Ikuti Kami

Kajian

Praktik Bisnis Reseller dalam Kacamata Hukum Islam

foto: gettyimages.com

BincangMuslimah.com – Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi yang semakin meluas, segala macam aktivitas manusia dapat dilakukan menggunakan teknologi. Tak terkecuali jual beli. Bahkan, jual beli online sudah menjadi primadona sistem muamalah dewasa ini. Selain lebih menghemat biaya dan waktu dalam sistem promosi, pemesanan, maupun pembayarannya, muamalah yang memanfaatkan platform digital ini memiliki jangkauan pasar yang lebih luas karena dapat diakses oleh seluruh masyarakat melalui gawai mereka.

Salah satu bisnis yang menggunakan sistem muamalah ini adalah reseller. Saat ini, bisnis reseller banyak digemari oleh para pemula. Sistemnya yang terbilang mudah, membuat bisnis reseller makin menjamur di mana-mana. Lantas bagaimana praktik bisnis reseller dalam kacamata hukum Islam?

Sistem Kerja Bisnis Reseller

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hukum praktik reseller, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu sistem kerja bisnis reseller. Menurut Dicky Nofriansyah dkk., dalam bukunya yang berjudul Bisnis Online: Strategi dan Peluang Usaha, sistem kerja reseller secara garis besar memungkinkan produk akan dikirim pemasok atau supplier ke pihak reseller.

Selanjutnya, jika terdapat pesanan dari konsumen, produk akan langsung dikirimkan oleh reseller ke konsumen tersebut. Dengan kata lain, seorang reseller akan membeli stok produk terlebih dahulu kepada penyuplai barang sebelum menjualnya kembali ke para konsumen.

Reseller dalam Kacamata Hukum Islam

Para ulama sepakat memperbolehkan praktik bisnis reseller ini disebabkan barang sudah menjadi milik penjual. Sistem jual beli reseller ini masuk dalam kategori bai’u maushufin fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang yang sudah menjadi milik pedagang. 

Akad yang berlaku adalah akad salam, yaitu sistem akad pesan dengan ciri-ciri: Pertama, barang sudah menjadi milik penjual. Dalam konteks ini, “memiliki” berarti barang sudah berada si tangan penjual dan penjual mengetahui bentuk asli barang tersebut. Kedua, diketahui ra’sul maal (harganya). Dengan terpenuhinya ciri-ciri tersebut, maka praktik muamalah reseller tersebut sah.. 

Baca Juga:  Hukum Donor darah Ketika Puasa Ramadhan

Namun, terkadang definisi tak selalu sesuai dengan realita yang ada. Kerap juga kita jumpai seorang reseller memposting atau mempromosikan barang yang dijualnya, namun ia belum memiliki barang tersebut bahkan belum mengetahui bentuk asli barang tersebut. 

Artinya, ia menjual barang yang tidak ada di tempat transaksi dan masih menjadi tanggungan. Ia hanya mengetahui ciri-ciri atau gambarnya saja. Dalam mazhab kita Syafi’i, jual beli barang yang tidak diketahui oleh pembeli maupun penjual dianggap sebagai jual beli yang tidak sah. 

Akan tetapi, kita tidak hanya punya mazhab Syafi’i dalam urusan muamalah maupun yang lain. Disarikan dari kajian Buya Yahya, dalam madzhab Imam Malik, kita bisa menjual barang yang tidak pernah kita lihat. Hukumnya sah, dengan syarat, hendaknya diberi muwasshafa (spesifikasi dari barang tersebut). 

Dalam hal ini, hendaknya disebutkan ciri-ciri bentuknya bagaimana, besarnya seberapa, kualitasnya seperti apa. Ini merupakan peluang dari madzhab Maliki, dengan menyebutkan spesifikasi barang tersebut menjadikan pembeli memiliki gambaran tentang barang tersebut seolah-olah dia sudah melihatnya. Maka jual beli tersebut sudah dihukumi sah. Sebagaimana keterangan Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husny dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut:

الثاني من الأشياء (بيع شيء موصوف في الذمة) ويسمى (و) وهذا بالسلم (فجائز إذا وجدت) فيه (الصفة على ما وصف به) من الصفة السلم الآتية في فصل السلم

Artinya: Yang kedua dari tiga macam jual beli adalah menjual barang yang diberi sifat yang masih menjadi tanggungan. Transaksi ini disebut dengan akad salam. Maka hukumnya boleh ketika di dalamnya ditemukan sifat yang digunakan untuk mensifati, yaitu sifat-sifat akad salam yang akad dijelaskan dalam fasal ”Salam”.

Kemudian jika kita lihat dari mazhabnya Hanafi, tanpa menyebutkan ciri-ciri pun jual beli tetap dianggap sah. Namun yang harus diperhatikan di sini ada di akhir transaksi, yaitu khiyar.

Baca Juga:  Halal bi Halal Sunnah atau Budaya?

Apa itu khiyar? Kondisi di mana pembeli dapat menyetujui atau membatalkan jual beli tersebut. Contoh misalkan, jual beli baju. Pembeli sudah melakukan transaksi dengan penjual, sudah akad dan sudah melakukan pembayaran. Barang sudah dikirim, tapi sayangnya barang datang tidak sesuai ekspektasi kita. Entah modelnya tidak sesuai, salah warna, maupun kualitasnya rendah. Maka, di sini pembeli berhak membatalkan transaksi yang telah dilakukan dan mengembalikan barang tersebut.

Sistem muamalah seperti ini (jual beli barang yang belum berada di tangan penjual) tergolong kategori bai’u ‘ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khasnya dan diperbolehkan sebab adanya pemberian kuasa ataupun akad perizinan menjualkan. 

Kalangan mazhab Syafi’i ada yang berpendapat hukumnya boleh sebagaimana yang disampaikan dalam Kifayatu al-Akhyar fi hilli Ghayati al-Ikhtishar halaman 240.

وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز

Artinya: Maksudnya dari perkataan Abi Syuja’ “belum pernah disaksikan”, dipahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (belum ada), maka hukumnya adalah boleh.”

Namun, kebolehan itu disertai dengan syarat mutlak. Contoh barang tersebut pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya, sebagaimana diungkapkan oleh Taqiyuddin Abu Bakar, masih dalam kitab yang sama. 

إن كانت العين مما لا تتغيرغالبا كالأواني ونحوها أو كانت لا تتغير في المدة المتخللة بين الرؤية والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود

Artinya: “Jika barang (’ain ghaibah) berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah dalam jangka waktu antara sewaktu dilihat (oleh pembeli) dan pembelian, maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut sah karena tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” 

Baca Juga:  2 Orang Penyebar Hoaks pada Zaman Rasulullah

Ulama empat mazhab menyatakan status kebolehannya. Khusus untuk mazhab Syafi’i, ada catatan khusus terkait dengan barang yang dijual, yaitu tidak mudah berubah baik model maupun sifatnya. Untuk barang yang mudah berubah model maupun sifatnya maka hukumnya sepakat tidak diperbolehkan.

Secara umum, bisnis reseller dalam kacamata hukum Islam hukumnya sah walaupun dalam mazhab Imam Syafi’i tidak dianggap sah. Akan tetapi, masih ada mazhab lain yang memperbolehkan dengan menyebutkan spesifikasi barang tersebut. Selain itu, sebisa mungkin di ujung transaksi nanti ada yang namanya khiyar. Satu lagi, yang paling penting hendaknya semuanya dilakukan dengan jujur dan amanah.

Wallahu a’lam..

Rekomendasi

Akad Salam dalam Transaksi Online Akad Salam dalam Transaksi Online

Akad Salam dalam Transaksi Online

Ditulis oleh

Alumnus Ma'had al-Islami Al-Hidayah dan Mahasiswi UBS PPNI. Tertarik pada dunia seni dan kepenulisan.

3 Komentar

3 Comments

Komentari

Terbaru

Anjuran Bagi-bagi THR, Apakah Sesuai Sunah Nabi?

Video

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

Kajian

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri? Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Ibadah

kisah fatimah idul fitri kisah fatimah idul fitri

Kisah Sayyidah Fatimah Merayakan Idul Fitri

Khazanah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Muslimah Talk

Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami? Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?

Ummu Mahjan: Reprentasi Peran Perempuan di Masjid pada Masa Nabi

Muslimah Talk

Trending

Ini Tata Cara I’tikaf bagi Perempuan Istihadhah

Video

Ketentuan dan Syarat Iktikaf bagi Perempuan

Video

tips menghindari overthingking tips menghindari overthingking

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 3)

Ibadah

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

malam jumat atau lailatul qadar malam jumat atau lailatul qadar

Doa Lailatul Qadar yang Diajarkan Rasulullah pada Siti Aisyah

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

mengajarkan kesabaran anak berpuasa mengajarkan kesabaran anak berpuasa

Parenting Islami : Hukum Mengajarkan Puasa pada Anak Kecil yang Belum Baligh

Keluarga

Puasa Tapi Maksiat Terus, Apakah Puasa Batal?

Video

Connect