BincangMuslimah.com- Cinta, kata Sebagian filosof dibagi menjadi dua. Ada yang masuk kepada golongan eros, ada juga yang masuk kedalam golongan agape. Nah, kalau kedua bentuk cinta ini kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, akan memengaruhi etos atau kebiasaan kita.
Eros, artinya adalah cinta yang hanya berdasarkan pada kecantikaan dan kesempurnaan tubuh. Ketika cinta terlepas dari lingkaran nilai-nilai spiritualitas, tentunya ia hanya melemparkan rasa cinta kepada orang lain karena faktor cangkang luar. Sederhananya makna spiritualitas saya artikan sebagai kekuatan ruh, semangat kemanusiaan, dan wujud dari kedamaian ajaran Islam.
Cinta berbalut spiritualitas adalah aktualisasi dari cinta yang selamanya dapat dikenang karena wujud dari Mahakasih dan Maha Penyanyang-Nya Allah Swt., atas kehidupan umat manusia. Cinta karena faktor cangkang luar, sederhananya, tidak melihat inner beauty, kecantikan yang di idam-idamkan para penganut cinta platonik.
Cinta platonik, istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah relasi manusia, di mana unsur-unsur rasa ketertarikan yang lebih idealis. Istilah ini diambil dari salah satu filsuf Yunani Kuno, Plato, terutama dari karyanya Symposium, dimana tertulis bahwa cinta akan ide dan kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Istilah amor platonicus, sudah dipakai sejak awal abad ke-15 oleh Marsilio Ficino, sebagai sinonim dari kata “amor socraticus” yang merujuk pada rasa berhubungan antara Sokrates dan murid-muridnya. (Plato, Symposium “Hakikat Eros Cinta dan Manusia”,Yogyakarta: Penerbit Basa Basi, 2017)
Eros secara istilah adalah suatu dorongan untuk mencintai seseorang hanya berdasarkan pamrih. Ketika seseorang menjalin persahabatan, umpamanya, itu didasari dengan prinsip untung rugi. Ketika memberi sesuatu pun, ia mengharap pengembalian yang lebih. Bahkan sedekah kepada orang yang membutuhkan juga dilandasi pemikiran matematis logis. Kalau akan mendapatkan keuntungan, mereka pun sedia melakukannya. Model cinta seperti ini saya kategorikan dengan “cinta berpamrih”.
Padahal, ada yang lebih tinggi dari hal-hal yang material. Ya, apa yang disebut dengan kekuatan ruhaniah. Ketika orang yang mengangungkan cinta sebagai wujud kebaikan Tuhan yang mencintai hamba-Nya tanpa pamrih, ia akan mempraktikkan cinta yang disampaikan oleh para filosof dengan agape. Pada cinta agape, cinta itu mewujud dalam bentuk yang tulus, ikhlas dan suci, bahkan spiritualistis. Sangat memotivasi, bahkan mampu merevolusi tutur kata, sikap dan tindak seorang anak manusia.
Cinta dalam hidup ibarat “gardu” listrik yang bisa menampung daya gerak luar biasa bagi tubuh dan jiwa. Karena cinta dan tidak mau kehilangan anaknya, seorang ibu rela mengemis di jalanan. Karena rasa cinta yang menggebu, orangtua rela berkorban tidak makan satu hari, hanya untuk menabung keperluan sekolah anaknya.
Itulah hidup yang dipenuhi energi cinta sejuta rasa. Segala bentuk pengorbanan diberikan hanya untuk menjaga orang yang dicintainya agar tidak kecewa, sedih, dan menghilang dari dunia nyata.
Jadi, betul saya pikir jika Alfred Adler, seorang Psikolog dan Filosof, mengatakan bahwa cinta itu sebetulnya dianugerahkan kepada manusia agar dijadikan pengantar membina hubungan harmonis dengan sesama manusia. Orang yang dipenuhi rasa cinta, akan menebarkan perdamaian dan kedamaian di seluruh dunia.
Tidak seperti mafia yang kerap membuat resah warga dengan melakukan tindakan destruktif sehingga mengganggu rasa aman. Mereka tidak memiliki rasa “cinta ke luar diri”. Tapi, rasa cintanya hanya terarah “ke dalam diri”. Narsistik, menurut istilah psikologi.
Nah, energi cinta di dalam diri kita tidak boleh seperti mafia atau para penjahat, sehingga hidup dipenuhi kebencian dan dendam. Tidak enak rasanya, kalau di kehidupan kita banyak membenci orang lain.
Ketika, seorang manusia membina hubungan percintaan dengan seseorang atas dasar ketulusan, ia akan menjadikan percintaanya itu sebagai wahana menggapai cinta Allah. Inilah yang saya istilahkan dengan cinta berbalut spiritualitas.
Cinta yang menjadikan setiap manusia dapat mensyukuri kehidupan dan tidak mencercanya. Sebab, banyak kasus timbulnya pencercaan manusia atas hidup diakibatkan tidak tersebarnya cinta tulus ikhlas di dalam diri.