BincangMuslimah.Com – Sufi perempuan bernama Aishah al-Ba’uniyyah dikenal sebagai seorang penulis, penyair dan guru sufi yang hidup di Mesir dan Syiria pada masa Dinasti Mamluk, dan diperkirakan wafat di Damaskus pada tahun 1517 M.
Aishah adalah perempuan yang sangat produktif sebab ia banyak menulis buku dan karya sastra. Ada lebih dari selusin buku dalam bentuk prosa dan puisi. Aishah juga merupakan penulis perempuan Muslim yang paling produktif sebelum abad ke-20.
Keluarga Aishah adalah keluarga ternama al-Ba’uniyyah yang banyak melahirkan qadhi dan ulama. Ayahnya, Yusuf, dilahirkan pada tahun 1402 di Jerusalem dan pernah belajar di Damaskus, Hebron, Ramalah, dan Kairo. Sang ayah kemudian menjadi qadhi di Sefed, Tripoli, Aleppo dan Damaskus.
Dalam The Encyclopaedia of Islam. New Edition Vol.I (1986) diceritakan bahwa guru pertama Aishah adalah ayahnya sendiri. Dari sang ayah, ia mempelajari al-Qur’an, hadis, fikih, sastra, dan pada usia delapan tahun ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur’an.
Sebagai bagian dari pendidikannya, Aishah juga mempelajari tentang sufisme yang secara umum dipraktikkan oleh keluarga al-Ba’uniyyah. Kakek Aishah adalah seorang asketik, sedangkan pamannya adalah pengurus padepokan sufi di Damaskus.
Dalam tulisan-tulisannya, Aishah memuji dua guru sufi dari Tarekat Qadiriyyah yakni Jamaluddin Ismail al-Hawwari dan Muhyiddin Yahya al-Urmawi dengan sangat terbuka. Ia menobatkan keduanya sebagai guru spiritual.
Sayangnya, banyak karya tulis Aishah yang telah hilang. Beruntungnya, karya-karya yang tercatat ada sebanyak 16 karya. Dalam tulisan-tulisannya, Aishah selalu membicarakan cintanya kepada Allah Swt. dan Nabi Muhammad. Ia juga menulis tentang kerinduannya untuk mengalami persatuan mistis.
Agar bisa mencapai persatuan mistis tersebut, seperti yang terungkap dalam Al-Muntakhab fi Ushul al-Rutab atau The Principles of Sufism, Aishah membagi persatuan mistis dalam empat prinsip utama yang harus dilakoni oleh setiap penempuh jalan spiritual. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Taubat. Menurut Aishah, taubat adalah kembali kepada asal-usul. Ia lalu membagi taubat dalam dua kategori: taubat lahiriah yakni kembali dari tindakan-tindakan jahat kepada tindakan-tindakan baik, atau dari perkataan-perkataan buruk kepada perkataan-perkataan bijak dan taubat batiniah yang berarti kembali dari semua hal yang bukan Allah Swt. kepada Allah Swt. yang Maha Agung dan Maha Mulia.
Aishah menekankan bahwa taubat tidak akan membuahkan hasil jika tidak disertai tiga kondisi sebagai berikut: penyesalan terhadap dosa, pengosongan diri dari dosa, dan tekad untuk tidak kembali berbuat dosa. Jika salah satu syarat itu tidak terpenuhi, taubat akan menjadi sia-sia.
Kedua, ikhlas. Ikhlas bagi Aishah adalah salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang Muslim yang menempuh jalan spiritual menuju Allah Swt.
Selain karena diperintahkan Allah Swt. dan tercantum dalam banyak ayat al-Qur’an serta dicontohkan oleh Nabi melalui banyak Hadis, atas landasan tersebut, ikhlas menjadi persyaratan mutlak sebab merupakan cahaya yang menyingkirkan kegelapan hati yang ditimbulkan oleh godaan Setan.
Aishah juga menyatakan bahwa ikhlas adalah karakter orang yang hidup dengan benar. Pedoman bagi pemilik pengetahuan spiritual atau ma’rifah dan merupakan ciri orang yang telah mengalami penyatuan dengan Allah Swt.
Terkait dengan keikhlasan, Aishah menulis sebuah syair berlirik: Ikhlaslah, dan jadilah sang pecinta karena keikhlasan; Campakkan kemunafikan, sebab itu adalah kekafiran.
Ketiga, mengingat Allah Swt. (Zikr). Menurut Aishah, zikr atau zikir adalah salah satu tanda cinta, sebab individu yang mencintai sesuatu pasti akan mengingat subyek yang dicintainya sesering mungkin. Oleh sebab itu, zikr adalah sarana untuk meraih apa yang diinginkan.
Jika Allah Swt. telah memilih untuk bersahabat dengan seorang hamba, maka Ia akan membuat si hamba tersebut untuk sibuk berzikir. Berikut sepenggal syair Aishah tentang zikir:
Aku mengingat-Mu dengan ingatan yang bersumber dari-Mu,
Lalu aku tenggelam dalam kenangan yang karam dalam Diri-Mu.
Keempat, cinta (Mahabbah). Dalam bahasa simbolik yang digunakan Aishah menyebutkan bahwa orang yang tenggelam dalam cinta kepada Allah Swt. adalah mereka yang “matanya dibanjiri air mata, dan yang hatinya terkaku kaget.” Aishah juga membedakan manusia yang tergolong pecinta dan manusia yang tergolong sahabat.
Bagi Aishah, sahabat adalah mereka yang berkata, “Ia yang mengikutiku adalah bagian dariku,” sementara pencinta adalah mereka yang berkata, “Kalau engkau mencintai Allah Swt., ikutilah aku agar Allah Swt. mencintaimu.”
Aishah menambahkan, pengikut sahabat akan mengharapkan ganjaran, sedangkan para pengikut pecinta menjadi pecinta al-haq dan karenanya akan merasakan kedekatan dengan-Nya.[]