BincangMuslimah.Com – Karmin adalah salah satu jenis pewarna alami yang berasal dari tubuh betina serangga cochineal yang telah dihancurkan. Dari sinilah warna merah dihasilkan dan banyak digunakan sebagai pewarna kosmetik, seperti lipstik, eye shadow, dan lip gloss. Lantas bagaimana hukum produk kosmetik yang mengandung karmin, apakah haram?
Ketika kita melaksanakan ibadah shalat, badan kita harus terbebas dari najis karena itu merupakan syarat sah shalat. Jika produk kosmetika yang kita gunakan mengandung bahan yang najis, hal itu secara otomatis shalat kita menjadi tidak sah.
Salah satu yang diperdebatkan hukum kehalalannya adalah karmin, pewarna alami yang dihasilkan dari hewan cochineal. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang tentang kenajisan dan keharaman karmin. Sontak banyak pihak mengkaji ulang karmin meskipun sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menetapkan kehalalannya.
Pengertian Karmin
Pewarna alami ini diperoleh dari kutu daun yang disebut juga cochineal. Dalam bahasa latin, cochineal memiliki nama Dactylopius Coccus. Serangga ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan, terutama di Peru yang dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia.
Cochineal sendiri memiliki banyak kemiripan dengan belalang, yaitu sama-sama tidak memiliki aliran darah. Hewan yang dikategorikan sebagai serangga ini menghasilkan asam karminat. Asam inilah yang kemudian diekstraksi dan diubah menjadi karmin, pewarna alami.
Cara produksi karmin
Proses pembuatan karmin melalui beberapa proses yang dimulai dengan menginduksikan pasangan cochineal pada kaktus. Setelah itu, cochineal betina berkembang biak dan menjadi dewasa sehingga tubuhnya membesar dan berisi. Selanjutnya, serangga ini dipanen dengan cara disikat, dikeringkan dengan sinar matahari, dan ditampi untuk menghilangkan bulunya.
Tidak sampai di sini, serangga cochineal dijemur hingga kering lalu dihancurkan dengan mesin. Barulah setelah itu serangga kering ini berubah menjadi serbuk berwarna merah tua cerah.
Hukum karmin dalam Islam
Sebenarnya penggunaan karmin dalam produk kosmetika sudah lama dipakai lama, bahkan untuk produk makanan dimulai sejak abad ke-15. Namun, baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 2023 kemarin Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur mengeluarkan fatwa bahwa hukum karmin adalah haram dan najis.
Hasil LBM NU Jawa Timur memutuskan bahwa karmin berasal dari bangkai serangga (hasyarat) dan idak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan. Pandangan ini berdasarkan pada pandangan madzhab Syafi’i dan mayoritas madzhab lainnya.
Keterangan keharaman serangga ini dijelaskan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz 17 hal 219.
لِلْفُقَهَاءِ فِي أَكْل الْحَشَرَاتِ اتِّجَاهَانِ:الاِتِّجَاهُ الأَْوَّل: هُوَ حُرْمَةُ أَكْل جَمِيعِ الْحَشَرَاتِ، لاِسْتِخْبَاثِهَا وَنُفُورِ الطِّبَاعِ السَّلِيمَةِ مِنْهَا، وَفِي التَّنْزِيل فِي صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} وَهَذَا مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ
Artinya; “Terkait masalah mengkonsumsi serangga, ulama terbagi menjadi dua kelompok. Menurut pendapat yang pertama, menghukumi haram semua jenis serangga karena menjijikkan dan watak yang sehat pasti menjauhinya, di samping itu juga mengikuti Nabi Muhammad Saw yang menyatakan keharamannya sesuatu yang menjijikkan. Pendapat ini dipedomani oleh 3 Madzhab, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Hambali.”
Sedangkan dalil yang menjadi landasan kehalalan karmin adalah sebagai berikut:
الاِتِّجَاهُ الثَّانِي: حِل جَمِيعِ أَصْنَافِ الْحَشَرَاتِ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ، وَهُوَ فِي الأَْصْل إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ فِيهِ، ثُمَّ انْعَقَدَ الْمَذْهَبُ عَلَيْهَا. قَال الطُّرْطُوشِيُّ: انْعَقَدَ الْمَذْهَبُ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ وَهِيَ رِوَايَةُ الْعِرَاقِيِّينَ، أَنَّهُ يُؤْكَل جَمِيعُ الْحَيَوَانِ مِنَ الْفِيل إِِلَى النَّمْل وَالدُّودِ، وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ إِلاَّ الْخِنْزِيرَ فَهُوَ مُحَرَّمٌ بِالإِِْجْمَاعِ. وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ إِِلَى حُرْمَةِ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِّ، كَابْنِ عَرَفَةَ وَالْقَرَافِيِّ، وَلَعَلَّهُمْ أَخَذُوا بِالرِّوَايَةِ الأُْخْرَى فِي الْمَذْهَبِ. ثُمَّ إِنَّ الْقَوْل بِحِل جَمِيعِ الْحَشَرَاتِ لَيْسَ عَلَى إِطْلاَقِهِ، فَإِِنَّهُمْ قَدِ اخْتَلَفُوا فِي بَعْضِهَا وَذَلِكَ كَالْفَأْرِ.
Artinya: “Menurut pendapat yang kedua, semua jenis serangga dihukumi halal. Ini adalah pendapatnya Madzhab Maliki. Itu aslinya merupakan salah satu dari dua riwayat, kemudian madzhab Maliki berpegang kepadanya. al-Qurthusyi berkata: Madzhab Maliki berpegang pada salah satu riwayat, yaitu riwayat penduduk Iraq yang mengatakan bahwa semua hewan baik gajah, semut, cacing, dan sejenisnya itu dimakan, kecuali babi karena memang jelas keharamannya secara ijma’.
Hanya saja sebagian ulamanya menyatakan keharaman serangga kecil, misalnya adalah Ibnu Arafah dan Al-Qarafi. Kemungkinan mereka mengambil pendapat dari riwayat lain. Adapun pendapat yang memukul rata kehalalannya semua jenis serangga, ini tidak secara mutlak. Mereka banyak berbeda pendapat terkait kehalalan beberapa hewan seperti tikus.”
Kemudian, perkara terkait diqiyaskannya cochineal dengan belalang dijelaskan dalam kitab Al-Mughni, Juz III, halamah 238. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan, ulama berbeda pendapat terkait serangga yang memiliki karakteristik darah yang tidak mengalir, sebagian mengatakan halal dan boleh dipergunakan.
فصل :َ َودَمُ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَة، كَالْبَقِّ، وَالْبَرَاغِث، وَالذُّبَابِ، وَنَحْوه، فِيه رِوَايَتَانِ، إِحْدَاهُمَا، إِنَّهُ طَاهِرٌ. وَ مِمَّن رَخَصَّ فِي دَمِ الْبَرَاغِث عَطَاء وَطَا وُس وَالْحَسَن، والشَّعْبِي وَالْحَاكِم َوحَبِيب بن أَبِي ثَابت وَحَمَّاد وَالشَّافِعِي و إسْحَاق، وَلِاَنَّهُ لَوْ كَانَ نَجِسًا لِنَجسِ الْماءِ الْيَسِيْرِ إِذَا مَاتَ فيه
Artinya: “Darah binatang yang darahnya tidak mengalir seperti kutu, lalat dan sejenisnya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan suci. Di antara orang yang membolehkan darah kutu adalah Atha’, Thawus, al-Hasan, as-Sya’bi, al-Hakim dan Habib bin Abi Tsabit, Hamad, as-Syafi’i, dan Ishaq, dengan alasan jika darahnya najis maka menjadi air sedikit yang terkena bangkainya menjadi najis.”
Adapun Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Timur K.H. Asyhar Shofwan menyatakan bahwa tidak membolehkan penggunaan karmin untuk produk kecantikan seperti halnya lipstik.
“Adapun penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi semisal untuk lipstik menurut Jumhur Syafi’iyyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis,” ujarnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa produk kosmetik yang mengandung karmin haram menurut LBM NU Jatim. Namun, jika mengacu pada fatwa MUI, hal tersebut diperbolehkan.
1 Comment