Ikuti Kami

Muslimah Talk

Pentingkah Memikirkan Kembali Humanisme bagi Perempuan?

fatimah ahli fikih uzbekistan
gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Sartre, Nietzsche dan Feuerbach adalah deretan kecil dari sekian banyak filsuf yang membawa kita memikirkan dan mempertimbangkan kembali humanisme. Manusia, sebagai subjek yang selalu dielukan, menghadapi eksklusivisme, atheisme, kolonialisme dan turunannya.

Sederhananya, pemusatan dunia pada manusia melulu menampilkan dampak negatif. Memang, ada beberapa dampak positif. Namun, dampak negatiflah yang lebih sering muncul dan alih-alih melindungi manusia, justru menghancurkan kemanusiaan.

Sehingga, di era posthuman ini, kita mesti memikirkan kembali gagasan tentang kemanusiaan. Terutama, memikirkan kembali humanisme bagi perempuan. Muslimah, dalam hal ini, seyogyanya mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip dalam posthuman dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam.

Humanisme Lentur

Budi Hardiman dalam bukunya Humanisme dan Sesudahnya (2012), mengusulkan sebuah konsep yang ia namakan humanisme lentur. Sebelum mengemukakan konsep tersebut, ia terlebih dahulu memaparkan sejarah humanisme dan bagaimana perjalanan ide humanisme mempengaruhi peradaban manusia.

Sejak zaman antik, bangsa Yunani kuno mengolah bakat-bakat kodrati manusia dalam sistem pendidikan yang bernama paidea. Gagasan tentang manusia sebagai animal rationale bangsa Romawi kuno dipandang sebagai peletak dasar humanisme universal.

Zaman bergerak dan gagasan humanisme berkembang lebih jauh. Pada abad pertengahan, humanisme modern bertumpu pada pendekatan rasional di mana manusia mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang antara agama dan negara.

Akhir abad ke-19, manusia tak lagi dihargai karena kesesuaiannya dengan standar-standar kemanusiaan tertentu, baik secara metafisis maupun teologis. Manusia justru dihargai sebagai entitas yang bebas dan dianggap sebagai kebebasan itu sendiri.

Hardiman mencatat, humanisme mengandaikan manusia ada terlebih dahulu, kemudian dunia atau kenyataan dikenali manusia. Inilah kemudian dikenal sebagai antroposentrisme di mana struktur metafisis menempatkan dunia di bawah kehendak dan kendali bahasa manusia.

Baca Juga:  Meneguhkan Peran Ulama Perempuan di KUPI II, Kamaruddin Amin: Otoritas Keilmuan Perempuan Diakui dalam Islam

Ada dua aspek humanisme yang mesti dibedakan. Pertama, kekuatan kritis-normatif yang mampu mempreteli penindasan terhadap manusia atau biasa disebut sebagai humanisme etis.

Kedua, kenyataan faktual bahwa humanisme menjelma menjadi metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, tapi menjadi kebenaran kaku yang pada gilirannya akan berubah menjadi eksklusivistis dan hegemonial.

Berangkat dari dua aspek tersebut, Hardiman menarik humanisme etis sebagai dasar membangun humanisme lentur. Sebuah humanisme tanpa metafisika kemanusiaan dan mencoba mencari titik temu, ukuran-ukuran mana yang harus ditetapkan agar seseorang atau suatu kelompok masuk ke dalam kemanusiaan kita.

Titik tumpu ini kemudian ditarik ke satu pemahaman bahwa ada yang transendental dalam diri manusia. Hal tersebut membuat manusia menjadi seseorang, bukan sesuatu. Bila manusia sekadar sesuatu, maka manusia tidak lebih dari hewan dan mesin.

Dari kerangka tersebut, humanisme lentur Hardiman bisa kita bawa dalam diskursus posthumanisme di mana manusia tak lagi menjadi subjek, melainkan setara dengan alam, termasuk tumbuhan, hewan, dan mesin. Kesetaraan tanpa metafisika kemanusiaan.

Tumpuan ini, selain menjadi cara berada yang fleksibel, juga memungkinkan manusia untuk tak lagi menjadi aktor dari kerusakan alam, tapi bertindak konkret dalam menjaga alam. Alam tak hanya tentang tumbuhan dan hewan, serta elemen api, tanah dan air.

Alam juga mencakup teknologi dan penciptaan manusia lainnya termasuk pemikiran isme-isme atau ideologi, dan lain-lain. Bisakah manusia beradaptasi di era yang baru? Bagaimana Islam mengatasi kondisi seperti ini? Dan pentingkah memikirkan kembali humanisme untuk perempuan?

Integrasi Posthumanisme

Dalam problematika humanisme lentur, Islam sudah memiliki jawaban. Dalam Al-Qur’an, kita mengenal kata insan. Salah satu penjelasan tentang penggunaan kata insan bisa ditemui dalam buku Wawasan al-Qur’an (1996) karya M. Quraish Shihab.

Baca Juga:  Apapun Bentuknya, Perundungan Tidak Bisa Dibenarkan

Buku tersebut memaparkan bahwa kata Insan dalam al-Qur’an dipakai untuk manusia yang tunggal. Sementara itu, untuk jamaknya menggunakan kata an-nas, unasi, insiyya, dan anasi.

Kata insan dipakai untuk merujuk manusia dengan seluruh jiwa dan raganya. Hal tersebut menandakan bahwa manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Terlihat dari adanya perbedaan fisik, mental, kecerdasan, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan, bila dilihat dari asal katanya, nasiya, kata insan berarti lupa. Lupa menunjukkan keterkaitan eksistensi manusia dengan kesadaran diri.

Dalam kehidupan beragama, jika seseorang mengalami lupa pada kewajiban yang mesti dilakukan, maka orang tersebut menjadi tidak berdosa. Karena, orang yang lupa dianggap kehilangan kesadaran. Ketentuan yang berlaku akan berbeda dengan orang yang sengaja melupakan kewajiban.

Dari penjelasan tersebut, ada beberapa term yang bisa digarisbawahi. Ada jiwa, raga, fisik, mental, eksistensi, dan kesadaran. Kesemuanya merupakan hal-hal yang ditekankan dalam humanisme.

Dalam humanisme modern, kesadaran menjadi highlight. Beranjak ke era posthuman, kesadaran masih menjadi tumpuan namun tak lagi menjadi legitimasi bahwa keberadaan manusia melampaui segalanya.

Catatan Quraish Shihab lainnya, kata insan digunakan untuk penyebutan manusia yang diambil dari akar kata al-uns atau anisa. Makna dua kata tersebut adalah jinak dan harmonis.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk jinak dan harmonis. Dalam artian, manusia mampu menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungannya. Ketika lapar, manusia bisa mencari makan. Ketika berkonflik, manusia bisa menyelesaikan.

Manusia diciptakan dengan kemampuan adaptasi yang tinggi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan di dunia, baik perubahan sosial maupun perubahan alam.

Kemampuan tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang menghargai tata aturan etik, sopan santun. Darinya, manusia menjadi makhluk yang berbudaya. Penafsiran insan milik Quraish Shihab yang beririsan dengan etika sejalan dengan rekomendasi F. Budi Hardiman tentang humanisme lentur.

Baca Juga:  Tidak Perlu Jadi Super Mom untuk Jadi Ibu yang Baik

Landasan humanisme lentur dan manusia sebagai insan memenuhi kerangka posthuman. Berpikir posthuman adalah bagian dari tradisi yang mengetahui bahwa apa pun teori subjektivitasnya, maka harus mencakup sifat yang terkandung dari apa yang kemudian kita namakan subjek.

Term posthuman juga mengimplikasikan tradisi humanis di mana manusia menggunakan bahasa. Bahasa lisan dan tulisan dipandang sebagai hal yang membuat keberadaan manusia ajeg. Maka, sebelum memahami posthuman, kita harus menguasai persoalan-persoalan humanisme terlebih dahulu.

Di titik inilah, saat membayangkan posthuman, kita harus bertanya apakah alat milik tuannya bisa membongkar rumah tuannya. Sejalan dengan humanisme lentur, caranya akan mencakup pembongkaran terhadap wacana, sejarah, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Penting untuk memikirkan kembali humanisme dan bagaimana efeknya terhadap perempuan. Melalui humanisme lentur milik Hardiman, kita bisa membentangkan keberadaan perempuan sebagai ukuran di mana cara pandang patriarkis sudah tak bisa diakomodir melalui humanisme.

Efeknya, muslimah sebagai insan dengan kemampuan adaptasi mumpuni akan melandaskan humanisme lentur dalam langkah-langkah yang dirumuskan untuk menghadapi era posthuman.

Melalui posthumanisme, muslimah bukan hanya diberi ruang lebih luas, tapi juga menjadi ukuran untuk pengalaman dan pengetahuan, tak lagi dimarjinalkan. Bila kita mengganti kacamata lama dengan kacamata baru, maka cara pandang kita akan berubah. Selaras dengan apa yang dikemukakan Budi Hardiman dan Quraish Shihab.

Rekomendasi

Pray the Devil Back Pray the Devil Back

Pray the Devil Back to Hell, Cerita Powerfull Perempuan Mengusung Perdamaian

Perempuan Bekerja saat Iddah Perempuan Bekerja saat Iddah

Bolehkah Perempuan Bekerja saat Masa Iddah?

butet manurung model barbie butet manurung model barbie

Butet Manurung, Dari Sokola Rimba Hingga Global Role Model Barbie

Peran Perempuan di Masa Depan dalam The Silent Sea Peran Perempuan di Masa Depan dalam The Silent Sea

Peran Perempuan di Masa Depan dalam The Silent Sea

Ditulis oleh

Tim Redaksi Bincang Muslimah

2 Komentar

2 Comments

Komentari

Terbaru

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect