BincangMuslimah.Com – Ada pepatah mengatakan “Di balik laki-laki sukses, ada wanita hebat di belakangnya”. Sepertinya predikat wanita hebat ini layak diberikan kepada ibunda dari seorang tabi’in yang sangat berpengaruh, ibunda dari guru Imam Malik yang merupakan salah satu imam madzhab yang paling banyak diikuti. Ialah single mom yang melahirkan Rabi’ah Ar-Ra’yi dan mendidiknya sehingga menjadi ulama besar Islam. Kisah ini tertuang dalam kitab Ma’a at-Tabi’in karya Amr Khalid.
Kisah dimulai ketika wanita ini menikah dengan seorang mujahid bernama Farrukh, salah seorang mantan budak dari panglima perang Ar-Rabi’ bin Ziyad. Ar-Rabi’ seringkali memenangkan peperangan bersama kaum muslimin dan budaknya itu. Singkat cerita, suatu hari ia membebaskannya. Ia mengatakan kepada Farrukh “Kau telah mengikuti peperangan dengan baik. Oleh karena itu, kau merdeka sekarang”. Tak hanya dibebaskan, rupanya Ar-Rabi’ juga menghadiahi Farrukh ghanimah (harta rampasan perang) sebesar 30.000 dinar.
Setelah kebebasannya, Farukh berpikir untuk kembali ke tanah kelahiranya di Irak. Akan tetapi, ia segera membuang jauh pikiran tersebut dengan alasan jika ia kembali ke Irak, orang-orang pasti akan memperlakukannya sebagai budak karena mereka mengenal Farrukh dengan status budak. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memulai hidup baru pindah ke kota Madinah dan menetap di sana.
Kehidupannya di Madinah berjalan lancar. Dengan uang yang didapat sebelumnya, ia membeli sebuah rumah di tengah kota. Kemudian, ia menikahi seorang wanita salihah. Kehidupannya yang dijalani begitu tentram. Namun, rasa tentram ini hanya sementara. Hasrat untuk kembali berjihad di jalan Allah memanggilnya. Hatinya terenyuh ketika muslimin lain berjuang di medang perang atas nama Islam. Hingga akhirnya pun ia mengabarkan istrinya bahwa dirinya akan pergi berjihad. Tentu, sang istri enggan karena ia sendirian dan tidak tahu apakah bisa mengurus segalanya atau tidak jika suaminya itu meninggalkannya. Apalagi dirinya sedang mengandung buah hati di dalam rahim yang baru berumur satu bulan. Akan tetapi, Farrukh tetap dengan pendiriannya dan berjanji hanya pergi dalam jangka waktu tiga bulan.
Bulan demi bulan berganti. Tiga bulan, empat bulan, sembilan bulan berlalu. Farrukh tak kunjung datang. Anaknya lahir tanpa digendong ayahandanya sendiri. Sang istri merasa cemas karena suaminya tak ada kabar. Ia tanya satu per satu orang yang pergi berjihad bersamanya. Namun, jawaban mereka berbeda-beda. Orang pertama mengatakan bahwa ia melihat Farrukh. Berbeda jawaban dengan orang kedua, ia mengatakan bahwa Farrukh ditawan oleh tentara Roma. Bahkan, ketika menanyakan orang lain lagi, ia menjawab bahwa Farrukh sudah meninggal dunia, mati syahid. Akan tetapi, hatinya kukuh membisikkan bahwa suaminya itu belum mati syahid.
Dua puluh tahun berlalu. Dirinya membesarkan anak tanpa kehadiran suami. Walaupun sang anak dididik tanpa kehadiran ayah, ia tumbuh dengan sangat baik, mendapatkan ilmu dari berbagai ulama besar. Dengan uang yang diberikan Farrukh sebelum pergi berjihad, Ibu dari Rabi’ah mengirimkan anaknya untuk menimba ilmu kepada salah satu sahabat Rasulullah, Anas bin Malik. Ia belajar apapun dari gurunya itu karena Anas bin Malik adalah pelayan Rasulullah saw. dan sering mendengar hadis langsung dari Nabi saw.
Rabi’ah sangat mencintai ilmu. Ia begadang sampai malam suntuk demi memecahkan satu permasalahan fikih. Ia berjalan berkilo-kilometer demi menanyakan kedudukan shahih atau dhaifnya suatu hadis kepada seorang alim. Orang-orang yang melihat keadaannya menaruh kasihan. Mereka mengatakan ia telah meghinakan dirinya. Namun apa yang dijawab oleh Rabiah kepada orang-orang tadi? Ia menjawab, “Ilmu tidak akan memberimu sebagiannya kepadamu kecuali jika kamu memberikan segalanya untuk ilmu”.
Berkat kecakapan ilmu yang didapat, Rabi’ah menjadi ulama yang sangat terkenal. Tidak ada yang memberikan fatwa kecuali dirinya. Ketika ulama lain saling berselisih pendapat mengenai suatu masalah, mereka pun pergi menemui Rabi’ah untuk meminta pendapatnya.
Sang ibu telah melewati hidup bertahun-tahun dengan penuh duka dan cobaan, seorang diri, menjadi single mom sekaligus mendidik anaknya hingga menjadi ulama besar. Berjuang mendidik anak adalah jihad fi sabilillah yang ia lakukan.
Hari berganti hari. Tiba-tiba ayahnya, Farrukh, kembali ke Madinah setelah 30 tahun menghilang. Diceritakan dalam sejarah Farrukh membeli rumah baru dengan ghanimah yang ia dapatkan. Ia lupa ada istri dan anak yang sedang menunggunya pulang. Sejarah tidak menjelaskan sebab kepulangannya. Tak ada yang tahu alasannya. Apakah itu karena rintihan batinnya atau apakah ia sadar untuk menjadikan akhir hayatnya menjadi husnul khotimah.
Sesampainya di Madinah, ia memutuskan untuk datang ke Masjid Nabawi. Setelah melaksanakan shalat, orang-orang berkumpul membuat halaqah pengajian. Mulailah seorang pemuda menyampaikan kalimat demi kalimat ilmu kepada penyimak di sekelilingnya. Karena penasaran, Farrukh menanyakan kepada jamaah di sampingnya, “Siapa pemuda ini?” tanyanya. Kemudian jamaah tadi menjawab, “Kamu tidak tahu? Berarti kamu orang asing di sini. Ia adalah ulama paling alim di Madinah”. Kemudian ia bertanya lagi, “Siapa nama ayahnya?”. “Rabi’ah bin Farrukh. Ayahnya bernama Farrukh,” timpal jamaah tadi.
Pengajian selesai. Farrukh berjalan menuju Rabi’ah dan menangis di belakangnya. Ia tidak sanggup mengabari anaknya tersebut bahwa ialah ayah biologisnya. Ialah ayah yang meninggalkan putranya ketika masih di dalam kandungan. Tak sedikitpun kasih sayang ia beri kepada anaknya. Berpuluh-puluh tahun tak pulang, ketika pulang ia mendapati anaknya sudah menjadi imam besar, ulama rujukan umat Islam.
Kemudian Rabi’ah pulang ke rumah. Baru saja ia memasuki rumah, ada seseorang yang mengetuk pintu. Setelah dibuka, ia mendapati seorang lelaki tua yang mengatakan ia adalah ayahnya. Sungguh ia tak percaya. Lelaki tua tadi menyuruh agar ibunya sendiri yang melihat dirinya. Ibunya keluar dan tentu kaget bukan kepalang melihat suaminya yang dikira oleh orang-orang sudah meninggal sekarang berada di hadapannya.
Farrukh meminta maaf kepada istrinya. Tanpa pikir panjang, ia tentu memaafkan sang suami. Rabi’ah langsung mencium tangannya. Inilah kali pertama ia mencium tangan ayah kandungnya.
Ibu dari Rabiah Ar-Ra’yi, istri dari Farrukh, ialah pahlawan sebenarnya dalam cerita ini walaupun dalam sejarah tidak ditemukan siapakah nama aslinya. Tetapi ialah ibu, seorang single mom yang mengobarkan semua hal demi anak semata wayang yang kini menjadi ulama besar Islam. Ialah wanita yang mempunyai tingkat kesabaran tinggi, memaafkan suaminya setelah hilang tak ada kabar berpuluh-puluh tahun.
4 Comments