BincangMuslimah.Com – Berbicara tentang poligami, praktik ini tidak terlepas dari sosok yang menjadi teladan umat Islam, yakni Rasulullah saw. Poligami memang dilakukan Nabi saw. pada masa itu dengan adanya sebab dan tujuan. Namun Rasulullah sendiri juga melarang Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk melakukan praktik poligami atas putrinya, Fatimah az-Zahra.
Hal itu terekam dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa al-Musawwir bin Mukhrimah telah menyampaikan bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar:
“Sesungguhnya Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkannya, tidak, dan tidak (mengizinkannya), kecuali Ali mau menceraikan putriku dan menikah dengan anak perempuan mereka. Sesungguhnya anakku adalah bagian dariku, maka apa yang meragukannya juga meragukanku, dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi dalam syarahnya Kitab Shahih Muslim menerangkan bahwa larangan Nabi saw. terhadap poligami yang akan dilakukan Ali tersebut semata-mata sebagai ekspresi kasih sayang seorang ayah pada putrinya. Bukan ingin mengharamkan poligami yang telah dihalalkan oleh Allah (jika ada alasan tertentu yang menhendaki poligami serta terpenuhi syarat-syaratnya).
Selain itu alasan yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, yang pertama ialah tindakan tersebut akan menyakiti hati Siti Fatimah yang nantinya juga akan menyakiti hati Nabi. Sementara siapapun yang menyakiti hati Rasulullah, ia akan celaka. Dan yang kedua, dikhawatirkan timbul fitnah yang akan menimpa Sayyidah Fatimah disebabkan kecemburuan.
Hal yang sama juga diungkapkan, tokoh feminis muslim Indonesia, Nyai Badriyah Fayumi. Rasulullah mengungkapkan bahwa poligami yang akan dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib pada putrinya adalah sebuah perbuatan yang menyakiti hati Fatimah dan juga hati Rasulullah. Sehingga ini menjadi salah satu penguat akan larangan berpoligami.
Lebih lanjut ia menyatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi sangat tidak rela jika putrinya dipoligami oleh Ali. Bahkan beliau saw. sampai tiga kali menyampaikan ketidaksetujuannya jika Sayyid Ali meminang perempuan lain di saat yang sama statusnya masih sebagai suami sah dari Fatimah. Karena itulah Rasulullah menolak putrinya dipoligami. Sebab Sayyidah Fatimah pasti akan merasa sakit hati jika dipoligami oleh Ali. Dengan hadis ini Rasulullah secara eksplisit mengatakan poligami tidak mengenakan dan menyakiti perempuan.
Dengan demikian, menanggapi hadits di atas kita juga harus melihat sisi kehidupan Rasulullah. Sebagai seorang suami yang memiliki banyak istri, Nabi Muhammad sangat memahami betul sakit psikis yang diderita para istrinya. Tentu tidak banyak yang memahami bahwa ternyata kehidupan poligami yang dijalani Rasulullah itu ”tidak mulus”. Riak-riak selalu mewarnai kehidupan rumah tangga Nabi.
Aisyah merupakan istri Nabi yang paling pencemburu dan paling gigih untuk mendapatkan kasih sayang Nabi. Dikisahkan bahkan Aisyah pernah mengajak Hafshah untuk merencanakan dan melakukan trik bagaimana supaya Nabi berpaling dari istri-istri yang lain.
Bahkan Aisyah dan juga istri-istri yang lain pernah merasa sangat marah ketika Maria al-Qibthiyah yang seorang budak bisa mengandung anak dari Rasulullah dan mereka menyatakan ketidaksukaan atas hal itu serta menampakkan rasa tidak senang terhadap Rasulullah, sampai Rasul marah dan lelah akan tingkah laku para istrinya, kemudian menyendiri meninggalkan para istrinya selama satu bulan lamanya.
Karena itu, alasan mengapa Rasul melarang Ali berpoligami karena beliau saw. tidak menginginkan putrinya merasakan rasa sakit hati sebagaimana yang dialami oleh istri-istrinya. Rasulullah sangat memahami dengan baik bagaimana sakit hati seorang perempuan akibat dimadu melalui sikap para istrinya.
Rasulullah melarang Ali menyakiti hati Siti Fatimah dengan melakukan poligami di atas juga memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya pernikahan, baik dalam bentuk monogami ataupun poligami seharusnya menjadi wadah yang menentramkan dan membahagiakan, maka meskipun poligami harus dilakukan, kemungkinan adanya penyebab ketidaktentraman harus dihindari.
Namun, tetap saja menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang didalamnya terdapat asas sakinah, mawaddah dan rahmah, dan hal ini hanya akan didapat dari pernikahan monogami. Karena permasalahan yang akan dihadapi dalam pernikahan poligami tentu akan jauh lebih kompleks daripada permasalahan dalam pernikahan monogami.[]