BincangMuslimah.Com – Belakangan ini ada sebuah postingan utas di media sosial twitter yang ditulis oleh seorang pengusaha sekaligus women empowerement, Iim Fahima. Postingan tersebut membahas mengenai salah satu faktor yang membuat seorang perempuan setelah menikah sulit berkembang. Seperti adanya beban urusan domestik, juga membahas mengenai keharusan gaji bagi seorang ibu rumah tangga.
Beban Ibu Rumah Tangga
Hasil survei nasional di 34 provinsi dengan sampel IRT sebanyak 2.041 memperkuat pendapat ini. Di mana mengungkapkan bahwa rata-rata IRT menghabiskan waktu 13,5 jam per hari untuk menunaikan pekerjaan rumah tangga. Angka ini lebih besar jika membandingkan dengan rata-rata jam kerja perempuan di Asia Pasifik yang mencapai 7,7 jam per hari (Jurnal Perempuan, 2020).
Postingan tersebut mendapatkan banyak respon dan komentar, baik yang menyetujui pendapat tersebut atau justru kontra terhadapnya. Utas tersebut dianggap menampar kaum pemuja budaya patriarki yang sering menyepelekan perempuan dan beranggapan bahwa sudah semestinya perempuan fokus pada urusan domestik dan pekerjaan rumah.
Dalam postingan tersebut Iim Fahima mengemukakan beberapa yang membuat seorang ibu rumah tangga seharusnya wajib mendapat bayaran secara finansial.
Alasan ini berdasarkan pada banyaknya peran dan tugas yang harus seorang IRT jalankan secara bersamaan. Dia yang melahirkan, menyusui, merawat, menjadi psikolog, guru, tukang masak, mencuci pakaian bahkan sopir yang mengantar jemput anak dan lain sebagainya.
Berangkat dari fenomena ini, muncul sebuah pertanyaan, apabila semua tugas tersebut menjadi tanggung jawab istri, lantas apa perbedaan antara istri dan asisten rumah tangga (ART)? Bila ART saja mendapatkan gaji setiap bulan dari majikannya, apakah istri yang posisinya jauh lebih tinggi dan terhormat juga seharusnya mendapatkan gaji? Lalu, bagaimana sebenarnya Islam menjelaskan mengenai hal ini?
Kewajiban Seorang Istri
Syariat Islam telah mengatur sedemikian rupa tugas dan kewajiban seorang istri. Empat Imam Madzhab sepakat bahwa tugas domestik merupakan tanggung jawab suami, bukan istri. Pertama, Al-Khasani dari Mazhab Hanafiyah dalam kitab Badai’ush-Shanai’ menyebutkan bahwa :
Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.
Kedua, Ad-Dardir dari Madzhab Malikiyah dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
Ketiga, Al-Imam Asy-Syairazi dari Madzhab Syafiiyah dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskan:
Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya. Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
Keempat. Pendapat Mazhab Hanabilah pun sejalan dengan mazhab-mazhab lainnya, yakni intinya tugas istri bukanlah melakukan tugas yang seharusnya dilakukan oleh para pembantu rumah tangga. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa :
Seorang istri tidak wajib untuk berkhidmat kepada suaminya. Baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual.
Apabila merujuk pada pendapat jumhur ulama di atas, maka suami wajib mengerjakan pekerjaan rumah sebisa mungkin. Dalam hal ini memperbolehkan istri untuk membantu suaminya, bukan menjadi penanggung jawab utama.
IRT bukan ART
Ustad Ahmad Sarwat dalam postingannya di rumahfiqih.com menyatakan bahwa ada fenomena yang aneh dan ajaib bagi para perempuan di Indonesia. Di mana mereka sejak kecil telah terformat menjadi seorang pembantu. Sehingga ketika akad nikah terjadi, seorang perempuan resmi menjadi pembantu rumah tangga bagi suaminya.
Lebih lanjut Ustad Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa justru yang menolak pemehaman ini juga datang dari kalangan perempuan. Hal ini menyadarkan bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini mengenai gambaran tugas istri merupakan pemahaman lokal budaya yang telah terbentuk selama kurun waktu yang sangat panjang.
Padahal kalau kita merujuk kepada aturan syariat Islam melalui pendapat jumhur ulama, tugas istri tidaklah seberat tugas para pembantu rumah tangga, karena IRT bukan ART. Hanya saja secara tidak sadar selama ini kita menganggap semua ajaran ini berasal dari ajaran Islam.
Menjadi pembantu rumah tangga di rumah sendiri tidaklah salah walaupun pada dasarnya Islam tidak mewajibkannya. Ketika istri melakukannya dengan senang hati dan penuh ikhlas maka dia akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Karena termasuk bagian dari amal shalih walaupun bukan tugasnya.
Hal ini juga menjadi nilai tambah terlebih ketika suami tidak mampu membayar pembantu atau tenaga jasa lainnya. Istri boleh membantu suami untuk melakukan pekerjaan rumah tangga tersebut dengan ikhlas dan tanpa paksaan.
Dalam hal ini kita harus mampu membedakan antara hukum Islam dan keikhlasan. Apabila ada istri yang mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu semata-mata sebagai bentuk pengabdiannya kepada suami, bukan karena adanya kewajiban yang bersumber dari hukum Islam. Wallahu alam…
2 Comments