mengantarkan manusia pada “keabadian” (Sumber: Umar Fayumi, Menabur Cinta Menghalau Duka, 2008)
Lantas, apakah kita bisa sebagai seorang manusia modern harus terjebak pada cinta berbalut ragawi? Cinta yang hanya mengangungkan nafsu hewani? Kalau kita mengaku umat muslim yang menganut kesejatian dan keadilan cinta ilahi, sudah sepatutnya mengambil hikmah dari kisah Gibran.
Kalau Gibran bisa mengalahkan cinta berbalut dorongan-dorongan ragawi, mengapa kita tidak bisa? Ah, saya yakin anda semua bisa melakukannya. Asalkan, menancapkan di benak dan menghujankan di kedalaman hati sanubari bahwa cinta itu mesti menuju kepada sesuatu yang bersifat batin. Setelah itu, insya Allah arah cintamu akan terus tertuju ke hadapan Allah swt., yang mencintai hamba-Nya yang menjadi sang pecinta sejati.
Seorang hamba kekasih-Nya yang menjadikan cinta dan kegagalan sebagai motivator pengembangan hidup ke arah yang lebih berarti. Cinta dalam pandangannya akan mewujud menjadi kisah cinta yang luhur (the sublime love) di dalam kehidupan yang penuh berjuta keindahan berinteraksi.
“Tuhan memiliki serratus rahmah (cinta dan kasih sayang). Satu di antaranya diturunkan ke dunia ini. Dengan satu rahmah itulah umat manusia (secara fitrah) saling berbagi cinta dan kasih sayang.” (HR. Ahmad)