BincangMuslimah.Com – Walau praktiknya kerap menuai pro dan kontra, berpoligami tetap dilakukan oleh sebagian laki-laki. Salah satu alasan yang kerap ditemukan adalah menghindari zina atau perselingkuhan dengan melakukan praktik poligami. Alasan ini mungkin mengingatkan kita kampanye poligami lewat mentoring berbayar yang sempat ramai beberapa waktu lalu.
Bahkan salah satu media melakukan peliputan khusus dengan seorang mentor poligami yang merupakan seorang kiai pesantren di Serang, Banten. Di dalam peliputan tersebut, ditampilkan bagaimana aktivitas saat menjadi mentor kampanye poligami ini.
Beliau diketahui mengisi seminar berdurasi sembilan jam yang semua peserta diisi oleh perempuan. Salah satu yang ditekankan dalam seminar ini adalah perempuan, sebagai istri harus patuh dan taat pada suami. Keduanya adalah syarat mutlak yang tidak dapat dibantah.
Selain itu, ia juga menyampaikan jika seorang istri yang tidak diperlakukan baik oleh suami, seharusnya tidak perlu marah. Diamnya istri, menerima apa yang dilakukan suami adalah bentuk berbakti dan diganjar pahala oleh Allah Swt.
Saat ditanyakan alasan orang-orang mendaftar menjadi peserta, mentor itu menjelaskan jika semua ini berkaitan dengan libido yang terlampau kuat. Di sisi lain, orang-orang yang memiliki ‘libido tinggi’ ini tidak ingin berzina. Namun, orang-orang ini, disebut tidak memiliki ilmu berpoligami. Karenanya, mentor poligami ini pun membuka kelas untuk memberikan ilmu berpoligami kepada orang-orang.
Di luar dari adanya mentoring poligami, sebagian masyarakat juga punya anggapan yang serupa dengan mentor. Misal, seorang istri tidak terima ketika sang suami menikah lagi secara diam-diam. Tanpa ada konflik atau prahara sebelumnya, sang suami telah mengikat perempuan lain lewat pernikahan.
Maka tidak sedikit ditemukan orang-orang yang berpandangan lebih baik suami menikah, ketimbang melakukan perzinahan di luar pernikahan. Zina diharamkan, sedangkan poligami diperbolehkan. Lagi pula ini juga dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Lantas apakah benar praktik poligami yang juga dilakukan oleh nabi memang dilatarbelakangi atas tuntutan libido manusia yang disebut tidak dapat dibendung tadi? Kyai, tokoh agama sekaligus penulis buku K.H Husein Muhammad ternyata punya pandangan yang berbeda.
Keberadaan Poligami dalam Islam dan Praktiknya oleh Nabi
Di dalam bukunya yang berjudul ‘Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai’, beliau menyatakan jika poligami bukan tradisi Islam, K.H Husein menjelaskan fakta-fakta poligami yang dilaksanakan oleh Nabi.
Sejarah menunjukkan jika istri-istri nabi merupakan perempuan yang berusia lanjut, berstatus janda dan sebagian bukan perempuan dengan penampilan yang menarik pandangan. Sehingga, bisa dilihat jika poligami yang dilakukan nabi bukan karena faktor biologis.
Salah satu istri nabi bahkan ada yang sudah berusia lanjut yaitu 50 tahun, yaitu Sudah binti Zama’ah. Ia memilih jalan Islam, meski mendapatkan tekanan dari keluarganya, Bani Abdusy Syams. Atau ada seorang dermawan terkemuka Ummu Salamah dari Bani Makhzum.
Ia merupakan janda dari Abdullah Abi Salamah Ra yang terbunuh dalam perang Uhud dan memiliki banyak anak. Ummu Salamah pun mengalami berbagai penderitaan secara psikis dari keluarganya yang kafir.
Melainkan perlindungan kepada kelompok lemah atau rentan di masa itu. Terlebih di zaman itu posisi perempuan masih jauh dari kata ‘baik’. Keberadaan Islam menaikkan posisi perempuan, memberikan hak-hak yang seharusnya diterima, serta perlindungan.
K.H Husein menyebut jika posisi para istri nabi adalah kultural atau dari berbagai latar belakang. Terdiri dari perempuan terkemuka, cerdas, tokoh terhormat, dan janda para pahlawan. Tentu ada pesan besar yang terkandung di dalamnya.
Lewat para istri Rasulullah, sampailah ajaran-ajaran keislaman dari sisi perempuan, khususnya hak-hak yang mereka miliki. Pesan lain adalah nabi ingin menghormati janda para pahlawan sekaligus memberikan perlindungan kepada mereka.
Masih dalam konteks ‘libido’ yang tidak tertahankan hingga berakhir pada perzinaan atau perselingkuhan ini. Nyatanya, K.H Husein mengungkapkan jika kebolehan poligami oleh Alquran sama sekali tidak pernah dikaitkan dengan alasan di atas.
Poligami dengan perzinaan atau perselingkuhan punya ruang yang berbeda. Libido atau hasrat pada dasarnya tidak memiliki batasan dan sering kali menuntut rasa tidak puas jika tidak dikendalikan. Bahkan, meski telah menikahi empat orang istri, belum tentu hasrat bisa habis, tuntas.
Faktanya pada beberapa kasus ada laki-laki yang mampu menahan gejolak syahwat. Berupaya bersetia dan tidak melakukan perselingkuhan. Bukankah Islam juga mengajarkan kita untuk mengendalikan hawa nafsu. Bahkan pada seseorang yang belum mampu menikah.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).
Sedangkan untuk menuntaskan hasrat biologis, bukankah sudah ada pasangan yang sah dan diikat oleh pernikahan. Kenapa perlu mencari yang kedua, jika pasangan pertama punya peranan serupa? Jika melihat Nabi berpoligami yang dipaparkan oleh K.H Husein, maka dapat disimpulkan satu hal. Menghindari zina atau perselingkuhan dengan berpoligami bukanlah alasan yang relevan.