BincangMuslimah.Com – Selama ini masyarakat kita mungkin baru terbiasa mendengar krisis identitas pada remaja. Sedangkan isu mengenai ibu rumah tangga yang mengalami krisis identitas mungkin belum begitu terdengar gaungnya. Padahal di lapangan, fenomena ini sudah ada.
Memang, setelah memutuskan menjadi ibu rumah tangga, banyak perubahan yang terjadi yang mengakibatkan ia mengalami krisis identitas. Terutama saat seorang perempuan memutuskan untuk menjadi seorang ibu. Sebagian besar keputusan yang diambil adalah dengan memprioritaskan anak.
Tidak sedikit, perempuan yang mengurutkan dirinya pada posisi terakhir dan menaruh suami serta anak di urutan utama. Pada akhirnya, ibu lupa apa nilai yang ada di dalamnya sebagai ‘diri yang utuh’. Siapakah dirinya dan apa keinginan yang ia miliki sebenarnya.
Maka tidak jarang jika misalnya saja seorang perempuan yang dahulu punya peran di tempat bekerja, pemerintah atau bisnis, sulit untuk bisa kembali seperti dahulu setelah menikah dan mempunyai seorang anak. Krisis identitas ini mungkin jadi satu penyebabnya.
Walau tidak menanggapi secara langsung, situasi di atas menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam diskusi daring terkait Women in Leadership, sering dihadapi oleh perempuan. Perempuan, kata Sri Mulyani selalu dibayangi oleh pilihan-pilihan yang tidak pernah terjadi pada laki-laki.
Seperti memilih bekerja atau menikah. Pun bisa bekerja setelah menikah, suatu waktu akan diserahkan pilihan bekerja atau mengasuh anak. Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau menikah. Disadari atau tidak, pilihan ini nyatanya nyaris tidak pernah disodorkan pada laki-laki.
Mengasuh dan membesarkan anak tentu bukanlah hal yang mudah. Sehingga, pilihan yang ditanggung perempuan terbilang berat. Kalau pun ingin bekerja setelah menikah, perempuan kerap dituntut bisa menyeimbangkan urusan domestik dan pekerjaan. Berbeda dengan laki-laki, meski sama-sama bekerja, urusan domestik tidak atau jarang sekali diemban oleh laki-laki.
Padahal, kata Sri Mulyani perempuan punya potensi cukup besar. Contohnya saja, perempuan kerap berada dalam jajaran pemilik nilai tertinggi di akademisi. Terkadang di dalam kelas sekolah atau perkuliahan, nilai akademisi perempuan banyak mengungguli laki-laki. Namun begitu meniti karir, mesti drop-out karena adanya pilihan-pilihan di atas.
Makna Krisis Identitas, Dukungan Keluarga dan Suami Jadi Hal Penting
Krisis identitas sendiri adalah kondisi saat seseorang mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan identitas dirinya. Seperti apa nilai hidup yang dimiliki, apa tujuan hidup, perasaan dan sebagainya. Biasanya perasaan ini muncul ketika adanya kecemasan, kekhawatiran, hingga kesedihan. Mereka yang mengalami krisis identitas biasanya merasa hilang arah, putus asa dan tidak berarti.
Sebagian orang bisa melewati fase krisis identitas ini. Biasanya, setelah melewati fase ini mereka akan merasa lebih baik bahkan menemukan jati dirinya. Tapi ada sebagian orang yang belum bisa melewati fase ini. Sehingga bisa berujung pada stres hingga depresi.
Krisis identitas pada ibu sesungguhnya bisa ditangani. Pertama mungkin bisa ditangani dari sisi ibu. Mulailah kembali menyelami diri. Pikirkan tujuan yang dahulu pernah ada. Misal, jika suka menulis, maka lakukanlah. Sembari melakukan kegiatan rumah tangga, kembali lakukan hal-hal kecil yang dahulu amat digemari.
Diskusikan bersama pasangan jika punya beberapa keinginan atau rencana. Jika dipikirkan bersama, mungkin ada solusinya. Sedangkan dari sisi suami, sudah saatnya membuka diri untuk terlibat dalam urusan domestik dan mengasuh anak.
Lelaki di dapur bukan hal tabu. Mengasuh dan membesarkan anak juga bukan kewajiban ibu saja. Bahkan Rasulullah saw. digambarkan adalah sosok suami yang biasa membantu pekerjaan di rumah.
Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu shalat, beliau berdiri dan segera menuju shalat.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih Bukhari mengatakan bahwa seperti itulah gambaran keseharian dalam rumah tangga Nabi Muhammad saw. Beliau orang yang tawadhu, menjauhkan diri dari kenikmatan, berlaku mandiri meski semua istri beliau berebut melayani.
Selain itu di dalam buku ’60 Hadist : Hak-Hak Perempuan dalam Islam,’ Karya Faqihuddin Abdul Kodir juga menjelaskan perihal kesetaraan perempuan dan kesalingan dalam rumah tangga. Antara istri dan suami sudah seharusnya saing menolong dan menopang sebagaimana digariskan di dalam Al-Quran. Yaitu saling menolong dan menopang (Q.S. Attaubah; 71), saling melindungi dan melengkapi (Q.S. Albaqarah; 187) dan saling berbuat baik (Q.S. Annisa; 19).
Oleh karena itu, peran suami menjadi sangat penting. Dengan adanya saling bantu, istri atau ibu tidak tenggelam dalam krisis identitasnya. Ia bisa menjadi dirinya sendiri, menemukan nilai-nilai yang dahulu dimiliki, hingga dapat melakukan apa yang disuka dan berkarya.