BincangMuslimah.Com – Dewasa ini, banyak sekali gerakan dakwah yang mengajak masyarakat untuk berislam secara kaffah. Menariknya, dengan berkembangnya teknologi berbasis internet, dakwah tidak hanya dilakukan oleh para dai di majelis-majelis ilmi dan pengajian saja. Banyak orang yang melabeli dirinya sebagai pendakwah yang bermunculan di platform media sosial, terutama di kanal Youtube.
Seperti fenomena munculnya salah satu artis yang mengklaim dirinya ustaz, juga fenomena munculnya orang dan tokoh baru yang berdakwah untuk mengajak orang lain berislam. Alih-alih ingin berdakwah, namun tak jarang mereka mudah sekali mengkafirkan dan menganggap orang lain yang tidak sama dengannya sebagai orang yang tidak baik.
Tentu saja cara dakwah tersebut sangat meresahkan. Berdakwah dengan cara seperti itu hanya akan mengaburkan makna Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Para pendakwah harusnya meneladani kembali strategi dakwah para wali songo yang membawa ajaran Islam di bumi nusantara yang majemuk ini.
Dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam, Para Wali Songo melakukannya dengan sabar, tabah, hati-hati dalam mengikuti keadaan, mengindahkan tradisi yang sedang berlaku, serta memperhatikan sungguh-sungguh tabiat dan jiwa orang-orang yang hendak diberi peringatan dan ajakan.
Faktor lain yang menjadikan dakwah para Wali Songo berhasil adalah akhlak mulia, berbudi luhur, berbicara lembut, bersabar, dan tidak menyentuh adat istiadat setempat di mana orang-orang yang hendak diislamkan tumbuh dan dibesarkan.
Para Wali Songo mengetahui betul bahwa dakwah tidak bisa dilakukan dengan perdebatan, melawan tradisi dan kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat. Maka cara-cara yang mereka lakukan salah satunya dengan menggunakan kesenian yang sangat digemari penduduk setempat.
Dari kesenian tersebut, para da’i memasukkan unsur-unsur ajaran Islam dengan mengubah lirik yang bermuatan ajaran Islam yang mudah diserap. Maka tak heran jika sampai sekarang, nyanyian dan tarian tetap masih ada sebagai pusaka peninggalan para da’i zaman dahulu.
Selain itu, dakwah yang mereka lakukan juga mengedepankan metode ‘Tut Wuri Handayani’ yakni mengikuti sambil mengajarkan ajaran Islam secara perlahan. Seperti yang dilakukan Joko Sa’id dan Sunan Kalijaga dengan menggunakan pagelaran wayangnya, sebuah kesenian Jawa yang sangat digemari penduduk pada masa itu. Beliau menggubah cerita-cerita pewayangan dengan diisi prinsip ajaran Islam secara luwes, dan dipagelarkan di depan khalayak ramai.
Begitupun juga dengan Sayyid Ishaq bin Ibrahim bin Al-Husain, ia menempuh cara penyebaran Islam dengan pengobatan untuk menolong penduduk yang sakit. Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik.
Ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat melalui proses asimilasi dan sinkretisasi. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang sangat lama, namun dengan cara ini misi dakwah yang disampaikannya berlangsung secara damai.
Menurut Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam (1977), tumbuh dan berkembangnya agama Islam secara damai, lebih banyak merupakan hasil usaha para mubalig penyebar Islam, dibandingkan dengan hasil usaha para pemimpin negara.
Dalam buku ‘Walisana, Babad Tanah Djawi, Babad Tjirebon, dan Primbon’ karya Prof. K.H.R , Moh. Adnan, Wali Songo pada dasarnya adalah lembaga dakwah berisi tokoh-tokoh penyebar Islam yang berdakwah secara terorganisir dan sistematis. Mereka melakukan usaha pengislaman masyarakat Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya dengan cara yang baik.
Masing-masing dari mereka memiliki tugas dan cara tersendiri untuk menyampaikan dakwah Islam melalui berbagai perbaikan dalam sistem nilai dan sistem sosial budaya masyarakat. seperti yang dilakukan Sunan Ampel, ia membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa. Raja Pandhita di Gresik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda, Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, dan membuat gerabah.
Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdo’a dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender juga merintis pembukaan jalan.
Sunan Bonang mengajar ilmu suluk, membuat dan menggubah irama gamelan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah dan tandu. Sunan Kudus merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukkan bagi orang Jawa.
Dari cara-cara yang dilakukan para Wali Songo tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dakwah yang baik adalah dakwah yang menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan melebur dengan budaya setempat.
Jika melihat dari usaha dakwah yang bersifat asimilatif dan sinkretik dalam dakwah Islam ala Wali Songo, secara teoritik maupun faktual dapat disimpulkan bahwa dakwah seperti ini sangat sulit dilakukan oleh para mubalig penyebar dakwah Islam dari golongan saudagar maupun ulama fikih dengan berbagai madzhabnya.
Jejak-jejak dakwah Walisongo ini justru menunjukkan bahwa hanya kaum sufilah yang bisa sangat terbuka, adaptif, dan luwes dalam menyikapi keberadaan selain ajaran Islam. Ini menjadi catatan penting bagi para pendakwah. Pendekatan sufistik dalam berdakwah akan lebih mudah diterima banyak orang terutama pada masyarakat yang majemuk.
Beragamnya pandangan tentang amaliah pada madzhab fikih menimbulkan banyak sekali perdebatan yang terjadi di masyarakat. Namun meneladani para Wali Songo dengan metode dakwah sufistiknya, ajaran Islam akan lebih mudah disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hikmah.