BincangMuslimah.Com – Gubernur Ridwan Kamil pada tahun 2020 telah mengadopsi seorang anak bernama Arkana Aidan. Bayi yatim piatu yang kehilangan orang tuanya karena covid-19. Di sisi lain ada sebuah berita, di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, sepasang suami istri jadi tersangka karena adopsi anak dari sahabat.
Mengapa terjadi perbedaan padahal dua-duanya sama-sama adopsi? Rupanya sepasang suami istri di Luwu Timur tersebut melakukan adopsi anak dari sahabat bukan dengan prosedur yang baik dan benar, sehingga masuk dalam pemalsuan administrasi kependudukan.
Mereka melakukan adopsi bayi hanya melalui perjanjian kedua belah pihak, atau ilegal secara hukum. Lalu bagaimana prosedur adopsi anak secara legal agar tidak terjadi masalah di kemudian hari?Â
Urusan adopsi anak memang sudah banyak terjadi di masyarakat kita, tetapi banyak dari mereka yang hanya mengadopsi berdasarkan ‘ucapan’ atau perjanjian kedua belah pihak dari, misalnya dari orangtua kandung ke calon orangtua angkat.
Secara legal urusan mengadopsi anak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat.Â
Dalam PP tersebut dibedakan pengangkatan anak oleh WNI, WNA, atau orangtua tunggal. Untuk Adopsi yang dilakukan oleh orangtua WNI-WNI, dan WNI orangtua tunggal, maka permohonan adopsi dilakukan di Dinas Sosial Provinsi. Namun untuk permohonan adopsi pasangan WNI-WNA, permohonan perlu disampaikan ke Kementerian Sosial.
Tidak hanya kewarganegaraan, syarat lain yang tidak boleh dilewati adalah, anak yang ingin diadopsi harus beragama sama dengan calon orangtua angkat. Untuk usia, calon orangtua angkat minimal usianya harus 30 tahun dan maksimal 55 tahun.
Tata Cara Adopsi Anak
Pertama, calon orangtua angkat membuat surat permohonan yang dikirimkan ke Dinas Sosial Provinsi atau Kementerian Sosial. Kedua, setelah surat tersebut diterima oleh instansi yang dituju, maka akan dibentuk Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak (Tippa).
Di Dinas Sosial, ketua Tippa bisa dari kepala dinas atau kepala bidang rehabilitasi sosial. Sementara di Kementerian Sosial, ketua Tippa diketuai oleh Dirjen Rehabilitasi Sosial dengan anggota dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, dan Polri.
Ketiga, Tippa mengutus pekerja sosial ke rumah calon orangtua angkat untuk berdialog dan menilai kelayakan baik secara psikologi, sosial, ekonomi, dan lainnya. Hal tersebut guna menilai kelayakan mendapatkan hak asuh. Kunjungan penilaian ini dilakukan 2 kali selama 6 bulan.
Keempat, setelah pekerja sosial memberikan penilaian, hasil tersebut diserahkan pada Tippa. Dan Tippa akan meminta beberapa syarat seperti:
- calon orangtua angkat melakukan pernikahan di usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun;
- usia pernikahan sudah berjalan 5 tahun;
- sehat jasmani dan rohani;
- tidak pernah melakukan tindakan kriminal (SKCK); dan
- surat keterangan penghasilan.
Jika semua sudah terpenuhi, dan Tippa memberikan izin untuk pengangkatan anak. Izin yang diberikan ini hanya berlaku sementara, 6 bulan. Dan setelah masa penilaian 6 bulan pengasuhan sementera dan hasilnya baik, maka pengangkatan anak bisa ditetapkan di pengadilan.
Dengan prosedur legal secara hukum, maka adopsi anak tidak akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Hal ini karena dari awal proses dilakukan secara terbuka, ada bukti pengadilan yang berkekuatan hukum.
1 Comment