BincangMuslimah.Com- Pemikiran Fatima Mernissi mengenai hukum keluarga diawali dengan kepemimpinan dalam keluarga yang dikaitkan dengan beberapa permasalahan perempuan. Mulai dari problem nusyuz dan hal-hal yang mengarah pada praktek penyimpangan hubungan seksual dan sebagainya.
Fatima Mernissi adalah seorang feminis Muslim dan profesor dalam bidang sosiologi di Universitas Muhammad V Rabat. Dia lahir di salah satu harem kota Fez Maroko Utara pada tahun 1940-an. Sebagai ilmuan ia sering menulis yang berkenaan dengan masalah perempuan. Ia juga mengkritisi sebagian hadis, terutama sanad dan matan yang dirasanya merugikan perempuan.
Dari sikap kritisnya, banyak lahir karya mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya ia mengomentari Ayat al-Quran yang menjadi alasan utama dalam menerangkan hukum hubungan keluarga ialah Qs. an-Nisa’ [4] ayat 34, yaitu :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuam, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan)” (QS. An-Nisa [4]: 34)
Dalam banyak penafsiran, makna ayat ini mengatakan bahwa pria adalah pemimpin bagi perempuan yang berarti mereka bisa mendisiplinkan perempuan, meletakkan perempuan pada tempatnya. Karena Allah telah memberikan wewenang kepada sebagian di antara kaum laki-laki atas yang lainnya. Dengan alasan, kewenangan ini terjadi dikarenakan sadaq atau mahar yang dibayar kaum pria kepada istrinya dalam akad nikah serta disusul dengan nafkah yang diberikan.
Sekalipun sudah jelas bahwa para pakar sepakat terkait supremasi pria atas perempuan, Mernissi mengatakan bahwa tidak ada kesatuan pendapat mengenai seberapa besar kewenangan pria, terutama dalam masalah nusyuz atau pemberontakan perempuan dalam hubungan seksualnya.
Kemudian masalah yang menyangkut ganjaran yang diperoleh orang-orang beriman di dalam surga berupa bidadari. Firman Allah dalam QS. Ad-Dukhan [44] : 51-54
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ، فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ، يَلْبَسُونَ مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَقَابِلِينَ، كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
ِArtinya “Sesungguhnya orang-orang bertaqwa berada dalam tempat yang aman, yaitu dalam taman-taman dan mata air. Mereka memakai sutera yang tebal dan duduk berhadapan. Demikianlah, kami berikan kepada mereka bidadari.” (QS. Ad-Dukhan [44] : 51-54)
Dalam menafsirkan huur (bidadari), Mernissi mengomentari bahwa ditemukan dua macam surga. Pertama, surga yang dijanjikan dalam kitab suci. Kedua, berdasarkan naskah suci yang dibuat oleh para imam (Mernissi: Woman and Muslim paradise, 1995).
Seperti as-suyuthi mengatakan bahwa kelak orang beriman akan mendapat 70 orang bidadari, al-Sirad menyebutkan ada 73 orang, dan menurut Imam Qhadi mencapai 4.900 bidadari. Sedangkan Mernissi memperkirakan setiap mereka hanya diperbolehkan memiliki satu saja bidadari.
Terjadinya penafsiran yang beragam, menurut Mernissi karena selama ini yang menafsirkan teks-teks suci kebanyakan kaum lelaki, khususnya mengenai jumlah bidadari yang mendampingi di surga nanti.